RIAU ONLINE - Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak 20 Oktober 2014 silam, hingga Jumat, 29 Juli 2016, sudah tiga kali eksekusi mati dilaksanakan. Pada eksekusi kedua dan ketiga ada narapidana yang sudah divonis mati, justru terelak dari tembakan regu tembak.
Lalu, apa menjadi alasan Presiden Joko Widodo bersikeras melakukan perintah eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba? Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Berikut alasan Jokowi lakukan tembak mati dan seputar eksekusi pencabut nyawa tersebut dilansir dari dw.com:
Keyakinan Jokowi
Gigihnya Presiden Joko Widodo membela hukuman mati ternyata masuk akal. Indonesia berada dalam darurat narkoba. Presiden berdalih, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah dibandingkan rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Baca Juga: Demi Tuhan, Mbak, Saya bukan Bandar, Tolong saya, Mbak
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi tindak kriminal. Sebuah penelitian di Amerika Serikat bahkan mengungkap negara bagian menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas.
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Klik Juga: Jelang Ditembak Mati, Freddy Minta Nasi Padang dan Doakan Anak Jadi Ustaz
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah dieksekusi, pemerintah telah mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Lihat Juga: Inilah Jejak Kasus yang Menunda Eksekusi Mati 2 Warga Selat Panjang
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline