Oleh Ilham Muhammad Yasir
Redaktur Eksekutif Riauonline, Ketua KPU Riau 2019-2024.
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Integritas dan loyalitas, dua hal yang sering salah dipahami di kalangan penyelenggara pemilu. Integritas sudah pasti bermakna positif. Sedangkan loyalitas belum tentu selalu bermakna positif. Justru kadang malah negatif pula. Ketika disalahgunakan penggunaan dan penempatannya.
Integritas adalah tindakan yang konsisten antara ucapan dan perbuatan. Integritas menjadi kesatuan nilai antara pola pikir, perasaan, ucapan, dan perilaku. Selaras dengan hati nurani dan norma yang berlaku. Orang yang berintegritas memiliki sikap jujur, tulus dan dapat dipercaya. Bertindak transparan dan konsisten. Menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal yang tercela.
Itu pula kenapa integritas dijadikan prinsip utama bagi penyelenggara. Bahkan, prinsip dasar bagi prinsip-prinsip yang lain. Letaknya lebih utama dibanding prinsip profesionalitas, proporsionalitas, terbuka dan akuntabel sekalipun. Integritas bersifat intrinsik dan falsafati dari dalam diri. Sedangkan, profesionalitas berada di luar. Terbentuk karena pola hubungan antara sesama di dalam pergaulan.
Sementara loyalitas adalah kepatuhan dan kesetiaan. Loyalitas juga dapat diartikan sebagai komitmen atau kesetiaan seseorang terhadap individu, kelompok, atau lembaga. Dalam pola struktur hubungan yang sub-ordinatif. Sering disinonimkan dalam bentuk hubungan antara atasan dan bawahan. Ini umumnya terjadi di masyarakat feodalistik. Loyalitas ini selalu bersinggungan dengan kewenangan di tingkat atasnya. Pimpinan.
Loyalitas apakah itu bermakna positif dan negatif? Sangat ditentukan oleh penggunaan para pemilik kewenangan di atasnya. Jika loyalitas digunakan secara membabi-buta, maka sudah pasti dampaknya sangat berbahaya. Apa pun dilakukan jika itu sebuah perintah. Sebagai bukti loyalitas terhadap pimpinannya.
Sebenarnya, loyalitas sama sekali tidak termasuk di dalam 13 prinsip-prinsip penyelenggara pemilu. Namun, di internal lembaga penyelenggara di Pemilu dan Pilkada 2024 jadi semacam simbolisasi kepatuhan kepada para pimpinan. Jadi semacam tolok ukur kesetiaan.
Loyalitas Buta
Sangat bahaya, jika struktur kelembagaan penyelenggara pemilu disalahgunakan. Kelembagaan digunakan untuk tujuan di luar kewenangan lembaga yang sudah ditentukan sedemikian rupa. Bahkan, kadang menabrak prinsip-prinsip dasar penyelenggara pemilu itu sendiri. Atas dasar loyalitas 'perintah' pimpinan, apa pun ceritanya harus dilaksanakan. Jika tidak dilaksanakan dimaknai sebagai tidak loyal terhadap pimpinannya.
Ini pula yang ditemukan penulis di lapangan. Loyalitas semu dan buta ditanamkan di kalangan penyelenggara. Khususnya dalam pola komunikasi antara penyelenggara dengan Badan Adhoc: Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Ukuran subjektifitas sering digunakan saat rekrutmen Badan Adhoc misalnya. Karena penulis menemukan fenomena ini di lapangan. Atas nama tidak ada loyalitas atas perintah pimpinan dipakai sebagai ukuran mengukur pola evaluasi. Terutama terjadi saat seleksi Badan Adhoc di antara tahapan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 kemarin. Hasil temuan penulis dengan sejumlah mantan PPK dan PPS Pemilu ditemukan indikasi yang mengarah kepada loyalitas selalu dijadikan patokan.
Padahal, jika dibalikkan dari kacamata pandangan yang lain, integritasnya jauh lebih terjaga. Ada penyelenggara yang menolak terlibat dalam tindakan melanggar etika ikut membagikan "logistik" lain di luar logistik Pemilu 2024 oleh pimpinan tertentu. Menolak bekerja sama untuk ikut menguntungkan seorang calon dan partai tertentu peserta pemilu, malah justru dianggap tidak loyal. Sebaliknya, yang terlibat itu pula yang dinilai loyal oleh pimpinannya. Yang kemudian dalam prosesnya benar-benar sangat melukai hati nurani para penyelenggara yang selama ini bersungguh-sungguh menjaga integritasnya. Semoga integritas selalu dijadikan tuntunan. Loyalitas buta enyah di Pilkada.*
(telah terbit di riauonline.co.id)
*Pembina Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau (YPLDR) dan anggota Dewan Pakar Pekan Institute.