Nestapa Pulau Rangsang: Ketika Daratan Menghilang, Kedaulatan Terancam

Oleh-Ilham-Muhammad-Yasir-Redaktur-Eksekutif-Riau-Online.jpg
(Istimewa)

Oleh Ilham Muhammad Yasir, Redaktur Eksekutif Riau Online

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Di ufuk senja, debur ombak seakan berbisik tentang kisah pilu Pulau Rangsang. Sebuah daratan yang dahulu megah berdiri di perbatasan Indonesia-Malaysia, kini perlahan terancam hilang ditelan laut. 

Tiap tahun, lebih dari puluhan bahkan malah sudah ratusan hektare tanah di pulau ini tergerus abrasi, seolah menyampaikan pesan yang tak terbantahkan: alam sedang menarik kembali apa yang menjadi miliknya.

Pulau Rangsang, adalah salah satu dari 92 pulau terluar di Indonesia, terletak di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Ada juga Pulau Padang dan Pulau Merbau. 

Pulau-pulau ini telah ditetapkan sebagai Pulau Pulau Kecil Terluar (PPKT) oleh Presiden yang dimuat dalam Perpres No. 6 Tahun 2017. Selain itu, Kepulauan Meranti juga masuk dalam Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), seperti yang tertuang dalam PP No. 63 Tahun 2010.

Luas Pulau Rangsang 652,72 km², wilayah ini menjadi garis depan yang menjaga kedaulatan Indonesia di Selat Malaka. Namun, abrasi yang melanda pulau ini telah mengubah wajahnya secara drastis. Pohon-pohon mangrove yang dulu melambai di sepanjang garis pantai kini berganti menjadi patahan tanah yang longsor, membawa serta harapan para penduduknya.

Dalam 33 tahun terakhir, data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (PNBD) Kabupaten Kepulauan Meranti (1987 – 2021), Pulau Rangsang kehilangan 1.799 hektar dari total 5.380 hektar abrasi di seluruh Kabupaten Kepulauan Meranti. 

Luas wilayah yang terdampak abrasi mencapai 118.484 hektar. Abrasi tertinggi ada di Kecamatan Rangsang meliputi 23 desa dengan luas abrasi 1.396 hektar dengan panjang wilayah terdampak  54.860 meter. 

Kemudian Kecamatan Rangsang Pesisir meliputi 9 desa dengan luas abrasi seluas 381,45 hektar dengan panjang wilayah terdampak 44.015 meter. Disusul Kecamatan Rangsang Barat meliputi 7 desa dengan luas abrasi 21,86 hektar dengan panjang wilayah terdampak 19.609 meter.

Dari 29 desa terdampak di Pulau Rangsang, ada 2 desa yang terdampak paling ekstrim. Desa Sungai Gayung Kiri, Kecamatan Rangsang, di mana luas abrasi mencapai 11.300 meter dengan panjang wilayah terdampak 281,6 hektare. 

Disusul Desa Kedabu Rapat, Kecamatan Rangsang Pesisir di mana luas abrasi mencapai 10,762 meter dengan panjang wilayah terdampak 68,8 hektar. Di Kecamatan Rangsang, laju abrasi mencapai 8 meter per tahun, sementara di Kecamatan Rangsang Barat dan Rangsang Pesisir, daratan digerogoti dengan kecepatan hingga 8,8 meter per tahun.

Pulau Padang, dengan luas 477, 8 km² laju abrasi sekitar 12,80 meter per tahun. Sedangkan pulau merbau, dengan luas 717 km² yang relatif paling rendah abrasinya hanya 4,84 meter per tahunnya. Ini lebih dari sekadar angka, tetapi adalah cerita tentang sebuah pulau yang perlahan akan kehilangan namanya.

Data BPDB Kepulauan Meranti Tahun 2022

Data abrasi Kepulauan Meranti


Benteng Alam

Dulu, hutan mangrove berdiri kokoh di sepanjang pantai Pulau Rangsang, menjadi benteng alami yang melindungi daratan dari kekuatan gelombang Selat Malaka. 

Namun, mangrove itu kini hanya tinggal cerita. Pencemaran lingkungan (tumpahan minyak), kurangnya kesadaran konservasi, dan tekanan ekonomi lokal mempercepat kehancurannya. Ombak yang dulunya terhalang oleh akar-akar kokoh mangrove kini leluasa menerjang daratan, membawa serta sisa-sisa harapan penduduk.

Ironisnya, mangrove bukan hanya pelindung pantai. Ia adalah rumah bagi keanekaragaman hayati, sumber penghidupan bagi nelayan, dan fondasi bagi ekonomi lokal. 

Ketika mangrove gugur, bukan hanya lingkungan yang terpuruk, tetapi juga roda ekonomi masyarakat Pulau Rangsang yang semakin melambat. Para nelayan kehilangan hasil tangkapan, tambak-tambak berubah menjadi lahan mati, dan masa depan pun terlihat semakin suram.

Kedaulatan Terancam

Pulau-pulau kecil seperti Rangsang adalah pilar kedaulatan maritim Indonesia. Ketika daratan ini hilang, bukan hanya tanah yang lenyap, tetapi juga identitas geografis yang menjadi simbol kedaulatan bangsa. 

Selat Malaka, jalur perdagangan strategis dunia, kini menyimpan ancaman geopolitik baru. Pergeseran garis pantai Pulau Rangsang dapat memicu konflik perbatasan dengan negara tetangga seperti Malaysia.

Abrasi di Pulau Rangsang bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal keamanan negara. Tanpa tindakan tegas dan nyata, wilayah ini dapat menjadi celah bagi aktivitas ilegal, mulai dari penyelundupan hingga pelanggaran batas wilayah oleh kapal asing. Pulau ini adalah garda depan, benteng yang tak boleh runtuh jika kita ingin menjaga martabat bangsa di panggung internasional.

Menjaga Kedaulatan

Pulau Rangsang memerlukan lebih dari sekadar perhatian. Ia memerlukan tindakan nyata—penanaman kembali mangrove, pembangunan pemecah gelombang (batu geronjong), dan pendidikan konservasi bagi masyarakat lokal. 

Pemerintah harus menjadikan pulau ini sebagai prioritas dalam strategi mitigasi bencana. Infrastruktur pertahanan seperti radar maritim dan pos pantau harus segera ditingkatkan.

Di tingkat internasional, Indonesia dapat menarik perhatian global terhadap masalah ini. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, isu abrasi di Pulau Rangsang adalah simbol dari perjuangan bangsa dalam menjaga keutuhan teritorialnya. 

Kerjasama regional dengan Malaysia dan Singapura di Selat Malaka juga menjadi kunci untuk mengamankan wilayah ini dari ancaman lebih besar.

Sosok Inspiratif

Sebagai penutup, kita harus belajar banyak dari kisah inspiratif sosok seperti Kadar Siono di Desa Anak Setatah, Kecamatan Rangsang Barat. Di awal tahun 2000-an, bersama istrinya, Farida, ia telah melakukan aksi nyata. 

Mereka memulai penanaman mangrove dengan dana pribadi dan kerja keras yang luar biasa. Ribuan mangrove tumbuh, melindungi pantai dan membuka peluang baru dalam ekowisata.

Desa Anak Setatah kini menjadi contoh keberhasilan dari aksi nyata komunitas lokal. Dengan lembaga swadaya masyarakat yang dibentuknya “Tegas”, ia mendapat apresiasi meraih penghargaan tingkat nasional juara pertama Adibakti Mina Bahari, kategori pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 

Serta sejumlah penghargaan tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Begitu pula sosok inspiratif lainnya, ada Supandi penggagas festival seni-budaya Bokor Folklore juga sangat peduli soal abrasi dan lingkungan.

Namun, perjuangan ini tidak bisa dibiarkan berhenti di satu desa. Kadar Siono sendiri menyadari bahwa kolaborasi lebih luas sangat diperlukan. “Kami tidak bisa sendiri,” sebagaimana disampaikannya kepada media. 

Kisahnya adalah pengingat bahwa penyelamatan Pulau Rangsang harus melibatkan semua pihak—pemerintah, masyarakat, dan dunia internasional.

Dengan semangat kebersamaan, Pulau Rangsang bisa tetap menjadi bagian dari identitas kita yang utuh. Pulau Rangsang adalah simbol perlawanan terhadap kekuatan yang ingin menenggelamkan identitas kita. 

Kehilangannya bukan hanya berarti kehilangan daratan, tetapi juga kehilangan bagian dari diri kita sebagai bangsa maritim. Kita tidak boleh diam. Langkah-langkah kecil hari ini adalah pondasi bagi perjuangan besar untuk menjaga Pulau Rangsang tetap ada di dalam peta. 

“Selamatkan Pulau Rangsang, selamatkan masa depan kita.” Semoga. 

Penulis adalah jurnalis  inisiator komunitas Kerja Penyelamat Pulau Rangsang (JKPPR) tinggal di Pekanbaru asal Pulau Rangsang, Kepulauan Meranti sedang menyelesaikan Progam Doktor (S3) Ilmu Hukum di Universitas Islam Riau dan pernah sebagai Ketua dan Anggota KPU Provinsi Riau (2014 – 2019 dan 2019 – 2024).