Penulis: Ketum KAMMI Riau, Wahyu Andrie Septyo.
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Kamis, 29 Februari 2024 akan tercatat sebagai kado buruk pada transisi kepemimpinan tertinggi di Provinsi Riau dan momentum ini tentunya akan memberikan kesan buruk yang akan terus terngiang-ngiang di pikiran masyarakat Riau mengenai latahnya penentuan Pj Gubernur Riau oleh Presiden Jokowi bersama dengan Mendagri.
Penunjukan Pj Gubernur Riau yang saat ini secara resmi telah dijabat oleh SF Hariyanto sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Riau. SF Hariyanto tentu amat dikenal publik secara nasional melalui pemberitaannya di jagad media nasional. Pemberitaan flexing yang dilakukan oleh istrinya serta pesta ulang tahun anaknya yang dilaksanakan secara megah tentunya memberikan citra buruk yang bertentangan dengan pernyataan-pernyataan yang sering disampaikan SF Hariyanto agar tidak berpenampilan bermegah-megahan (kesenangan). Tidak hanya mengenai pernyataannya yang kontroversial, tapi publik juga sempat merasa resah terkait dari mana sumber anggaran untuk semua kemewahan itu.
Hingga saat ini pun Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) belum ada menyampaikan atau mengeluarkan rilis resmi kepada publik mengenai hasil penelusuran (pemeriksaan) Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) hingga hasil klarifikasi yang telah dimintakan kepada SF Hariyanto di bulan April dan Mei Tahun 2023 lalu.
Lambatnya proses terhadap penentuan hasil pemeriksaan dan pemberitahuan kepada publik mengenai hasil klarifikasi SF Hariyanto kepada KPK RI semakin memperkuat pandangan masyarakat terhadap lemahnya kinerja Lembaga Anti Rasuah ini, ditambah lagi dengan adanya terpaan badai krisis moral usai Pimpinan KPK beserta 78 Pegawai KPK RI yang juga terseret dalam permasalahan hukum (pemerasan dan pungli).
KAMMI Wilayah Riau juga sangat menyesalkan sikap Presiden Jokowi yang latah dan tidak selektif dalam penentuan Pj Gubernur Riau di saat persoalan etika dan moral sempat menjadi catatan terhadap peristiwa yang terjadi di sepanjang tahun 2023 di saat SF Hariyanto menjabat sebagai Sekda Provinsi Riau. Padahal, masih banyak ASN-ASN (kandidat) yang muncul di tengah-tengah pikiran publik juga merupakan tokoh muda yang layak untuk menjadi Pj Gubernur Riau yang memiliki rekam jejak lebih baik dan membanggakan serta merupakan putra/putri terbaik yang berasal dari bumi Melayu Riau.
KAMMI Wilayah Riau juga sangat kecewa terhadap sikap Presiden Jokowi saat ini, ternyata keributan persoalan moral dan etika yang terjadi di pemerintahan pusat sebagaimana yang disuarakan oleh para akademisi, aktivis, praktisi sampai pada kumpulan masyarakat terkait kisruh putusan MK Nomor 90 yang dipimpin oleh adik ipar Presiden Jokowi yang pada akhirnya melanggengkan anak kandung Presiden Jokowi menjadi Calon Wakil Presiden 2024/2029 yang disisi lain memberikan sanksi pemberhentian sebagai Ketua MK kepada Anwar Usman karena terbukti melanggar kode etik, sampai pada dugaan ketidaknetralan Presiden Jokowi bersikap pada pemilu Tahun 2024.
Ternyata tindakan yang dinilai krisis moral tersebut ditularkan dalam penentuan Pj Gubernur Riau saat ini. Hal tersebut tentunya menjadi sebuah ironi, ketika sejarah mencatat bahwasanya tokoh muda Melayu Riau pasca kemerdekaan RI yang secara ikhlas dan tanpa syarat Sultan Syarif Kasim II menyerahkan mahligai kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia saat itu.
Padahal KAMMI Wilayah Riau per Maret 2023 telah bersurat secara resmi dan melampirkan kajian strategis kepada Presiden, Mendagri, MenPAN RB, KPK, dan PPATK terkait persoalan etik dan dugaan Korupsi yang menyandung SF Hariyanto. Namun, hingga saat ini tidak ada tanggapan dari institusi tersebut meskipun seluruh proses berjalan ketika KAMMI Wilayah Riau telah bersurat resmi dengan melampirkan kajian strategis tapi tidak memberikan hasil yang signifikan.
KAMMI Wilayah Riau akan komitmen dan terus mengawal persoalan ini hingga ada titik terang yang muncul dalam menjawab persoalan ini. Sampai pada pelaksanaan dan menuntut pada sidang jalanan jika tidak ada keadilan di ruang pengadilan serta membentuk parlemen jalanan jika parlemen tidak lagi mampu menyuarakan aspirasi menuntut keadilan.
"Quid Leges Sine Moribus (Apalah arti hukum tanpa moralitas)"