Oleh: Ilham Muhammad Yasir
Jurnalis yang tinggal di Pekanbaru dan pernah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru 2010 – 2013
Anggota Ahli Pers untuk Dewan Pers 2011 – 2014.
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pagi itu, Kamis, 19 Desember 2024 selepas subuh, langit masih gelap. Sebuah pesan singkat menyelinap ke layar ponsel. “Husni, wak!”. Pesan itu disertai tautan berita dari dua media online, Bid..com dan Kuh…news, namun lebih dari sekadar kata-kata. Ada keluhan di dalamnya, seperti beban yang tak terlihat tapi terasa mengganjal.
Husni Mubarak, saya dan kawan-kawan lebih sering memanggil “Pak Obot”. Seorang teman lama yang sejak Oktober 2023 lalu dilantik sebagai Camat Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti.
Husni mengirimkan kabar yang terasa lebih berat dari dinginnya embun pagi kala itu. Bagi saya, ia tetaplah Pak Obot—sosok yang akrab dan bersahaja, teman remaja ketika masih sama-sama aktif di OSIS dan Pramuka saat di MAN Selat Panjang dulu.
Husni kami kenal juga sebagai ustaz. Selain memang menimba ilmu agamanya sejak S1 dan S2 juga di UIN Suska Pekanbaru. Saat di MAN, Husni dan Alnasri sudah terbiasa mengisi ceramah dan pengajian. Wajar, sebagai kawan saya ikut merasakan serta akan membelanya.
Saya buka tautan pesannya itu pelan-pelan. Membaca satu persatu setiap kalimatnya yang ada dalam tautan tersebut. Seketika, dada saya dipenuhi geram yang membuncah bercampur sedikit malu. Di balik rangkaian paragraf pesan di link berisi berita itu, saya melihat ada yang ganjil.
“Gosip yang ‘bermantel' berita,” sebut saya spontan.
Kata-kata di berita yang seharusnya menyampaikan fakta, berubah menjadi selubung yang menyembunyikan niat tertentu. Cukup dapat dipahami dan dapat ikut merasakan. Ketika diserang tiba-tiba dengan berita seperti itu pastilah Husni, shock. Marah juga.
Di judul berita itu seperti ini: "Minta Bupati Meranti Copot Camat Tebing Tinggi, GARANSI Akan Laporkan Dugaan KKN ke Kejati Riau" dan "Camat Tebing Tinggi Kabupaten Kepulauan Meranti Meradang Saat di Konfirmasi Sebut LSM Tukang Tipu".
Sekilas, judul beritanya menunjukkan pelanggaran fatal terhadap kaidah jurnalistik. Judulnya sarat penuh opini si wartawan, dan bukan fakta. Opini si wartawan terus berlanjut di paragraf pembuka, terus merembet hingga akhir tulisan.
Tak ada narasumber yang kredibel, hanya sepotong opini yang mencoba dibenarkan oleh keberadaan LSM di atas malah terdengar asing bagi saya. Karena saya aktif juga di komunitas antikorupsi di Riau. Saat peringatan hari antikorupsi sedunia, 9 Desember 2014 di Pekanbaru, saya ikut membacakan deklarasi mendampingi (alm) Datuk Al Azhar, Ketua Harian LAM Riau.
Kembali ke soal berita tadi. Ada batas antara kebenaran informasi yang dimanipulasi menjadi kabur. Apa yang disuguhkan sebagai fakta justru membakar rasa percaya, menggoyahkan integritas profesi, dan meracuni pembaca dengan sangat bias.
Sebagai orang yang telah lama berkecimpung di dunia jurnalistik, membaca berita itu seperti bercermin pada retakan sendiri—melihat bagaimana idealisme jurnalis yang harusnya dijunjung tinggi malah seperti tercampak.
Menyimpangi Ilmu Jurnalistik.
Sebagai orang Meranti, saya pun bertanya-tanya, siapa sebenarnya "GARANSI Riau" ini? Nama yang mereka angkat sebagai narasumber justru membuat berita ini semakin kehilangan kredibilitasnya.
Lebih lagi, berita tersebut bahkan mengangkat percakapan pribadi Husni dengan si wartawan, yang sama sekali tidak pantas disajikan kepada publik. Bukankah wartawan seharusnya memahami batas privasi?
Pelanggaran Kode Etik.
Kode Etik Wartawan Indonesia mengajarkan kita untuk menguji informasi, memberitakan secara berimbang, dan tidak mencampuradukkan fakta dengan opini. Namun, kedua berita ini justru menjadi gambaran jelas bagaimana prinsip-prinsip itu diabaikan.
Tidak ada verifikasi, tidak ada upaya memberikan ruang untuk klarifikasi, dan yang tersaji hanyalah opini sepihak. Bahkan, wartawan yang menulis berita tersebut menjadikan diri mereka sebagai sumber utama. Ini bukan hanya kesalahan teknis, tetapi juga sebuah penghinaan terhadap nilai-nilai jurnalistik yang luhur.
Lebih lagi, beritanya juga ditulis dengan pola yang monoton, berulang, dan jauh dari standar profesi. Pilihan katanya menyerang tanpa dasar, membuat pembaca jenuh dan kehilangan esensi informasi yang seharusnya tersampaikan. Jurnalisme seperti ini tak ubahnya seperti gosip yang dikemas dalam format berita.
Malu.
Sebagai jurnalis, saya merasa sangat malu membaca berita semacam ini. Malu kepada publik yang mempercayai media sebagai penyampai kebenaran. Malu kepada kolega-kolega yang berdedikasi, bekerja keras menjaga marwah profesi.
Juga malu kepada diri sendiri karena profesi yang sangat dibanggakan ini dicoreng oleh segelintir oknum yang mengutamakan sensasi daripada integritas. Namun tak dapat berbuat banyak. Karenanya, tulisan sudut pandang pribadi ini saya tuliskan.
Ketika jurnalis melupakan tugasnya untuk menyampaikan informasi yang jujur dan bertanggung jawab, kepercayaan masyarakat terhadap media semakin terkikis. Di era disinformasi seperti sekarang, hal ini menjadi ancaman serius. Media yang seharusnya menjadi benteng terakhir kejujuran malah berubah menjadi alat propaganda.
Menatap Jalan Perbaikan.
Saya ketika langsung sampaikan ke Husni, hak jawab saja tak cukup. Tapi, harus minta juga hak koreksi. Karena bukan soal keberimbangan informasinya saja, tapi juga materi beritanya. Banyak kaidah-kaidah jurnalistik yang tak terpenuhi, apalagi dari sisi kode etik wartawannya pastilah bermasalah.
Langkah itu saja pun tidak cukup. Pemimpin redaksi kedua media tersebut harus segera mengevaluasi sistem kerja redaksionalnya. Wartawan yang terlibat harus diberikan pelatihan ulang dan, jika perlu, diwajibkan mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) resmi yang mengikuti standar dari Dewan Pers. Pemahaman prinsip-prinsip dasar jurnalistik penting sekali.
Terakhir, apa yang dilakukan oleh oknum kedua media online ini adalah adalah sebuah noda bagi dunia jurnalistik. Sebagai jurnalis, saya mengecam keras tindakan tersebut.
Kita semuanya berharap bahwa peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk terus menjaga integritas profesi ini. Sebab, tanpa integritas, jurnalisme hanya akan menjadi sarana untuk memuaskan ambisi pribadi, bukan untuk menyampaikan kebenaran.
Jurnalis adalah penyampai kebenaran. Mari sama-sama perjuangkan jurnalisme yang bermartabat, yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab kepada masyarakat. Kita lawan praktik jurnalistik yang menyimpang itu. Sebab, disitulah letak kehormatan kita sebagai jurnalis. Sekian.