Penulis : Hasbullah Tanjung
RIAUONLINE, PEKANBARU - Pers di Riau menjadi media massa yang beruntung, karena posisinya berada di salah satu daerah penyumbang kosa kata terbanyak dalam Bahasa Indonesia. Beragam bahasa yang berasal dari tanah Melayu ini, banyak digunakan dalam bahasa ibu.
Hal itu tentunya menjadi khazanah tersendiri bagi media dalam berbahasa, menyampaikan informasi kepada masyarakat, baik melalui media cetak, dalam jaringan (daring), maupun elektronik. Karena selain melestarikan bahasa tradisional, media di Riau juga sekaligus memperkuat Bahasa Indonesia, setiap kali menerbitkan sebuah berita.
Namun dalam realisasinya, hingga saat ini tidak bisa dipungkiri, pada umumnya media di Riau masih belum 100 persen menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dalam menyampaikan informasi.
Hal tersebut bukan karena ketidaktahuan, dan bukan karena awam dalam berbahasa Indonesia, namun seringkali media tergoda untuk menggunakan bahasa yang menarik dan unik, untuk memancing pembaca, terutama pada judul berita.
Apalagi di zaman digital saat ini, sebagian media masih cenderung mengutamakan banyaknya pembaca dan mengunjungi situs beritanya, walau dengan mengenyampingkan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Padahal, seperti kita tahu, masyarakat sering menjadikan media massa sebagai referensi, bukan hanya tentang materi berita, namun juga cara media dalam menggunakan bahasa. Ketika suatu bahasa digunakan media, masyarakat kemudian menganggap itu menjadi suatu hal yang lumrah, dan boleh digunakan.
Kita ambil sebuah contoh, kata baper, yang merupakan singkatan dari bawa perasaan. Kata baper seringkali kita temukan di judul-judul berita. Kemudian kata zaman now, yang juga sering ditemukan pada judul berita, selanjutnya kata online, yang harusnya bisa diganti dengan kata daring, dan banyak lagi kata lainnya, yang tidak pernah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Tidak hanya menggunakan bahasa anak-anak muda, kadang media juga terjebak dan latah dalam menyampaikan informasi dari pemerintah, walaupun bahasa yang digunakan pemerintah bukanlah bahasa yang baik dan benar.
Pada tahun 2015 silam, Pemerintah Provinsi Riau membuat tema ulang tahun ke 58 dengan kalimat "Riau the Homeland of Melayu" dengan maksud ingin menyampaikan Riau sebagai tanah tumpah Melayu. Padahal, kalau menggunakan bahasa Indonesia, tentu alangkah lebih indahnya tema tersebut disampaikan. Demikian juga pada ulang tahun selanjutnya ke 59, di tahun 2016, yang mengambil tema, Riau Go IT, dengan maksud, ingin menjadikan Riau menjadi terdepan bidang Informasi dan Teknologi (IT).
Ketika itu, media dengan latah mengulang dan terus mengulang kalimat yang sama, untuk turut mensosialisasikan tema yang diusung oleh Pemerintah Provinsi Riau saat itu. Padahal jelas-jelas bahasa yang digunakan adalah bahasa asing.
Dengan contoh tersebut, kita bisa melihat, bahasa jurnalistik memiliki peran dan fungsi yang cukup luar biasa pengaruhnya terhadap Bahasa Indonesia, posisinya bisa memperkuat Bahasa Indonesia, namun juga bisa sebaliknya.
Dalam kondisi ini, saya melihat, ada sebuah kondisi yang dilema. Antara situasi media ingin memajukan perusahaannya sesuai dengan ciri khas tersendiri yang dipertimbangkan sesuai dengan minat pembaca, namun disisi lain juga dituntut untuk turut berkontribusi memperkuat Bahasa Indonesia dengan memperhatikan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia setiap menyampaikan informasi, yang mungkin kadang dinilai terlalu baku.
Memang tidak mudah untuk mengubah kondisi ini. Namun ketika ada pihak terkait menggandeng media massa, mengajak bersinergi dalam memperkuat Bahasa Indonesia, tentunya akan ada perubahan secara terus menerus menuju kesempurnaan. Seperti yang dilakukan Balai Bahasa Provinsi Riau, dengan melakukan penyuluhan kepada media, lomba, dan berbagai kegiatan lainnya, yang beberapa waktu terakhir cukup sering dilaksanakan.