Pembungkaman Kebebasan Berekspresi di Dunia Maya

Oleh-Ilham-Muhammad-Yasir-Redaktur-Eksekutif-Riau-Online.jpg
(Istimewa)

Oleh: Ilham Muhammad Yasir, Jurnalis tinggal di Pekanbaru, Redaktur Eksekutif Riau Online.

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Di bawah langit maya yang luas, setiap individu bebas: menulis, berbicara, atau berbagi informasi tanpa batasan ruang dan waktu. Itulah yang disebut kebebasan berekspresi. 

Namun, di balik itu, ada bayangan gelap yang mengintai, menanti saatnya untuk menelan. Dan bayangan itu bernama Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Diperkenalkan pada tahun 2008 dengan tujuan untuk mengatur dunia maya yang semakin berkembang, UU ITE seharusnya menjadi penjaga ketertiban, pembela keamanan, dan pahlawan dari kekacauan digital. Namun kenyataan berkata lain. 

Secara perlahan, ia berubah menjadi alat yang kerap digunakan untuk membungkam suara-suara yang dianggap tak sejalan dengan arus utama. Suara-suara yang berani menyuarakan ketidakadilan, ketidakpuasan, atau sekadar sebuah opini yang berseberangan dengan para pemegang kekuasaan.

Beban Kebebasan Berpendapat

Pernahkah Anda merasa diancam oleh layar ponsel Anda sendiri? Menulis komentar di media sosial, mengunggah artikel atau meme, kemudian merasa takut dengan kemungkinan ancaman hukum yang bisa datang tanpa diduga? Itulah kenyataan yang kini dihadapi banyak orang Indonesia setelah berlakunya UU ITE.

Sebagian besar pasal dalam UU ini, terutama Pasal 27 hingga Pasal 29, memberikan definisi yang begitu luas tentang apa yang dianggap sebagai pencemaran nama baik, penyebaran informasi yang tidak benar, atau perbuatan yang meresahkan masyarakat. 

Sehingga, dalam hitungan detik, seseorang bisa terjerat oleh tuduhan tanpa adanya batas yang jelas tentang apa yang boleh atau tidak boleh diucapkan.

Kasus-kasus di mana kritik terhadap pejabat publik atau opini politik berujung pada laporan ke polisi adalah pemandangan yang semakin sering kita saksikan. 

Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang untuk berbagi ide, kini berubah menjadi ladang berbahaya bagi mereka yang berani melawan arus. 


Apakah sebuah kritik terhadap kebijakan pemerintah atau sekelumit kata yang dianggap menghina bisa dijadikan alasan untuk merampas kebebasan berekspresi?

Di sinilah letak ironi terbesar dari UU ITE—undang-undang yang diciptakan untuk menjaga ketertiban dalam dunia maya justru malah membuka jalan bagi pembungkaman terhadap kebebasan berbicara. 

Ia tidak hanya menjadi senjata bagi pihak yang berkepentingan, tetapi juga menumbuhkan ketakutan yang mengakar di tengah masyarakat. Ketakutan untuk berpendapat. Ketakutan untuk berbicara. Ketakutan yang menghantui pikiran banyak orang.

Kebingungan dalam Hukum 

Hukum, seharusnya memberikan kejelasan. Namun dalam konteks UU ITE, yang terjadi justru kebingungan yang semakin dalam. Definisi tentang “informasi yang melanggar kesusilaan” atau "meresahkan masyarakat" menjadi wilayah abu-abu yang siap digerogoti oleh ketidakpastian. 

Tidak ada kejelasan, tidak ada batasan yang tegas, hanya ada ruang yang sangat besar untuk penafsiran yang subjektif.

Coba renungkan sejenak, bagaimana jika tulisan yang kita anggap biasa, ternyata dianggap menyebarkan kebencian atau fitnah? Lalu apa yang terjadi? Ancaman pidana menanti. 

Begitu juga dengan konten yang dianggap meresahkan. Siapa yang berhak menentukan bahwa sebuah opini, sebuah meme, atau sebuah kritik meresahkan? Siapa yang berhak menjadi pengadil dalam dunia maya yang penuh dengan suara berbeda?

UU ITE memberi kesempatan untuk menanggapi penyalahgunaan informasi, tetapi justru menciptakan kekacauan dalam penerapannya. Ketidakjelasan inilah yang menjadikan setiap langkah kita di dunia maya terasa seperti berjalan di atas kepingan kaca yang rapuh. Setiap kata, setiap unggahan, setiap cuitan, bisa berujung pada tuntutan hukum yang tak terduga.

Mengorbankan Kreatifitas 

Dunia maya seharusnya menjadi ruang tanpa batas bagi kreativitas. Ruang yang penuh dengan ide-ide baru, tempat di mana setiap orang dapat menyuarakan pemikiran tanpa takut dihakimi atau dihukum. 

Tetapi dengan adanya UU ITE, banyak dari kita yang mulai bertanya-tanya: Apakah ide yang kita bagikan cukup aman? Apakah kritik kita dapat diterima tanpa risiko?

Akibat dari ketakutan akan penuntutan hukum, banyak orang mulai memilih untuk diam, atau setidaknya menahan diri. Mereka memilih untuk tidak berbicara meskipun memiliki banyak hal untuk dikatakan.

Tidak sedikit yang memilih untuk menjaga status quo, memilih keamanan ketimbang mengambil risiko untuk berbicara. Inilah dampak nyata dari ketakutan yang ditanamkan oleh UU ITE—sebuah pembunuhan diam-diam terhadap kreativitas.

Kebebasan berpendapat yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara kini terasa seperti barang langka, yang hanya dapat diakses oleh mereka yang berani bermain di garis batas yang sudah ditentukan. 

Bagaimana kita bisa berharap pada inovasi digital atau kritik konstruktif ketika kita semua dibelenggu oleh rasa takut yang mendalam terhadap hukuman?

Harus Terus Diam

Saat kita memasuki dunia maya, kita memasuki sebuah alam baru, yang penuh dengan kebebasan dan potensi untuk berkreasi dan berkomunikasi. Namun, di balik kebebasan itu, kita juga dihadapkan pada sistem hukum yang kerap menjadi alat untuk membungkam suara-suara yang berani.

UU ITE, yang seharusnya menjadi pahlawan dalam dunia digital, kini justru menjadi pedang yang bisa berbalik memotong tangan kita sendiri. Jika tidak ada perubahan, kita akan terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan, menciptakan dunia maya yang lebih sepi, lebih sunyi, dan lebih patuh.

Maka dari itu, sudah saatnya kita bertanya—Apakah kita ingin terus hidup dalam ketakutan? Ataukah kita akan berani untuk memperjuangkan kebebasan yang telah lama kita miliki, dengan cara yang benar dan bijaksana, tanpa ada hukum yang mengikat mulut kita?

*Mantan Saksi Ahli Pers Dewan Pers 2011 – 2014 dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen Pekanbaru 2010 - 2013.