RIAU ONLINE, PEKANBARU-Euforia kontestasi demokrasi terbesar di Indonesia melalui Pemilihan Umum (Pemilu) serentak Tahun 2024 memang sangat mencuri perhatian seluruh elemen masyarakat. Apalagi pemilih dari kelompok muda (pemuda) yang mendominasi dalam pemilu serentak nanti dengan jumlah sekitar 60 persen pemilih.
Mencuatnya informasi terkait kasus Anggota DPD-RI aktif yang juga dalam waktu bersamaan menjadi Caleg DPR-RI dalam wilayah pemilihan yang sama, tentu menimbulkan ingar-bingar dan pelbagai macam pertanyaan di tengah-tengah masyarakat Riau.
Salah satunya ialah pada kasus yang menimbulkan polemik yang cukup sengit terkait Anggota DPD-RI Dapil Riau Periode 2019-2024 yang dalam waktu bersamaan juga mencalonkan dirinya sebagai Caleg DPR-RI Dapil Riau Periode 2024-2029. Anggota DPD RI dengan inisial IA merupakan srikandi senator ulung dari Riau yang juga diketahui telah menjabat selama 4 periode sejak tahun 2004.
Berbagai kalangan masyarakat sedang mempertanyakan komitmen beliau yang telah memastikan dirinya ikut dalam kontestasi Pileg 2024 sehingga masuk ke dalam salah satu Partai Politik yang bersamaan sedang menjabat sebagai salah satu Anggota DPD RI Asal Riau.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya DPD RI merupakan perwakilan perseorangan dari setiap daerah (provinsi) yang tentunya sangat tidak identik dengan Partai Politik (Non Partai Politik).
Apabila merujuk pada aturan-aturan yang berlaku di Indonesia mengenai hakikat keterwakilan dari Lembaga Legislatif DPD RI ini secara tegas diatur dalam Pasal 22C ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” yang artinya bahwa dalam proses pemilihannya DPD merupakan calon perseorangan dari suatu daerah (provinsi) dan bukan sebagai representasi dari partai politik.
Adapun tujuan ialah membagi penyampaian aspirasi dari kelompok non partai. Hal tersebut juga diperkuat dengan bunyi Pasal 1 Angka 27 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang menyatakan bahwa peserta pemilu untuk Anggota DPD adalah perseorangan, beda halnya dengan lembaga legislatif lain seperti DPR-RI dan DPRD yang merupakan representasi dari partai politik ketika menjadi peserta pemilu serta cenderung mengedepankan kepentingan kelompok tertentu (parpol).
Keberadaan DPD-RI sejak dilahirkan melalui Amandemen ke-3 UUD 1945 memang dimaksudkan untuk mengakomodir kepentingan daerah, kemudian terhadap 2 representasi lembaga legislatif di parlemen pada Pemerintahan Indonesia dibagi 2 kamar dengan istilah bikameral.
Pada kamar pertama ada DPR-RI yang merupakan representasi partai politik di daerah dengan keterwakilan yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk dengan jumlah keterwakilan yang variatif di setiap daerahnya, kedua DPD-RI merupakan keterwakilan perseorangan dari daerah (provinsi) yang kursinya telah ditetapkan dengan jumlah 4 orang setiap daerahnya. Oleh karena itu, hakikat dari adanya DPD-RI ini murni untuk membawa aspirasi dan/atau kepentingan daerah tanpa
adanya kepentingan partai politik tertentu.
Larangan terkait Pengurus (fungsionaris) Partai Politik menjadi Anggota DPD-RI sudah ada sejak tahun 2019 melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 putusan tersebut memberikan tafsiran final pada Uji Materil UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Pada Pasal 182 Huruf I yang ditafsirkan sebagai larangan bagi pengurus parpol menjadi anggota DPD-RI sejak putusan diucapkan saat pelaksanaan Pemilu Tahun 2019. Meskipun dalam Keputusan MK tersebut tidak secara rinci menjelaskan status pengurus partai politik yang dimaksud sama atau tidak dengan status anggota partai politik.
Namun, hal tersebut dapat di analisa melalui Pembacaan Pendapat Mahkamah Konstitusi yang disampaikan oleh Wakil Ketua MK Aswanto “bahwa perseorangan warga negara yang sekaligus pengurus partai politik boleh atau dapat menjadi anggota DPD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Apabila ditafsirkan dapat atau boleh, maka hal tersebut bertentangan dengan hakikat wujud representasi daerah sekaligus berpotensi lahirnya perwakilan ganda.
Sebab, jika calon anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik tersebut terpilih, maka partai politik dari mana anggota DPD berasal secara faktual akan memiliki wakil, baik di DPR maupun di DPD, sekalipun yang bersangkutan menyatakan perseorangan tatkala mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPD. Dengan demikian, hal ini berarti bertentangan dengan semangat Pasal 22D UUD 1945”.
Pada dasarnya Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik akan tunduk pada segala ketentuan yang diatur dalam AD/ART yang berlaku dalam parpol, termasuk kewajiban anggota dan/atau parpol dalam menjalankan apa yang menjadi kepentingan yang telah ditetapkan oleh parpol tersebut.
Sementara dalam beberapa aturan dan ketentuan yang berlaku pada DPD-RI sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 253 dan 254 UU Nomor 13 Tahun 2019 Tentang MD3 (MPR, DPR, DP, DPRD) perubahan ketiga atas UU No. 17 Tahun 2014 mengenai sumpah/janji Anggota DPD-RI, serta Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Pasal 9-11 Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Tertib DPD RI untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya seperti yang juga telah diamanatkan oleh konstitusi yang secara garis besar memberikan kewajiban untuk mengutamakan kepentingan daerah yang diwakili, dan bukan kepentingan pribadi apalagi partai politik.
Pemahaman Ideal mengenai DPD-RI memang harus dipisahkan dari anggota dan/atau pengurus partai politik, namun tidak hanya bertitik tolak pada aturan secara tekstual tetapi juga mengedepankan roh etika dan moral. Serta juga memperhatikan etika berbangsa dan berpolitik yang lebih konstruktif dan progresif.
Hal ini, tentunya masih menunggu komitmen (IA) sebagai Anggota DPD-RI yang juga telah menjadi Anggota Parpol yang akan mengikuti kontestasi demokrasi Pileg DPR-RI 2024-2029. Sikap tegas dan bijaksana yang harus beliau pilih ialah mengundurkan diri sebagai Anggota DPD RI.
Sebagai seorang senator ulung dari Riau tentu seluruh elemen masyarakat memegang penuh harapan untuk agar beliau dapat menjaga marwah DPD-RI yang merupakan amanah dari perwakilan daerah, atau sebaliknya jika terus memaksakan hal tersebut. Maka, ini akan preseden buruk yang beliau wariskan sebagai tokoh Riau untuk generasi muda yang mengamati perkembangan perpolitikan di Riau dan Nasional.
Opini oleh: Direktur Hukum dan Advokasi Independen Demokrasi (IDE)
Wahyu Andrie Septyo, S.H