Langsung Tidak Langsung = Korupsi

Langsung-Tidak-Langsung-Korupsi.jpg
(Istimewa)

Oleh : Dr. Harmaini S.Psi., M.Si.

Dosen Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau dan Pemerhati Masalah Sosial.

 

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Baru saja belum genap satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, beliau melontarkan sebuah gagasan menarik tentang pemilihan kepala daerah. 

Menurut Pak Presiden, sebaiknya pemilihan kepala daerah dilakukan saja oleh anggota dewan setiap daerah. Gagasan presiden ini sebenarnya bukanlah hal baru, dulu di akhir masa jabatan presiden SBY tahun 2014 pernah menyampaikan hal itu dalam bentuk RUU Pilkada Dalam sejarah Pilkada di Indonesia Pilkada langsung telah berlangsung sejak tahun 2005 sampai sekarang. 

Selama rentang tahun tersebut sudah ratusan kepala daerah yang terpilih menjadi gubernur wakil gubernur dan walikota wakil walikota dan bupati wakil bupati. Dan dari data yang disampaikan oleh Sekretaris Ditjen Otda Kemendagri Akmal Malik Piliang bahwa kepala yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi berjumlah 318 orang dari total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah semenjak Pilkada langsung digelar dari tahun 2005. 

Sampai dengan Oktober 2018 trennya sebenarnya menurun. Banyaknya permasalahan yang dialami kepala daerah tidak bisa dilepaskan dari sangat mahalnya ongkos politik. Dari hal peliknya proses Pilkada tersebut yang banyak sorotan pada masyarakat terutama oleh pak Presiden baru-baru ini adalah apakah Pilkada langsung tak langsung ada perbedaannya pada menurun dan meningkatnya permasalahan rendahnya Pembangunan, kolusi dan nepotisme, pungli masalah hukum terutama masalah korupsi di Indonesia?

RUU Pilkada

Menteri dalam negeri waktu presiden SBY sebagai wakil pemerintah pernah mengajukan RUU Pilkada ke DPR sejak tahun 2011. Menurut alasan menteri waktu itu adalah Pilkada langsung banyak mendatangkan keburukan daripada kebaikan. Hal ini didasarkan pada kenyataan terjadinya korupsi, pengrusakan, bentrokan antar warga dan pendukung dan mahalnya biaya pelaksanaan Pilkada (pemerintah dan dari pasangan calon). 

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam bahwa biaya yang harus dikeluarkan dari kantong pribadi para calon Bupati minimal 5-10 miliar, calon walikota Rp. 10 – 15 miliar dan calon gubernur wakil gubernur minimal Rp 20 – 25 miliar. 

Sedangkan dari pemerintah untuk pelaksanaan pilkada satu kabupaten/kota biaya yang harus dikeluarkan kisaran 100 miliar sampai 1 Triliun. Sungguh biaya yang sangat besar untuk ukuran Indonesia sebagai Negara yang masih banyak rakyat dikategorikan miskin. Dana tersebut miliar apabila digunakan untuk pembangunan jalan dan renovasi serta penyediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan alangkah bermanfaatnya. 

Pilkada langsung tidak langsung apabila dihubungkan dengan terwujudnya pemerintahan yang bersih memang belum menjadikan suatu jaminan dan ukuran. Tapi dari segi pengeluaran biaya Pilkada tidak langsung (dipilih oleh DPRD) sudah merupakan suatu cara penghematan uang Negara kepada yang lebih bermanfaat. 

Walaupun ada Banyak kalangan yang berpendapat Pilkada tidak langsung berarti DPR telah mengambil hak rakyat dan suatu kemunduran demokrasi. Pendapat tersebut benar kalau dihubungkan dengan arti dari demokrasi politik. Karena dengan dikembalikannya ke DPRD berarti masyarakat tidak dapat lagi menentukan siapa yang akan dipilihnya. 


Namun pada hakikatnya anggota DPRD yang dipilih langsung oleh masyarakat merupakan cerminan dari keinginan masyarakat. Dan fungsi dari DPRD adalah pengawasan. Kalau fungsi ini berjalan baik dan benar tentu pemerintahan di daerah akan berjalan dengan bersih, baik dan benar juga. 

Ada persepsi yang sudah terbentuk tentang anggota dewan, yaitu anggota dewan dipersepsikan tidak bisa dipercaya atau dianggap tidak amanah. Persepsi ini masih melekat karena realitas menunjukkan banyak anggota dewan mulai dari daerah sampai pusat melakukan tindakan korupsi, kongkalingkong, pungli dan suap dengan pemimpin daerah dan banyak kalangan. 

Jadi yang menjadi masalah sebenarnya adalah bukan langsung atau tidak langsung tapi anggota DPRD dan Pemimpin daerahnya. 

UU adalah sebuah tulisan dan produk yang dihasilkan oleh manusia dan diperuntukan untuk manusia. Sebuah tulisan dan produk akan berjalan baik apabila manusia yang menjalankan sesuai dengan  produk yang dihasilkan tersebut. Sebaik apapun Pilkada langsung atau tak langsung akan menjadi buruk kalau produk tersebut diselewengkan oleh DPRD dan pemimpin daerah. 

Jadi yang harus diperbaiki dan menjadi perhatian sebenarnya adalah pelaksana UU, peraturan atau lainnya yang sejenis tentang menjadi pemimpin serta bagaimana menjadi pemilih yang rasional dan objektif (rational objective choice).  Hal ini saling berhubungan dan dapat menjadi penyempurna atas kekurangan pada masing-masingnya.

Seperti kita ketahui bahwa pada pemilihan umum 2024 yang baru saja dilaksanakan banyak calon yang menggunakan cara-cara yang tidak baik dan benar untuk dapat menjadi anggota dewan dan calon pemimpin daerah. 

Logika sederhana mengatakan bahwa sesuatu yang dilakukan secara tidak benar maka seterusnya menjadi tidak benar. Ketidakbenaran itu terjadi karena sudah menjadi suatu pembiasaan (habitual). 

Pembiasaan bisa terjadi kalau suatu perilaku yang tidak benar tidak mendapatkan evaluasi dan punishment dalam bentuk kognitif dan sikap perilaku oleh diri sendiri. Bentuk kognitif akan selalu ada kalau lingkungan sosial terus memberikan stimulus untuk terus melakukan. 

Inilah yang sulit untuk diubah, karena sesuatu yang dianggap baik sudah dirasionalisasi oleh seseorang dan sekelompok orang, yang akhirnya menjadi sebuah tradisi yang baik, yang sebenarnya hal itu melanggar naluri kebenaran sebuah kebenaran dan kepatutan   

Permasalahan Hukum dan Sosial

Pembiasaan pada perilaku buruk dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan kepada siapa saja. Seseorang akan dapat melakukan perilaku buruk kalau dia mau melakukannya. Sulit memang menempatkan orang-orang yang bersih, baik dan benar untuk menjadi anggota dewan dan pemimpin daerah Kesusahan ini akan bertambah pelik kalau dihubungkan lagi dengan politik yang sulit keluar dari jaringan keburukan. 

Pembiasaan pada perilaku melanggar etika, norma sosial, adat dan agama terjadi sekurang-kurangnya karena tiga hal pertama rapuhnya superego untuk menahan dorongan id akhirnya ego pada manusia melakukan keburukan. Apabila id menguasai sebagian besar energi, maka tingkah laku pribadi menjadi impulsif dan primitif. 

Orang yang melakukan korupsi, karena pertimbangan moralitas dan kepribadian sudah tidak berfungsi dengan baik dan tidak mampu mengarahkan kepribadian secara bijak. 

Kedua,  rendahnya motivasi berprestasi. Ciri-ciri orang yang motivasi yang rendah adalah selalu mengerjakan pekerjaan dengan asal-asalan, bekerja didorong kuat untuk menghasilkan pekerjaan dengan kualitas yang rendah dan didorong mendapatkan uang dalam jumlah tertentu, dalam waktu yang singkat dengan sedikit melakukan usaha. 

Sedangkan orang yang memiliki berprestasi tinggi suka pada tantangan pada pekerjaan yang tergolong sulit, tidak cepat puas dengan hasil kerja yang setengah-setengah atau yang tidak memenuhi kebutuhan diri untuk berprestasi bila hanya mengerjakan sesuatu dengan mutu yang rendah.

Ketiga,  aktualisasi diri yang rendah, orang dengan tipe ini tidak dapat mengaktualisasikan diri dengan benar dan penghayatan hidup yang kabur. Bagi orang-orang yang teraktualisasi dirinya tujuan dan cita-cita lebih penting daripada sarana yang digunakan untuk mencapainya. 

Orang yang teraktualisasi dirinya sepenuhnya senang melakukan atau menghasilkan yang lebih banyak daripada mendapatkannya  Selanjutnya penghayatan hidup yang tak bermakna karena kurang berfungsinya insting atau naluri serta memudarnya nilai-nilai tradisi pada orang-orang modern. 

Insting sebenarnya menunjukkan kepada manusia tentang apa yang harus dilakukan, sedangkan tradisi (termasuk agama) menunjukkan apa yang sepantasnya dilakukan. Maka manusia modern seringkali seakan-akan tidak mengetahui lagi apa yang benar-benar inginkan.

Sebaik apapun produk UU yang dikeluarkan kalau anggota DPRD dan pemimpin daerah bermasalah semenjak sebelum dipilih sampai menjadi pemenang. Maka langsung atau tidak langsung tidak ada artinya. 

Yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana peran KPU dan partai politik mendapatkan orang-orang yang sesuai harapan etika, norma adat dan agama, Apabila KPU dan partai politik juga mengalami ketiga hal diatas maka sekali lagi sama saja langsung atau tidak langsung. 

Dan yang tak kalah penting adalah para penegak hukum, seorang penegak hukum sebenarnya seperti sapu, maka kalau ingin membersihkan sesuatu, maka sapu tersebut haruslah bersih, kemudian membersihkan sesuatu yang kotor tentu tidak cukup membuang apa yang ada di dalam saja, tapi harus menutup apa apa yang membuat yang di dalam itu kotor.  

Pilkada adalah politik dan politik tidak lepas dari lingkaran kepentingan yang fenomenanya mengarah pada keburukan. Keburukan terjadi karena filosofis politik Indonesia adalah politik simbol atau pencitraan bukan sebuah science (ilmu) dan amanah, kalau politik lepas dari ilmu (mencari dan menemukan kebenaran) dan amanah, maka sulit politik di Indonesia menjadi baik dan benar. 

Partai partai politik harus dapat menjadi public political party. Pemimpin yang hebat karena keberhasilannya dalam memimpin tentu tidak terjadi begitu saja, ada proses dan komitmen dalam dirinya untuk berhasil, pertanyaannya dari mana orang tersebut mendapatkannya? 

Pertanyaan yang mudah untuk dijawab yaitu dari fitrah kemanusiaannya yang baik yang dituntun dan dibiasakan oleh lingkungan dan Pendidikan yang positif. 

Orang yang berhasil karena kebenaran dan kebaikan yang ada pada dirinya bisa ditentukan oleh dua hal yaitu kualitas diri dan kebiasaan, apabila kualitas baik tapi kebiasaan buruk hasilnya pasti buruk, apabila kualitas buruk tapi kebiasan baik  hasilnya pasti baik, apabila kualitas baik dan kebiasan baik, mau jadi apapun pasti berhasil, namun apabila kualitas buruk dan kebiasaan buruk, maka kehancuran lah yang terjadi. 

Sebagai manusia beragama dan berbudaya harapan untuk kebaikan dan kebenaran untuk Masyarakat Indonesia harus terus menyala, halangan rintangan yang ada adalah suatu fase untuk menjadi yang terbaik.