Mewujudkan Amanat Budaya

Oleh-Ilham-Muhammad-Yasir-Redaktur-Eksekutif-Riau-Online.jpg
(Istimewa)

Oleh Ilham Muhammad Yasir, Redaktur Eksekutif RiauOnline.

RIAU ONLINE, PEKANBARU - TIDAK banyak yang benar-benar menengok kembali Pasal 32 UUD 1945. Padahal, di sana tersimpan mandat konstitusi yang dalam ---negara bukan hanya membangun, tapi juga memajukan kebudayaan. Baru setelah 72 tahun tepatnya 2017, amanat itu diwujudkan melalui UU No. 5 tentang Pemajuan Kebudayaan. Produk hukum ini bukan sekadar simbolik, tetapi fondasi penting bagi arah kebijakan budaya di Indonesia.

Padahal di negeri-ngeri pelosok yang tenang, jauh dari berisik media. Budaya Indonesia tetap hidup. Pelan, namun pasti. Anak-anak kecil, tetap bersemangat belajar menari di pelataran rumah. Para penutur bahasa lokal mengulang cerita leluhur kepada anak-cucunya. Para seniman tua dan muda terus memahat kayu, meski tidak ada panggung untuk mereka pamerkan.

Amanat Konsitusi

Untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, amanat Pasal 32 UUD 1945 benar-benar diturunkan ke dalam bentuk hukum yang utuh: UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sebuah produk hukum yang lahir dengan naskah akademis yang sangat baik—penuh gagasan visioner, dan berpijak kuat pada nilai konstitusi dan ke-Indonesiaan.

Pasal 32 UUD 1945: Ayat (1): “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia dalam peradaban dunia, menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan.” Ayat (2): “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”

Kehendak Politik


Namun dalam ruang waktu politik, semangat bisa kehilangan tubuh. Peraturan Pemerintah (PP) No. 87 Tahun 2021 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagai peraturan pelaksana baru hadir 4 tahun kemudian—saat gairah publik tentang kebudayaan mulai redup. Ini bukan hanya soal administrative semata. Waktu 4 tahun itu menunjukkan betapa budaya, meskipun diakui sebagai fondasi pembangunan nasional, seringkali bukan prioritas dalam kehendak politik kita.

Padahal, keberadaan peraturan pelaksana sangat penting. Tanpa itu, UU tinggal sebagai dokumen gagasan, belum menjadi arahan kerja yang konkret. Sementara pelaku budaya di akar rumput—dari master tari hingga penjaga tradisi lokal—terus bergerak dengan atau tanpa dukungan. Mereka menyusun agenda, membuat panggung, membuka ruang belajar, semua secara swadaya.

UU No. 5 Tahun 2017 membawa semangat baru dalam memahami budaya sebagai sesuatu yang dinamis. Bukan hanya dilestarikan, tapi dimajukan. Prinsip perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan menjadi kerangka kerja yang sistematis dan inklusif. Namun, penerapannya masih jauh dari ideal, terutama karena belum menyentuh wilayah-wilayah administratif secara nyata.

PP No 87 Tahun 2021 semestinya menjadi titik tolak dari pelaksanaan nyata. Ia memberi pedoman teknis bagi daerah untuk menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), mengintegrasikan budaya dalam perencanaan pembangunan daerah, dan menyusun rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (IPK). Tapi di banyak daerah, PPKD masih dianggap beban administratif—bukan peta jalan strategis kebudayaan lokal.

Budaya Hidup

Padahal, tanpa keterlibatan pemerintah daerah, pemajuan kebudayaan hanya akan menjadi proyek elit di pusat. Daerah adalah tempat budaya itu hidup dan tumbuh. Mulai dari permainan tradisional di kampung, festival rakyat, sampai manuskrip kuno yang tersembunyi di laci-laci rumah tua. Jika daerah tidak diberdayakan—baik melalui peraturan turunan maupun alokasi anggaran yang memadai—maka cita-cita besar dalam UU ini akan sulit diwujudkan.

Dalam konteks ini, pemerintah pusat seharusnya tak hanya menuntut laporan dan dokumen, tapi juga memberi pendampingan substansial. Pendekatan partisipatif perlu lebih dikedepankan, termasuk melibatkan komunitas budaya, akademisi, komunitas dan pelaku seni dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan.

Bicara budaya berarti bicara tentang cara kita menjadi bangsa. UU ini bukan hanya pasal, tapi pijakan nilai. Tapi nilai tidak tumbuh di atas kertas. Nilai hanya hidup jika ia diterapkan dalam tindakan—dalam program, dalam pendanaan, dalam keberpihakan yang nyata. Saatnya negara tak hanya membuat panggung, tapi ikut menari di atasnya. Karena budaya, sejatinya, adalah nadi yang tak boleh putus.

Langkah konkret yang dapat diambil adalah memastikan bahwa strategi kebudayaan yang telah ditetapkan di tingkat pusat benar-benar diturunkan ke level provinsi dan kabupaten/kota dengan pendekatan yang kontekstual. Pemda perlu merumuskan kebijakan kebudayaan berbasis lokalitas, bukan sekadar menyalin rumusan dari pusat. Kebudayaan tidak bisa diseragamkan, sebab ia lahir dari keberagaman.

Pada akhirnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak hanya membangun fisik gedung dan jalan. Namun juga merawat jiwa dan jati dirinya sebagai bangsa melalui jalan kebudayaan. Semoga (bersambung).

*adalah penikmat seni budaya dan anggota Koalisi Masyarakat Seni Riau (Komaseri) untuk Pemajuan Kebudayaan.