RIAU ONLINE - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif pertamanya dengna malarang masuknya warga dari tujuh mayoritas berpenduduk Muslim telah memicu demonstrasi di seluruh Amerika, tak lama setelah perintah itu ditandatangani Trump pada 27 Januari lalu.
Namun pekan lalu, perintah itu sudah direvisi dan dikeluarkan kembali oleh Presiden Trump. Meski tetap menuai kecaman, sejauh ini lebih sedikit demonstrasi yang terjadi. Kontroversi atas langkah-langkah ini telah mendorong beberapa orang untuk merangkul warga yang berbeda agama.
Di pinggiran Kota Chicago terbentuk hubungan persahabatan seorang warga Muslim dan keluarga Yahudi yang berupaya membangun tempat yang lebih baik bagi mereka dan anak-anak mereka kelak, seperti dilansir dari VOA Indonesia.
Suatu pagi, Rabbi Jordan Bendat-Appel berkunjung kepada teman barunya yang beragama Islam, Fatih Yaldirim, di rumahnya di Schaumberg, di pinggiran kota Chicago.
Pertemuan pertama mereka terjadi pada Januari lalu di bandara internasional Chicago O'Hare. Keduanya ambil bagian dalam demonstrasi menentang larangan masuk bagi warga dari tujuh negara mayoritas Muslim, yang dikeluarkan Presiden Trump.
Ketika itu, Fatih membawa putrinya, Maryem yang berusia tujuh tahun, sementara Rabbi Jordan Jordan membawa putranya yang berusia sembilan tahun dan mengenakan yarmulke, semacam topi khas Yahudi.
“Ini yang saya perjuangkan, saya gembira telah datang, dan akhirnya menyebar di seluruh internet. Karena ada pesan dalam demonstrasi itu,” kata Fatih.
‘’Saya tidak mengikuti demonstrasi itu untuk memprotes Presiden Trump atau siapa pun, tetapi benar-benar untuk memprotes orang-orang yang terkena dampak larangan itu,” ujar Jordan.
Rabbi Jordan mengatakan ia ikut dalam demonstrasi itu karena merasa perlu menunjukkan rasa solidaritas dengan komunitas Muslim.
Kemudian, keduanya saling bertukar nomor telepon. Beberapa minggu kemudian Rabbi Jordan mengundang Fatih dan keluarganya untuk mengikuti jamuan Shabbat.
Saat Rabbi mengunjungi Fatih yang berasal dari Turki untuk makan siang, proses untuk mengetahui lebih banyak tentang kebudayaan dan agama masing-masing berlanjut.
Sambil menyeruput teh khas Turki, dan menikmati matzah, sejenis roti tanpa ragi khas Yahudi dan keju yang terbuat dari susu kambing, kedua pria itu merasa nyaman dengan persahabatan tersebut.
“Hal terbaik dari pertemuan dengan Fatih adalah saya tidak saja merasa bertemu seseorang dalam konteks dialog antar-keyakinan, yang menurut saya sangat luar biasa. Tetapi saya benar-benar merasa punya teman baru dan tentunya juga perasaan ketika datang ke rumahnya, perasaan bahwa saya disambut, dan keramahtamahan keluarganya. Saya merasa nyaman di sini,” imbuh Jordan.
Ternyata, kisah persahabatan yang terjalin antara keluarga berbeda agama ini menarik perhatian nasional di tengah kontroversi perintah eksekutif Presiden Trump. Baru-baru ini terjadi pengusiran imigran illegal dan insiden anti-Yahudi.
Fatih merasa persamaan dalam agama mereka bisa membantu mengakhiri kebencian dan rasa fanatik berlebihan.
“Islam, Yahudi dan Kristen – semuanya adalah tradisi Ibrahim. Jadi ada begitu banyak kisah yang sama tentang semua agama ini, dan jika kita mendorong hal ini lewat pendidikan, dialog antar-agama dan kewirausahaan, saya rasa kita bisa menghentikan rasa fanatik, kebencian dan diskriminasi di dunia," ujar Fatih.
Bagi kedua ayah itu, penting untuk mereka dan anak-anaknya membentuk ikatan tersebut dan menciptakan masyarakat yang lebih toleran di Amerika.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline