Oleh Ilham Muhammad Yasir
RIAU ONLINE, PEKANBARU - DI BALIK kejayaan peradaban Islam abad pertengahan. Ada jalinan pemikiran yang menjembatani dunia filsafat Yunani dengan tradisi dunia filsafat Islam. Para filsuf Muslim awal, seperti Al Kindi (801 M), Al Farabi (870 M), Al-Ghazali (1058 M), dan Ibnu Rushd (1126 M), mengambil obor pengetahuan dari Plato (427 SM) dan Aristoteles (384 SM) untuk menerangi jalan baru bagi intelektualitas Islam. Mereka tidak hanya mengadopsi gagasan filsafat Yunani, tetapi juga “mengislamkan” filsafat sebagai alat untuk memahami wahyu Ilahi.
Wahyu Ilahi
Dalam perjalanan ini, akal dan wahyu berjalan berdampingan, menciptakan harmoni yang memperkaya kedua tradisi tersebut. Para filsuf Islam melihat dalam ajaran Plato dan Aristoteles sebuah potensi luar biasa untuk menggali kebijaksanaan universal. Dua tokoh Yunani ini dianggap sebagai pondasi bagi banyak konsep yang kemudian diterjemahkan ke dalam konteks Islam.
Plato, dengan teorinya tentang dunia ide, memberikan kerangka metafisik yang kuat bagi pemikiran Islam. Gagasan tentang realitas ideal yang lebih tinggi dibandingkan dunia material sejalan dengan pandangan Islam tentang Allah SWT sebagai sumber segala kebenaran. Dalam karyanya, The "Republic", Plato menggambarkan masyarakat ideal. Konsep ini diadopsi oleh para filsuf Muslim untuk merumuskan konsep negara yang berbasis pada keadilan Ilahi.
Aristoteles, dengan pendekatan logisnya, memberikan alat penting untuk menganalisis wahyu secara sistematis. Metodenya, terutama dalam karya "Organon", menjadi dasar bagi para filsuf Islam untuk mengembangkan logika yang sesuai dengan ajaran Islam. Pemikirannya tentang sebab-akibat, esensi, dan substansi memberi ruang bagi filsuf Muslim untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia.
Harmoni
Para filsuf Muslim awal mengintegrasikan gagasan Plato dan Aristoteles ke dalam kerangka Islam tanpa kehilangan keaslian ajaran agamanya. Mereka meyakini bahwa akal adalah hadiah dari Tuhan, dan penggunaannya bukan untuk menyaingi wahyu, tetapi untuk memahaminya dengan lebih mendalam. Berikut beberapa konsep yang menunjukkan harmoni tersebut.
Pertama, Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai “penggerak yang tidak digerakkan”. Filsuf Muslim, seperti Al Kindi dan Ibnu Rushd mengembangkan konsep ini dalam pandangan Islam. Menjadikan Allah sebagai sumber segala keberadaan yang tidak bergantung pada apa pun. Kedua, Plato menekankan kebahagiaan tertinggi sebagai tujuan akhir kehidupan manusia. Para filsuf Muslim, seperti Alfarabi menyelaraskan gagasan ini dengan konsep kebahagiaan tertinggi sebagai kedekatan kepada Tuhan melalui akal wahyu. Ketiga, dengan menggunakan logika Aristotelian, para filsuf Islam menjelaskan wahyu secara rasional. Mereka percaya bahwa metode ini memperkuat keyakinan terhadap keesaan Tuhan dan hukum-hukum-Nya.
Dianggap “Nabi”
Konsep “Penggerak yang Tidak Digerakkan” dari Aristoteles sangat serupa dengan gagasan Islam tentang Allah sebagai penyebab utama dari segala sesuatu. Ini menimbulkan kesan bahwa Aristoteles memahami sebagian dari sifat Tuhan, meskipun melalui akal semata. Begitu pula Plato menggambarkan dunia ide sebagai realitas tertinggi yang tidak berubah, mirip dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Bagi beberapa filsuf Muslim, pemikirannya dianggap memiliki kebenaran yang universal dan abadi, seperti yang ditemukan dalam wahyu.
Di kalangan filsuf Muslim sempat ada yang “mencurigai” bahwa keduanya adalah seorang nabi. Namun, hipotesa itu tidak mempunyai argumentasi dan data yang kuat. Narasi itu, kemungkinan besar lahir dari kekaguman yang berlebihan terhadap kedalaman pemikiran Plato dan Aristoteles. Dalam tradisi Islam, mereka dihormati sebagai tokoh besar yang memberikan kontribusi luar biasa dalam filsafat dan logika, tetapi tidak pernah disetarakan dengan nabi.
Keharmonisan akal dan wahyu yang mereka bangun adalah bukti keagungan ciptaan Tuhan yang terus menginspirasi hingga hari ini. Para filsuf Muslim tetap menghormati keduanya sebagai pemikir yang menemukan kebenaran melalui akal, tetapi tetap menempatkan wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi. Pemikiran mereka dianggap sebagai pelengkap, bukan pengganti wahyu. Dalam tradisi Islam, nabi memiliki tugas Ilahi yang jauh melampaui kemampuan manusia biasa, termasuk filsuf seperti Plato dan Aristoteles.
Penutup
Harmoni antara filsafat Yunani dan tradisi Islam yang dirintis oleh Al Kindi, Al Farabi, Al-Ghazali dan Ibnu Rushd membuktikan bahwa peradaban besar tidak pernah berdiri sendiri. Mereka menyerap dan mengembangkan gagasan dari berbagai sumber, menjadikannya sebagai milik bersama umat manusia. Dengan menjembatani Plato dan Aristoteles ke dalam pemikiran Islam. Para filsuf Muslim awal ini tidak hanya menjaga api pengetahuan tetap menyala, namun juga menciptakan sinar baru yang terus menerangi hingga hari ini. Wallahu a'lam bish-shawab.(bersambung).
*Mahasiswa Angkatan VI Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Islam Riau