Oleh Ilham Muhammad Yasir
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Alkindi (801) dan Alfarabi (870) membuktikan bahwa filsafat dan Islam bukanlah dua kutub yang bertentangan. Keduanya menjadi alat yang saling melengkapi dalam pencarian kebenaran. Alkindi dan Alfarabi tidak hanya menjaga api filsafat tetap menyala di dunia Islam, namun juga menciptakan jembatan intelektual yang melampaui batas peradaban.
Alkindi (801 – 873 M)
DI TANGAN Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi yang lebih dikenal dengan sebutan Alkindi, filsafat menemukan rumah barunya. Sebagai filsuf Arab pertama, ia percaya bahwa ilmu adalah cerminan dari kebesaran Tuhan.
Secara etnis, Alkindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah, salah satu suku besar di daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan Alkindi adalah menghadirkan filsafat Yunani setelah terlebih dahulu meng-“Islam”-kan pikiran-pikiran asing tersebut.
Dengan semangat di bawah panji “Bayt al-Hikmah”, Alkindi menjadikan filsafat Yunani bukan hanya warisan masa lalu, namun alat untuk memahami wahyu dengan lebih mendalam. Ia memadukan logika Aristotelian dengan etika Islam, meyakini bahwa akal adalah hadiah dari Allah yang harus dimanfaatkan sepenuhnya.
“Bayt al-Hikmah” atau diterjemahkan sebagai “Rumah Kebijaksanaan”, menjadi lembaga pendidikan dan pusat penelitian ilmiah resmi di ibu kota Daulah Abbasiyah, Baghdad (Irak).
Ketika Barat mengalami masa kegelapan (Dark Ages), Baghdad justru menjelma menjadi episentrum ilmu pengetahuan dunia. Peran itu, salah satunya dimainkan oleh Alkindi dengan Bayt al-Hikmah.
Lembaga yang didirikan di masa Khalifah Al-Ma’mun (813 - 833), berperan penting dalam pengembangan ilmu pengetahun dan filsafat Islam. Alkindi memimpin penerjemahan karya-karya ilmiah dan filsafat Yunani, seperti Plato, Aristoteles ke dalam Bahasa Arab.
Alkindi, selain menulis karya di bidang keislaman, ia juga banyak menghasilkan karya-karya dalam berbagai disiplin ilmu.
Dalam bidang keislaman, karyanya yang cukup dikenal adalah “Fi Wahdaniya Allah wa Tunahiy Jirm al-Alam” (Kesatuan Tuhan dan Terbatasnya Dunia). Ia menggunakan ayat-ayat Alquran untuk mendukung argumen filosofis tentang keesaan Allah (Tauhid) dan penciptaan alam semesta.
Menjelaskan keterbatasan alam semesta dan keberadaan Allah sebagai pencipta. Alam semesta itu tidak kekal dan memiliki batas.
Argumen Alkindi ini sangat logis untuk menerangkan prinsip-prinsip Islam, khususnya Tauhid.
Dalam bidang keilmuan yang lain, Alkindi sangat produktif. Ia menguasai metafisika, etika, logika dan psikologi, hingga ilmu pengobatan, farmakologi, matematika, astrologi dan optik, juga meliputi topik praktis seperti parfum, pedang, zoologi, kaca, meteorologi dan gempa bumi.
Di bidang matematika ia sangat menguasai. Ini karena matematika, bagi Alkindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukaddimah ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan astronomi. (bersambung).
*Mahasiswa Angkatan VI Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Islam Riau.