RIAU ONLINE, PEKANBARU – Genap satu tahun sudah sejak Polda Riau mulai mengusut kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Setwan DPRD Riau periode 2020–2021, namun hingga Rabu, 2 Juli 2025, belum juga ada penetapan tersangka.
Penyelidikan kasus ini dimulai sejak 1 Juli 2024, bertepatan dengan HUT Bhayangkara, saat Polda Riau melakukan pemeriksaan terhadap mantan Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Riau, Muflihun. Kini, setelah dua kali peringatan HUT Bhayangkara digelar, kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp195,9 miliar itu masih jalan di tempat.
Terakhir, pihak Polda Riau menyatakan sudah mengantongi dua alat bukti untuk menetapkan tersangka berinisial "M", dan tengah menunggu notulen gelar perkara ditandatangani oleh Tipidkor Mabes Polri.
"Berdasarkan hasil analisis awal dan dua alat bukti yang telah dikantongi, penyidik menyatakan bahwa saudara M akan segera ditetapkan sebagai tersangka," ujar Dirreskrimsus Polda Riau, Kombes Ade Kuncoro Ridwan.
Bahkan, Kombes Ade menyebutkan jadwal pasti pengumuman tersangka akan dilakukan pada Kamis, 24 Juni 2025, oleh Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan.
"Kami tidak berhenti pada satu tersangka saja. Tim penyidik akan mengelompokkan siapa saja yang memiliki peran signifikan, termasuk siapa yang mengesahkan dokumen, mencairkan dana, dan siapa yang menikmati hasilnya,” jelas Ade.
Namun hingga kini, publik belum mendapat kepastian siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban hukum.
Sementara itu, pihak Muflihun yang diduga sebagai sosok “M” dalam penyidikan, membantah keras tuduhan tersebut. Melalui kuasa hukumnya, Ahmad Yusuf, Muflihun menilai penyebutan inisial “M” tanpa kejelasan sebagai bentuk kriminalisasi.
Ahmad Yusuf menegaskan bahwa Muflihun tidak pernah menerima surat pemberitahuan penetapan tersangka dalam perkara ini.
"Namun, penyebutan inisial ‘M’ oleh oknum penyidik dan media telah menimbulkan persepsi publik yang menyudutkan klien kami secara tidak adil," tegas Ahmad Yusuf, Kamis, 19 Juni 2025.
Tim kuasa hukum juga menegaskan, Muflihun tidak memiliki wewenang teknis maupun administratif dalam pelaksanaan anggaran perjalanan dinas. Semua tanggung jawab teknis berada di tangan bendahara, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), dan pejabat terkait lainnya.
"Tidak ada bukti keterlibatan aktif maupun pasif," tegas Ahmad.
Mereka juga mengecam kebocoran informasi yang menyudutkan kliennya tanpa klarifikasi resmi dari penyidik.
"Penyebutan inisial tersebut adalah bentuk pembocoran informasi yang tidak etis, dan mencederai prinsip asas praduga tak bersalah. Ini bukan sekadar isu media, ini pembunuhan karakter," tegas Ahmad Yusuf.
Kini, masyarakat Riau masih menanti akhir dari drama hukum ini. Apakah benar akan ada penetapan tersangka, atau kasus SPPD fiktif ini akan terus menjadi daftar panjang perkara yang menggantung tanpa ujung?