Pemain Bola Indonesia Jebolan Luar Negeri Yang Kurang Beruntung

alam.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE - PSSI meluncurkan program mercusuar pelatnas jangka panjang ke Uruguay berlabel Sociedad Anonima Deportiva pada tahun 2008. Program ini hampir mirip dengan Primavera dan Baretti di Italia pada pertengahan 1990-an. Pemain belia berbakat Tanah Air dikumpulkan dalam satu tim untuk mengikuti kompetisi junior di negara yang dituju.

 

Dilansir dari laman Bola.com, program SAD yang didanai pengusaha gila bola, Nirwan Dermawan Bakrie, berjalan selama lima tahun, 2008-2013. Banyak pesepak bola berbakat mencuat dari program yang kabarnya menelan dana 1 juta dolar per tahun itu.

 

Akan tetapi, tidak semua pemain didikan SAD yang berlaga di kompetisi U-17 dan U-19 Uruguay sukses saat menjalani karier di level senior. Menurut catatan bola.com, ada beberapa pemain lulusan SAD yang menjalani masa-masa sulit saat berkarier sebagai pesepak bola profesional. Siapa-siapa saja mereka?

 

1. Syamsir Alam

 

Digadang-gadang jadi penyerang top Timnas Indonesia meneruskan era Bambang Pamungkas, Syamsir Alam yang mendapatkan beasiswa generasi pertama program pelatnas jangka panjang SAD Uruguay pada 2008 gagal bersinar saat berkarier di level senior.

 

Pada musim perdana tampil di Liga U-17 Quinta Division 2008, ia menjadi top scorer dari tim SAD Indonesia dengan mengemas 15 gol dari 29 laga. Lantaran dianggap berbakat, ia sempat dipinjam Penarol pada musim selanjutnya.

 

Syamsir meninggalkan tim SAD untuk bergabung ke klub Divisi II Belgia, CS Vise, pada musim 2011. Klub tersebut dimiliki penguasa gila bola yang membiayai program SAD, Nirwan Dermawan Bakrie.

 

Namun, Syamsir lebih banyak jadi cadangan selama dua musim berkiprah di klub tersebut. Cedera punggung membuat pemain kelahiran Agam, 6 Juli 1992 itu, kesulitan menemukan level permainan terbaik.

 

Walau jadi langganan bangku cadangan di CS Vise, Syamsir dipanggil Rahmad Darmawan untuk mengikuti seleksi Timnas SEA Games 2011. Tampil impresif selama sepekan di sesi latihan pelatnas, nama Syamsir justru tak masuk skuat inti. Situasi serupa terjadi di SEA Games 2013. Faktanya, Syamsir memang tampil di bawah ekspektasi RD. Di masa seleksi Timnas Indonesia U-23, ia mandul gol.

 

Pada 2013, Syamsir membuat sensasi saat digaet klub asal Amerika, DC United. Klub itu dimiliki pengusaha asal Indonesia, Erick Thohir. Tetapi, kesempatan emas berkarier di kompetisi MLS tak dimanfaatkan secara baik oleh sang pemain. Selama semusim di Washington DC, Syamsir lebih sering hanya ikut latihan saja di DC United. Namanya tidak pernah masuk line-up.

 

Pulang ke Tanah Air, Syamsir bergabung dengan Sriwijaya FC. Hanya, embel-embel berguru di CS Vise tak membuat sang penyerang mudah menembus posisi inti. Ia lebih sering duduk di bangku cadangan.

 



Karena frustrasi, Syamsir yang beberapa kali terlibat asmara dengan artis, memilih pindah ke Persipasi Bandung Raya di awal 2015. Apesnya kompetisi Indonesia Super League 2015 terhenti pada bulan April, imbas konflik antara PSSI dengan Kemenpora.

 

Syamsir praktis menganggur pasca ISL vakum. Saat PBR tampil di Piala Presiden dan Piala Jenderal Sudirman, namanya tidak tercantum dalam daftar pemain yang dimiliki pengusaha muda, Ari Sutedi.

 

Manajer PBR, Muly Munial, menyebut tingkah laku Syamsir Alam yang kerap indispliner jadi penyebab ia terbuang dari klub. Sang pemain belakangan lebih sering bergaul di dunia selebritas dibanding serius menata kariernya di dunia sepak bola.

 

2. Alfin Tuasalamony

 

Alfin Tuasalamony jadi pemain paling mengilap dalam program SAD Uruguay generasi pertama. Saat membela CS Vise, pemain asal Tulehu, Maluku tersebut, jadi langganan tim inti selama dua musim, 2011-2013.

 

Aksi Alfin di Divisi II Belgia juga sempat dipantau pemandu bakat klub elite Portugal, Benfica. Walau punya kesempatan besar berkiprah di Eropa, bek sayap serbabisa tersebut memilih bergabung ke Persebaya Surabaya selepas membela Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2013.

 

Pemain kelahiran 13 November 1992 itu memutuskan hengkang ke Persija Jakarta pada ISL 2015. Ia mengikuti jejak pelatihnya di Tim Bajul Ijo, Rahmad Darmawa,n yang juga merapat ke Jakarta.

 

Petaka menimpa Alfin, kala menganggur pasca kompetisi ISL 2015 terhenti, ia jadi korban kecelakaan. Kaki kirinya patah ditabrak mobil yang dikendarai seorang ibu di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.

 

Karier sepak bola Alfin terancam. Ia divonis harus istirahat total minimal setahun. Apakah sang pemain bisa melanjutkan kariernya? Semua itu ergantung bagaimana ia menjalani terapi penyembuhan cederanya. Masalahnya, Alfin tidak punya cukup biaya untuk mengobati cederanya. Persija klub yang dibelanya mengalami krisis keuangan karena kompetisi terhenti.

Macan Kemayoran pun tidak sanggup membayar Alfin sesuai kesepakatan kontrak awal. Untuk biaya pengobatan, Alfin mengandalkan tabungan saat bermain di Eropa.

 

3. Reffa Money

 

Bakat Reffa Arvindo Badherun Money mulai tercium saat membela Timnas Indonesia U-15 pada tahun 2006. Ia jadi figur kunci Tim Jawa Timur saat juara Piala Medco U-15 tahun 2007.

 

Nama pemain berdarah Maluku yang besar di Surabaya itu selalu menghiasi skuat Tim Merah-Putih junior bersama rekan seangkatannya, Syamsir Alam dan Yericho Christiantoko. Stopper belia kelahiran 21 Januari 1992 itu jadi kapten tim SAD Uruguay 2008-2009. Namun, cedera lutut parah membuatnya tak ikut dalam rombongan pemain Indonesia yang dikirim ke CS Vise Belgia.

 

Reffa pulang ke Tanah Air pada pengujung 2011. Setelah itu, nama Reffa menghilang dari peredaran sepak bola nasional.

 

Anak dari mantan pemain Persebaya tahun 1980-an, Yusuf Money, sempat berkarier di klub Persis Solo musim 2013-2014. Terakhir, namanya masuk daftar pemain PS TNI yang berlaga di Piala Jenderal Sudirman. Namun, di tim amatir yang tampil memesona di penyisihan grup Piala Jenderal Sudirman, Reffa hanya jadi penghangat bangku cadangan.

 

4. Yericho Christiantoko

 

Yericho Christiantoko, yang dibina Akademi Arema digadang-gadang akan menjadi penerus bek kiri legendaris Indonesia, Aji Santoso. Dengan bakat alam mumpuni, Yericho selalu memperkuat Timnas Indonesia level junior interval 2005-2008.

 

Kariernya kian berkembang saat ikut pelatnas jangka panjang SAD Uruguay pada 2008. Tiga tahun berselang, pemain kelahiran 14 Januari 1992, dikontrak CS Vise pada 2011-2012. Ia juga masuk skuat Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2011 dengan prestasi medali perak.

 

Karier Yericho mulai tersendata akibat cedera lutut parah di pentas kompetisi Divisi II Belgia. Ia jarang bermain dan akhirnya dipulangkan ke Indonesia. Yericho akhirny bergabung dengan klub yang membinanya, Arema Cronus pada 2013.

 

Di Tim Singo Edan cederanya kerap kali kambuh. Nama Yericho pun jarang masuk starting eleven di Arema Cronus.

 

Pada akhir 2014, Yericho dilepas ke klub Divisi Utama, Persekam Metro FC. Tidak berjalannya kompetisi kasta kedua musim 2015 karena perseteruan PSSI dengan Kemenpora membuat karier sang pemain mandek