Sertifikasi Sawit ISPO dan RSPO, Ini Bedanya

Kebun-Sawit.jpg
(Internet)


RIAU ONLINE - Direktur Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), Tiur Rumondang menyatakan, ada sedikit perbedaan antara kedua sertifikasi kelapa sawit ISPO dengan RSPO. ISPO dianggap lebih kuat menjawab soal status legalitas perusahaan dan praktik lingkungan. Sementara RSPO memberi keyakinan pada pasar akan kelapa sawit yang ramah lingkungan.

 

“Ini kayak orang punya ijazah sekolah, SMP, SMA, universitas. Apakah Anda akan langsung mendapatkan gaji tinggi? Belum tentu. Ini (RSPO) adalah satu bargain power, perusahaan buat menaikkan tawaran bisnisnya, sama kayak ijazah, sehingga kita masuk dunia kerja, kita bisa bargain, mau gaji berapa. Tapi kalau kita nggak punya, sebuah lembaga yang menyatakan bahwa (produk) kita sesuatu yang baik, maka kita nggak punya bargain position,” ujar Tiur.

 

BACA JUGA :Sertifikat Sawit ISPO Tak Diakui Dunia, Begini yang Harus Dilakukan Perusahaan

 



Namun, seorang pelaku usaha, Hasbie Hasbillah, kepala unit sustainability dari Asian Agri menyatakan bahwa meski pemerintah mewajibkan agar perusahaan kelapa sawit wajib memiliki ISPO, namun sertifikasi ini, selain tak diterima di luar negeri, juga tak punya arti di dalam negeri.

 

KLIK JUGA : Sawit Indonesia Dominasi Pasar Dunia, Faktor Ramah Lingkungan Dipertanyakan

 

"Di dalam negeri saja, kan belum ada persyaratan, (bahwa) industri margarin membeli CPO (crude palm oil) harus (dari perusahaan yang memiliki) ISPO, belum. Karena mereka butuh itu (CPO) untuk bahan baku margarin. Di dalam negeri saja belum. ISPO-nya sendiri belum mempersyaratkan produk sabun atau margarin memakai CPO yang memenuhi ISPO," kata Hasbie.

 

Sementara sertifikasi RSPO, meski sifatnya sukarela, tapi menjadi wajib buat perusahaan yang ingin memasuki pasar Eropa. Akhirnya, buat dia, tetap saja pengusaha terbebani oleh dua sistem sertifikasi berbeda, meski hanya satu yang menghasilkan kepastian jelas dari sisi permintaan pasar.

 


Namun, seperti kata Hasbie, hal ini akan sangat merugikan bagi konsumen produk kelapa sawit di dalam negeri. Yaitu hampir semua orang yang membeli sabun dan margarin untuk kebutuhan bulanan. " Seolah-olah, bahasa kasarnya, orang dalam negeri nggak apa-apa pakai produk yang tidak halal, yang penting keluar (negeri) saja yang halal.