Mundurnya Reformasi Militer

Oleh-Ilham-Muhammad-Yasir-Redaktur-Eksekutif-Riau-Online.jpg
(Istimewa)

Oleh Ilham Muhammad Yasir, Redaktur Eksekutif Riau Online

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Akhirnya, Revisi UU TNI [UU No. 34 Tahun 2004] disahkan pada Kamis, 20 Maret 2025. Namun, proses pengesahannya diliputi oleh kontroversi diberbagai sisi. 

Jauh sebelum revisi ini disahkan, sesuatu yang tidak biasa dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah tampak. Tindakan mencolok terjadi ketika Prabowo menggelar retret para menteri kabinetnya di Akademi Militer di Magelang. 

Keputusan itu sontak menimbulkan berbagai spekulasi di ruang publik. Banyak yang mencurigai bahwa ini merupakan awal dari kembalinya benih-benih militerisme dalam pemerintahan sipil.

Kecurigaan ini semakin menguat ketika empat bulan kemudian, seluruh kepala daerah yang baru dilantik kembali dikumpulkan di tempat yang sama. Kegiatan tersebut tidak memiliki ketentuan hukum yang jelas sebagai landasan pelaksanaannya. 

Pemandangan itu membangkitkan memori lama akan era di mana keputusan besar negara lebih banyak ditentukan dalam lingkaran tertutup. 

Ada percikan aroma militerisme yang kuat. Spekulasi pun berhembus. Apakah ini sekadar pertemuan biasa atau pertanda kembalinya langkah kaki tentara ke ranah sipil?

Dugaan ini semakin tampak ketika pemerintah dan DPR secara tiba-tiba melakukan revisi UU TNI. Padahal di prolegnas, revisi UU TNI tidak tercantum. 

Beberapa poin revisi mengundang banyak kontroversi. Terutama terkait dengan perpanjangan usia pensiun prajurit TNI. Selain itu, ada perluasan peluang bagi prajurit aktif untuk ditempatkan di berbagai institusi sipil.

Reformasi Militer yang Mundur

Reformasi militer yang dimulai pasca-Orde Baru bertujuan untuk membatasi peran TNI dalam politik dan kehidupan sipil. Konsep dwi-fungsi yang sebelumnya menjadi ciri khas pemerintahan militeristik telah dikikis untuk menegaskan supremasi sipil atas militer. 

Namun, revisi UU TNI ini justru membalikkan upaya reformasi selama ini yang telah berjalan lebih dari dua dekade.

Salah satu poin yang mendapat sorotan tajam adalah perpanjangan usia pensiun prajurit TNI. Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menyesuaikan dengan keperluan pertahanan dan keamanan nasional. 

Namun, kritik terhadap kebijakan ini muncul karena dinilai lebih bersifat politis ketimbang teknis. Dengan bertambahnya usia pensiun, secara otomatis akan ada lebih banyak perwira tinggi yang bertahan di struktur organisasi, yang berpotensi memperkuat keterlibatan TNI dalam ranah sipil.

Selain itu, aturan yang memperluas kesempatan bagi prajurit aktif untuk menempati posisi strategis di lembaga sipil juga dianggap sebagai kemunduran demokrasi. 


Reformasi militer di era pasca-Soeharto menegaskan bahwa jabatan di kementerian, lembaga negara, dan pemerintahan daerah harus didominasi oleh sipil. 

Namun, dengan adanya revisi ini, posisi-posisi strategis yang seharusnya diisi oleh profesional sipil kini kembali terbuka bagi militer aktif.

Tidak hanya itu, dampak dari revisi ini juga berpotensi memperlambat regenerasi di dalam tubuh TNI. Dengan perpanjangan usia pensiun, kesempatan bagi generasi perwira muda untuk naik ke posisi strategis semakin terbatas. 

Hal ini dapat menciptakan stagnasi dalam kepemimpinan militer dan menghambat inovasi di bidang pertahanan nasional.

Kasus Mayor Teddy 

Salah satu bukti nyata dari semakin kaburnya batas antara militer dan sipil adalah kontroversi pengangkatan Mayor Teddy sebagai pejabat di institusi sipil tanpa dasar hukum yang jelas. 

Polemik ini bahkan memaksa pemerintah menyesuaikan regulasi guna membenarkan penempatan tersebut. Langkah ini menuai kritik luas karena menunjukkan betapa kebijakan bisa diubah secara tiba-tiba demi kepentingan tertentu, tanpa melalui kajian yang matang.

Kekacauan regulasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pemerintah memang serius dalam menjaga jalur demokrasi dan supremasi sipil, atau justru sedang membuka jalan bagi kembalinya dominasi militer dalam urusan sipil? 

Jika praktik semacam ini terus berlanjut, maka tidak berlebihan jika publik mengkhawatirkan bahwa reformasi militer yang selama ini diperjuangkan akan runtuh.

Saran ke Depan

Agar reformasi militer tetap berada di jalur yang benar, beberapa langkah berikut perlu diambil. Pertama, membatasi peran militer dalam ranah sipil. Pemerintah dan DPR harus menetapkan batasan yang jelas terkait keterlibatan militer dalam ranah sipil. 

TNI seharusnya tetap fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga pertahanan negara, dan tidak masuk ke dalam birokrasi sipil yang seharusnya menjadi ranah profesional sipil.

Kedua, pengawasan ketat terhadap revisi UU TNI. Masyarakat sipil, akademisi, dan media harus lebih aktif dalam mengawasi implementasi revisi UU TNI. 

Kebijakan yang berpotensi mengembalikan militerisme harus ditentang melalui jalur hukum dan advokasi publik.

Ketiga, menjamin regenerasi di tubuh TNI. Daripada memperpanjang usia pensiun, kebijakan yang lebih baik adalah memastikan regenerasi kepemimpinan yang sehat di dalam tubuh TNI. 

Hal ini akan menciptakan dinamika yang lebih baik dalam struktur organisasi militer tanpa menghambat laju modernisasi. 

Keempat, menghentikan penempatan perwira aktif di jabatan sipil.  Pemerintah harus memastikan bahwa pengisian jabatan sipil dilakukan melalui mekanisme yang transparan dan berbasis meritokrasi. 

Penempatan perwira aktif di institusi sipil hanya akan menciptakan ketidakjelasan batas antara militer dan sipil. Kelima, meningkatkan profesionalisme TNI. Pemerintah perlu lebih fokus pada peningkatan profesionalisme prajurit TNI melalui pendidikan dan pelatihan yang lebih maju. 

Dengan demikian, TNI dapat tetap menjadi kekuatan pertahanan yang modern tanpa harus masuk ke dalam ranah sipil.

Penutup

Revisi UU TNI yang dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa diskusi publik yang memadai menunjukkan indikasi kuat bahwa reformasi militer sedang mengalami kemunduran. 

Peningkatan usia pensiun dan ekspansi peran TNI dalam sektor sipil mengarah pada kembalinya pola lama di mana militer memiliki pengaruh yang terlalu besar dalam pemerintahan.

Jika tren ini terus berlanjut, maka demokrasi Indonesia berisiko kembali ke era di mana militer memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan politik dan administrasi negara. 

Oleh karena itu, masyarakat sipil, akademisi, dan media harus memainkan peran aktif dalam mengawasi perkembangan ini agar tidak berujung pada kemunduran demokrasi.

Reformasi militer bukan sekadar agenda politik, tetapi merupakan fondasi bagi demokrasi yang sehat dan berfungsi. 

Pemerintah dan DPR perlu bertindak dengan hati-hati dalam menetapkan kebijakan terkait TNI agar tidak merusak keseimbangan yang telah lama diperjuangkan. Jika tidak, masa depan demokrasi Indonesia mungkin akan kembali tersandera oleh bayang-bayang militerisme.