RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng atau kelapa sawit oleh Presiden Joko Widodo, dinilai oleh Ekonom Universitas Riau (Unri) sebagai kebijakan emosional.
Dampak kebijakan pelarangan ekspor CPO oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) memicu dan berdampak luas terhadap petani kecil. Seharusnya pemerintah agar tak membabi-buta dalam menetapkan kebijakan.
"Belum lagi berlaku kebijakan itu, sekarang harga TBS di Riau sudah turun. Jadi pendapatan petani (sawit) akan berkurang karena nanti akan semakin turun kalau ini semakin lama," ungkap dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unri, Edyanus Herman Halim, Senin (25/4/2022).
Jika kebijakan pelarangan ekspor bertujuan hindari kecurangan di lapangan soal minyak goreng, Edyanus menyebutkan langkahg itu justru tidak tepat.
"Sebaiknya kalau memang ada kecurangan-kecurangan di lapangan dalam proses pemasaran minyak goreng, ya ditangkap. Sekarang Dirjen Kemendag dan tiga bos perusahaan sudah dijadikan tersangka, ya dikejar terus yang lainnya kalau memang ada," desaknya.
Menurut Edyanus, tak seharusnya pemerintah menetapkan kebijakan justru berimbas pada rakyat kecil, dalam hal ini petani sawit.
"Seharusnya saluran distribusi minyak goreng diperbaiki. Tujuannya, tampak ke mana hasil produksi minyak goreng itu," katanya.
Ia menegaskan, saat ini sudah betul 80 persen diekspor, sedangkan 20 persen memenuhi kebutuhan pasokan dalam negeri.
"Tapi dikawal yang dalam negeri ini jangan juga diekspor. Supaya jalur distribusi terjaga. Supaya jelas dari produsen ke pedagang pengecer hingga konsumen. Arus barang ini jangan bocor di tengah jalan sehingga tak sampai ke konsumen. Ini yang harus dibenahi," pungkasnya.
Sebagai informasi, Presiden Jokowi melarang ekspor bahan baku minyak goreng atau kelapa sawit terhitung berlaku pada 28 April 2022 mendatang.