Hasan Supriyanto, Sekretaris Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Riau dan Anggota TKPSDA Wilayah Sungai
(Dok. Pribadi)
Oleh: Hasan Supriyanto, Sekretaris Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Riau dan Anggota TKPSDA Wilayah Sungai Kampar
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Catchment Area atau (daerah tangkapan air) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke titik bangunan pengambilan debit sungai yang ditinjau, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di hilir sampai dengan bangunan bendung atau bendungan.
Definisi ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2024 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Masih ada lagi beberapa definisi yang lain tentang daerah tangkapan air yang secara umum identik dan saling melengkapi.
Berdasarkan definisi tersebut, daerah tangkapan air atau catchment area merupakan area atau wilayah penting terutama dalam proses sirkulasi air dan keseimbangan ekologi.
Salah satu daerah tangkapan air yang strategis di Provinsi Riau dan sekitarnya adalah Daerah Tangkapan Air Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang. Berdasarkan data yang dikutip dari situs www.pltakotapanjang.wordpress.com, luas daerah tangkapan air (catchment area) PLTA Kota Panjang sekitar 3.337 km2 dengan debit air tahunan rata-rata 184.4 m3/detik.
Biaya pembangunan berasal dari pemerintah Indonesia dan dana pinjaman luar negeri dari Overseas Economic Cooperation Funds (OECF) Jepang.
Operasional PLTA Koto Panjang memanfaatkan arus sungai Kampar Kanan yang dapat menghasilkan daya listrik sebesar 114 MW dan membangkitkan tenaga listrik dengan produksi energi sebesar 542.000.000 kWh/tahun.
Energi listrik yang dibangkitkan akan digunakan untuk memenuhi tenaga listrik wilayah Sumbar dan Riau khususnya Kota Pekanbaru sebagai pusat pemerintahan Provinsi Riau.
PLTA Kota Panjang diinterkoneksikan dengan PLTU Ombilin berkapasitas 200 MW yang mencakup Gardu Induk Salak, Gardu Induk Solok, Gardu Induk Indarung, Gardu Induk Teluk Bayur, Gardu Induk Kandis, Gardu Induk Padang Luar, Gardu Induk Payakumbuh, PLTD Simpang Haru, PLTD/ PLTG Pauh Limo, PLTA Batang Agam melalui switchyard yang ada pada PLTA Kota Panjang dan selanjutnya dihubungkan dengan PLTD/G dan gardu induk sekitar Pekanbaru.
Pembangunan waduk PLTA Kota Panjang sejak awal prosesnya sangat dinamis dengan berbagai persoalannya, mulai dari pembebasan tanah, relokasi pemukiman, pembangunan konstruksi waduk, pembangunan jalan baru hingga penggenangan (impounding).
Dinamika-dinamika tersebut masih terasa dan terjadi pasca selesainya pembangunan bahkan hingga saat ini. Namun tulisan ini tidak secara khusus menguraikan dinamika-dinamika tersebut.
Tulisan ini fokus pada kondisi daerah tangkapan air atau catchment area) PLTA Koto Panjang yang dampaknya berimbas pada banyak aspek termasuk aspek ekonomi, sosial bahkan politik.
Analisis terhadap kondisi daerah tangkapan air (catchment area) PLTA Koto Panjang akan sangat terkait dengan data tutupan hutan di sekitarnya. Karena ketika daerah tangkapan air berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air, maka sangat terkait dengan kondisi tutupan vegetasi hutan.
Data kondisi tutupan vegetasi dapat dilihat dalam data kawasan hutan yang masih ada di sekitar PLTA Koto Panjang. Salah satu pihak terkait atau stakeholder yang berwenang memiliki data tersebut adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang saat ini sudah terpisah menjadi dua kementerian yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.
Sebenarnya isu tentang kerusakan hutan di daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang sebelumnya sudah seringkali muncul dan menjadi perhatian banyak pihak termasuk NGO dan masyarakat luas.
Apalagi ketika terjadi krisis listrik di Provinsi Riau dan provinsi sekitarnya beberapa tahun lalu. Keterkaitan jaringan atau interkoneksi pembangkit menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Pemadaman bergilir seringkali terjadi dengan durasi yang lama, tentu saja dengan salah satu alasannya adalah keterbatasan daya pasokan listrik. Kesadaran akibat rusaknya hutan sekitar PLTA Koto Panjang juga sudah disadari banyak pihak saat itu. Bahkan pemerintah Jepang melalui parlemen Jepang pernah berkunjung secara khusus ke kawasan ini.
Seiring waktu, isu kerusakan hutan di daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang menghilang tanpa diketahui perkembangan upaya penyelamatannya. Publik menjadi tidak mendapat informasi terbaru seputar daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang.
Saat itu, tahun 2006 penulis beberapa kali menulis tentang kawasan ini dari berbagai perspektif termasuk perspektif makna dibalik kunjungan parlemen Jepang ke Koto Panjang.
Berbagai kemungkinan dapat menjadi penyebab kenapa isu tentang kawasan ini meredup. Salah satunya adalah semakin berkurangnya krisis listrik yang ditandai dengan menurunya pemadaman bergilir. Penyebab lainnya diduga karena selama ini tidak ada kejadian khusus yang membuat isu ini mencuat kembali.
Namun peristiwa banjir besar yang terjadi dan melanda Kab. Pelalawan tepatnya di sekitar jalan lintas timur tidak jauh dari Pangkalan Kerinci membuat publik kembali teringat dengan PLTA Koto Panjang dan Sungai Kampar Kanan.
Banjir ini mengakibatkan jalan lintas timur selama menjadi salah satu jalan utama penghubung Provinsi Riau dengan daerah lainnya tergenang dan tidak dapat dilalui dalam waktu lama.
Korban jiwa memang tidak banyak, tetapi kerugian sosial dan ekonomi ditaksir cukup besar. Kejadian ini berlangsung hampir tiga bulan dengan fluktuasi tinggi air yang relatif tidak stabil.
Tidak hanya jalan lintas yang tergenang, pemukiman sekitar dan lahan pertanian/perkebunan turut tergenang dalam waktu yang lama. Bahkan beberapa kendaraan bermotor tidak dapat bergerak terjebak banjir.
Banjir yang terjadi dan berlangsung lama saat itu menjadi perhatian banyak pihak termasuk pemerintah pusat. Berdasarkan pemberitaan media massa yang beredar saat itu, beberapa pejabat instansi terkait menyampaikan bahwa salah satu penyebab banjir adalah pembukaan waduk PLTA Koto Panjang selain karena curah hujan yang tinggi.
Tidak banyak, bahkan hampir tidak ada para pihak atau stakeholder terkait yang menyampaikan bahwa salah satu penyebab banjir tersebut adalah karena kerusakan tutupan hutan di daerah tangkapan air di hulu sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan termasuk di daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang.
Pasca peristiwa banjir tersebut, muncul kembali ingatan pihak terkait termasuk masyarakat luas tentang daerah tangkapan air di hulu Sungai Kampar baik Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri.
Karena kondisi daerah tangkapan air hulu dua sungai ini memang dalam kondisi memprihatinkan. Perubahan tutupan hutan karena berbagai faktor khususnya alih fungsi lahan dan pembalakan liar menjadi penyebab utama.
Kawasan hutan di hulu sungai termasuk hutan lindung mengalami degradasi yang tidak terkendali. Padahal di dua sungai ini terdapat area lindung yaitu Cagar Alam Bukit Bungkuk dan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling yang sudah ditetapkan pemerintah.
Tulisan ini tidak akan mengupas kondisi tutupan hutan di dua area lindung tersebut, tetapi fokus pada daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang yang sebagian besar merupakan bagian dari Sungai Kampar Kanan.
Namun demikian dalam daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang ini terdapat kawasan hutan yang memang statusnya lindung seperti Cagar Alam Bukit Bungkuk. Daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang menjadi strategis karena dalam area ini terdapat asset penting nasional yaitu bendungan atau waduk PLTA Koto Panjang.
Berdasarkan data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan Kementerian Kehutanan, kondisi tutupan hutan sekitar PLTA Koto Panjang hingga tahun 2024 termasuk dalam kategori memprihatinkan.
BPDAS Indragiri Rokan membagi tingkat kekritisan lahan menjadi 5 kelompok yaitu tidak kritis, agak kritis, potensial kritis, kritis dan sangat kritis. Kawasan daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang dengan total luas mencapai 330.450,18 hektar, yang tergolong tidak kritis mencapai 16.190, 55 hektar atau 4,89 persen.
Agak kritis mencapai 169.253,79 hektar atau 51, 21 persen. Potensial kritis mencapai 29.340,34 hektar atau 8,87 persen. Tergolong kritis mencapai 59.753,56 hektar atau 18,08 persen. Dan sangat kritis mencapai 55.911,94 hektar atau 16,92 persen.
Berdasarkan data tersebut tergambar jelas bahwa lahan yang tergolong kritis dan sangat kritis tergolong tinggi yang mencapai 35 persen. Kondisi ini semakin memprihatinkan ketika luasan lahan yang tergolong agak kritis dan potensial kritis juga tinggi yaitu mencapai 60,08 persen.
Artinya kondisi tutupan vegetasi atau tingkat kekritisan di daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang sangat patut menjadi perhatian. Karena kondisi tutupan hutan di kawasan ini sangat berpengaruh dengan keberadaan bendungan PLTA Koto Panjang yang tentu saja sangat terkait dengan sektor lainnya.
Masih berdasarkan data BPDAS Indragiri Rokan, penggunaan lahan di kawasan ini juga beragam. Penggunaan lahan terbesar adalah hutan lahan kering sekunder yang mencapai 112.958,74 hektar atau 34,18 persen.
Sementara penggunaan lahan hutan kering primer mencapai 33.540,43 hektar atau 10,15 persen. Menariknya, terdapat juga penggunaan lahan hutan tanaman, walaupun luasnya tidak begitu besar yaitu mencapai 66,56 hektar atau 0,02 persen. Penggunaan lahan perkebunan juga tergolong tinggi yang mencapai 49.846,31 hektar atau 15,08 persen.
Namun demikian, luasan penggunaan lahan semak belukar dan lahan terbuka juga masih ada. Penggunaan lahan semak belukar mencapai 29.217,56 hektar atau 8,84 persen.
Penggunaan lahan terbuka mencapai 855,54 hektar atau 0,25 persen. Sisa penggunaan lahan lainnya merupakan lahan pemukiman, tubuh air, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak dan lahan sawah.
Penggunaan pertanian lahan kering campur semak termasuk tinggi yang mencapai 53.445,20 hektar atau 16,17 persen.
Kondisi daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang seperti diuraikan di atas, tentu saja patut menjadi perhatian serius khususnya bagi pihak berwenang. Karena kondisi tersebut dapat menyebabkan berbagai dampak lanjutan yang tentu saja bisa berdampak ke sektor lainnya.
Salah satu dampak lanjutan yang patut menjadi perhatian adalah laju sedimentasi akibat kerusakan hutan dan kegiatan lainnya termasuk penambangan ilegal. Karena peningkatan laju sedimentasi dapat menekan waduk dan dapat mengurangi usia bangunan bendungan PLTA Koto Panjang.
Kondisi yang terjadi di daerah tangkapan air PLTA Koto Panjang saat ini patut direspon dengan upaya konkrit dan nyata. Pihak terkait dan berwenang diharapkan berkoordinasi dan kolaborasi sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
Pemerintah daerah dan pemerintah pusat juga diharapkan saling sinergi dan mendukung termasuk dukungan anggaran dan pembiayaan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka penyelamatan daerah tangkapan air di kawasan PLTA Koto Panjang yang menurut penulis prioritas adalah sebagai berikut :
Pertama, perlu adanya pengaturan tata ruang atau zonasi yang menjadi pedoman bagi semua stakeholder. Pengaturan tata ruang ini juga menjadi penting dalam upaya penegakan hukum dari pihak-pihak yang memanfaatkan situasi melalui pemanfaatan areal yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Tidak adanya atau tidak jelasnya tata ruang yang jelas juga dapat membingungkan pihak terkait lainnya termasuk dalam hal investasi. Bahkan bisa juga menyebabkan konflik horizontal termasuk sesama masyarakat lokal karena perebutan ruang.
Dalam prosesnya penetapan ruang ini diharapkan dilakukan secara koordinatif dengan semua stakeholder terkait termasuk masyarakat tempatan. Selain itu, penetapan ruang harus ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi dalam melakukan penegakan hukum. Minimal dalam bentuk peraturan kepala daerah atau peraturan daerah.
Kedua, penegakan hukum terhadap tindakan apapun yang melanggar ketentuan perundang-undangan termasuk penegakan hukum kegiatan perambahan hutan dan alih fungsi lahan.
Karena disinyalir kegiatan perambahan hutan dan alih fungsi lahan masih marak terjadi di kawasan ini, termasuk di wilayah lindung. Penegakan hukum juga patut dilakukan pada kegiatan lain seperti penambangan ilegal dan pemanfaatan lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Keberadaan bangunan dan pemukiman liar yang berada di daerah ini juga patut menjadi perhatian.
Selain itu, keberadaan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan dan sekitar tubuh air yang tidak sesuai ketentuan juga patut menjadi perhatian. Upaya penegakan hukum memerlukan koordinasi dengan pihak terkait khusus aparat penegak hukum.
Ketiga, melakukan rehabilitasi atau penanaman lahan secara berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti tidak sporadis dan insidentil tanpa pemantauan. Upaya ini juga patut didasari dengan baselina data yang jelas dan terukur.
Edukasi dan pelibatan masyarakat dalam proses ini juga penting dilakukan. Memberikan penyadaran kepada masyarakat luas khususnya masyarakat tempatan untuk menjaga kawasan hutan juga patut dan penting dilakukan, termasuk mengurangi ketergantungan terhadap komoditas tertentu misalnya kelapa sawit.
Rehabilitasi lahan juga dapat dilakukan dengan penanaman komoditas tertentu yang secara teknis sesuai dengan kondisi lahan dan memiliki peluang pasar. Pola kemitraan dengan pihak terkait juga patut didorong.
Keempat, patut diupayakan pola pertanianyang adaptif dengan kemiringan tanah yang tinggi. Karena tidak dapat dipungkiri pasca pembangunan waduk PLTA Koto Panjang, Sebagian masyarakat direlokasi dari kehidupan pinggiran sungai dipindahkan ke areal yang memiliki kemiringan tinggi.
Untuk itu diperlukan teknik pertanian yang adaptif dengan kemiringan tinggi, antara lain melalui pola terasering. Karena di area ini marak pembukaan lahan untuk budidaya tanaman gambir yang memanfaatkan lahan yang miring.
Kecenderungan selama ini, pembukaan lahan termasuk lahan gambir tidak dilakukan menggunakan pola yang adaptif dengan kemiringan.
Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan kondisi daerah tangkapan air (catchment area) PLTA Koto Panjang berangsur pulih dan membaik. Harapan berikutnya adalah berbagai dampak lanjutan yang terjadi dapat dikurangi termasuk bencana banjir.
Bendungan PLTA Koto Panjang yang memiliki peran penting terutama dalam memenuhi pasokan listrik dapat terjaga. Karena listrik saat ini sudah menjadi salah satu kebutuhan utama. Usia bendungan juga dapat lebih lama tanpa harus dihantui ketakutan rusak dan jebol. Semoga.