Baliho Tolak LGBT Hambat Hak Warga Akses Kesehatan di Pekanbaru

Balo-lgbt1.jpg
(RAHMADI DWI PUTRA/RIAU ONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU – Pemasangan baliho atau spanduk bertuliskan “Perilaku LGBT Bisa Kena AIDS” disusul di bawahnya “Cegah HIV dan AIDS dengan Ketahanan Keluarga” oleh Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru secara massif di berbagai ruas jalan protokol, pusat-pusat pendidikan, kesehatan serta layanan publiknya di Kota Bertuah sejak setahun terakhir.

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) merupakan sekelompok orang yang dinilai oleh masyarakat memiliki orientasi seksual menyimpang. Eksistensi mereka masih mendapatkan penilaian negatif dan diskriminatif dari masyarakat, termasuk negara serta pemerintah terhadap hak-hak dasar dimiliki sebagai warga negara.

Pemasangan secara massif alat sosialisasi oleh Pemerintah Kota Pekanbaru tersebut membuat komunitas rentan dan minoritas ini tidak nyaman, bahkan ketakutan saat hendak mengakses layanan kesehatan maupun layanan publik lainnya. Padahal, negara mengakui dan menjamin hak-hak setiap warganya dalam mendapatkan layanan dari pemerintah tersebut.

Akhir September 2023 lalu, jalanan protokol Kota Pekanbaru kembali dihiasi beragam baliho, spanduk dan stiker milik Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Pekanbaru menstigma LGBT. Pemandangan itu terlihat di Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Paus, dan Jalan Melur. Ada juga spanduk maupun stiker terpampang di RSUD Arifin Achmad, Puskesmas Jalan Harapan Raya/Imam Munandar, Puskesmas Rawat Inap Sidomulyo, Kantor Camat Binawidya, hingga di SMAN 8 Pekanbaru.

Alexander, pemuda mewakili komunitas rentan di Pekanbaru, menilai upaya pemerintah tersebut telah menciptakan stigma hingga berujung diskriminasi kepada teman-teman komunitasnya.

"Terkait baliho yang secara gamblang tertulis narasi tidak mengenakkan, “Perilaku LGBT bisa kena HIV AIDS”. Kami tentu menolak narasi tersebut. Ini membuat teman komunitas keberatan, apalagi ini dekat tahun politik, tentunya baliho tersebut punya dampak besar," kata Alexander, Senin, 11 Desember 2023 kepada RIAUONLINE.CO.ID.

Alexander mengatakan, dampak dari kampanye tersebut sudah terlihat nyata terhadap mereka. Layanan kesehatan, contohnya, banyak anggota dari komunitas tersebut, termasuk mereka merupakan populasi kunci, takut mengakses layanan kesehatan. Ia menyebut hal ini berdasarkan pengakuan dari penanggung jawab program HIV/AIDS di Puskesmas Sidomulyo.

"Dengan ditempelkan stiker imbauan dari KPA Kota Pekanbaru itu ada tingkat penurunan pasien mengakses layanan VCT (Voluntary Counseling Testing) maupun ARV (Antiretroviral), meski tidak terlalu banyak. Namun, dampak sangat dirasakan pasca dua minggu pemasangan tersebut," ungkapnya.

Titik pemasangan stiker merata hampir di sejumlah Puskesmas yang ada. Selain itu, juga di instansi publik lainnya seperti di Kantor Camat, Kelurahan, jalan umum, RSUD, hingga di parkiran.

"Teman-teman khawatir saat datang ke fasilitas kesehatan karena stigma. Apalagi masyarakat kerap mengklaim dari penampilan dan gestur seseorang. Banyak enggan datang ke faskes bahkan hanya untuk sekedar berobat biasa," katanya.

Parahnya, kata Alexander, ada di antara komunitas ini mendapatkan perlakuan persekusi dari warga sekitar tempat mereka membuka usaha. Seorang anggota komunitas ini memiliki usaha salon atau membuka usaha lain, juga dihantui ketakutan. Mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif hingga diusir karena penampilan tidak sama dengan jenis kelamin biologis mereka.

Upaya masif Pemko tersebut, tuturnya, seolah-olah memprovokasi warga memusuhi dan menebalkan stigma Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Padahal, setiap warga rentan seharusnya dijamin hak hidup dan kesehatannya oleh negara.

Belum lagi saat ini kelompok rentan masih memperjuangkan hak-hak untuk hidup setara di negeri ini. Seperti hak-hak dasar pendidikan, pekerjaan, kesehatan. Sebagai manusia, jelasnya, apapun identitas agama, etnis, gender, seksualitas dan sebagainya punya hak dan kebebasan sama di hadapan hukum dan konstitusi. Maka, pandangan, pilihan dan ekspresi damai setiap orang atau warga harus dihormati dan diberi ruang yang sama, termasuk LGBT. 

"Pemasangan semua itu punya dampak besar, bahkan ada dipersekusi dan diusir dari usaha salon. Dampak dari segi sosial ekonomi, banyak dari teman komunitas transpuan mengalami ketakutan,” ungkapnya.

Ditambah lagi, jelasnya, marak penipuan dari aplikasi kencan. Komunitas ini sudah mendampingi beberapa anggota yang butuh mengakses layanan hukum. “Namun lagi-lagi hanya menjumpai jalan buntu. Ketika kasus dibawa ke kepolisian, klien takut polisi fokus kepada orientasi seks korban," kata Alexander.

Ia dan komunitasnya menilai pemerintah belum memahami betul program mereka seperti apa. “Jadi sebenarnya tidak cuma masyarakat, ternyata pemerintah juga perlu diedukasi. Nyatanya banyak kebijakan mereka melanggar regulasi atau peraturan di perundang-undangan, HAM," sesalnya.

Aphrodite, seorang transpuan mengatakan, ia sangat menyayangkan sikap dan kebijakan Pemko Pekanbaru tersebut. Ia menyebut, ada beberapa orang seperti dirinya tidak serta merta melakukan hubungan seksual secara sembarangan. Hanya saja, ini digeneralisasi oleh masyarakat.

Ia tidak menampik ada anggota komunitas memang kecenderungan seks bebas, namun bukan berarti mereka bagi yang heteroseksual tidak melakukan seks bebas, sehingga kebal dari HIV/AIDS.

"Jadi sangat disayangkan, beberapa teman lain memang takut dan tidak melakukan apa-apa, Itu semua dampak dari adanya sebaran poster, spanduk, baliho, dan stiker tersebut," kritiknya.

Aphrodite mengatakan, sebenarnya manusia itu unik, tidak cuma heteroseksual. Penelitian juga menyebut LGBT bukanlah penyakit atau penyimpangan sosial. Bahkan PBB sudah mengakui ragam minoritas gender yang harus diakui hak-haknya.

"Indonesia saja yang masih menganggap ini penyimpangan. Di agama cuma ada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Namun, saya tidak menyesal dilahirkan dengan kondisi seperti ini. Hanya saja mereka menganggap LGBT wabah penyakit juga salah," katanya memberikan pencerahan.

Pemuda dari kelompok rentan lainnya, Harley, juga mengecam pemasangan baliho hingga stiker dilakukan Pemko Pekanbaru di tempat-tempat umum. Menurutnya, Pemko seharusnya bisa lebih inovatif menyampaikan pesan tentang penanggulangan HIV/AIDS. Jadi, tuturnya, sangat disayangkan Pemko hanya fokus pada LGBT saja. Mereka lupa penyebaran HIV/AIDS ada banyak cara, bukan hanya dari hubungan seksual saja.

“Orientasi seksual seperti heteroseksual bahkan juga berpotensi. Pemerintah saking fokus dengan isu LGBT, mereka mendoktrin pemikiran masyarakat HIV/AIDS hanya bisa tertular dari perilaku seks komunitas LGBT, jadi mereka berprasangka hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak ada masalah. Khawatirnya, dari situ banyak lagi aktivitas seks bebas," kata Harley.

Ia mengatakan, pemerintah mestinya bisa berpikir tentang cara memutus rantai penyebaran HIV/AIDS. Mereka harus bekerja ekstra di sana. Bukan dengan cara menyudutkan satu kelompok dengan menuduh LGBT biang kerok penyebaran HIV/AIDS. Ini secara otomatis akan membuat rantai penyebaran HIV/AIDS bisa tinggi, karena juga ada dari mayoritas.

"Saya menilai, mungkin tujuan pemerintah ini benar, namun caranya salah dengan menyebarkan ujaran kebencian. Harusnya tidak dengan cara membuat war atau hate speech,” jelasnya.



Semenatar itu, LBH Pekanbaru, Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Riau dan jaringan komunitas bergerak dalam penjangkauan, pencegahan, pendampingan, dan penanganan HIV AIDS, sangat menyesalkan pemasangan spanduk baliho stiker KPA Kota Pekanbaru yang bertulis "Perilaku LGBT Bisa Kena AIDS."

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Andi Wijaya, menyayangkan KPA Pekanbaru melakukan praktik diskriminasi dan stigmatisasi yang terang-terangan.

"Pemasangan baliho, spanduk, dan stiker di ruang publik ini suatu bentuk diskriminasi yang  bahaya sekali karena mengumbar stigma dan ujaran kebencian dapat mendorong tindakan persekusi. Parahnya, pemasangan ini dilakukan oleh pemerintah," sesal Andi Wijaya.

Anggota komunitas semakin cemas dan takut akan stigma dan diskriminasi ketika hendak mengakses layanan kesehatan dan layanan publik lainnya di Pekanbaru. “Mereka juga takut jalan jalan di kota dengan ekspresi gender mereka," ungkap Siti Uripah dari OPSI Riau.

Pj Wali Kota Pekanbaru Akui Pasang Baliho

Sementara itu, Pemko Pekanbaru terus mengingatkan para orang tua agar anak-anaknya jangan terlibat dalam komunitas LGBT. Mereka menilai LGBT menjadi satu penyebab kasus HIV/AIDS.

Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru, Muflihun mengingatkan, para orang tua dan guru bersama menjaga anak-anak. “Bersama menjaga anak-anak kita perilaku mereka di rumah dan di sekolah," ungkap Muflihun, Jumat, 8 Desember 2023.

Menurutnya, harus ada kerja sama antara orang tua dan guru untuk memperkecil tingkat LGBT di Kota Pekanbaru. Ia menyarankan untuk meminta data terkait kasus HIV/AIDS ke Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru.

"Tapi kita mengimbau, tolong ini jadi atensi kita bersama," jelasnya.

Muflihun mengimbau pelaku LGBT yang melakukan kontak seks agar menggunakan alat pengaman guna meminimalisir penularan HIV. Ia mengajak untuk meningkatkan iman dan takwa. Ia menyebut kondisi LGBT ini tidak diketahui seperti apa.

Balo lgbt2Spanduk Anti-LGBT di depan Puskesmas Sidomulyo, Kota Pekanbaru (Foto: Rahmadi Dwi Putra/RIAU ONLINE)

"Saya tidak tahu ini penyakitnya, kan tidak kelihatan. Kita ingin ada edukasi dari dinas terkait kepada masyarakat," ujarnya.

Pemko Pekanbaru, kata Muflihun mengakui, sangat gencar memasang baliho dan spanduk untuk mencegah LGBT di Kota Pekanbaru. Mereka memasangnya di penjuru kota hingga fasilitas layanan publik, seperti Puskesmas dan pendidikan.

"Iya, kita pasang, upaya kita pencegahan," kata Muflihun.

Ia mengaku belum ada regulasi hukum menindak pelaku dengan perilaku dianggapnya menyimpang. "Memang tidak ada regulasi hukumnya, menghukum LGBT, tapi setidaknya sampaikan juga perihal ini," kata Muflihun dalam dialog bersama masyarakat dalam satu kesempatan.

Satpol PP Gencar Razia

Tak sekadar pemasangan baliho hingga stiker untuk menolak perilaku LGBT, Satpol PP Kota Pekanbaru bahkan melakukan penertiban kelompok-kelompok LGBT secara berkala. 

"Kita akan terus melakukan patroli (menyisir lokasi dan kegiatan LGBT). Kita juga meminta dukungan masyarakat agar melapor jika ada kegiatan diduga aktivitas LGBT. Karena keberadaan LGBT ini juga sulit dilakukan, kita tidak tahu apakah dua orang bersama (satu jenis kelamin) terindikasi LGBT atau tidak, karena memang tidak ada tandanya," ujar Kepala Satpol PP Kota Pekanbaru, Zulfahmi Adrian.

Zulfahmi mengatakan, Pemko Pekanbaru tidak memiliki dasar hukum memidanakan pelaku LGBT. Namun, penertiban diharapkan dapat meminimalisir menyebarnya kelompok LGBT.

KPA Riau: Jangan Hambat Hak-hak Dasar buat LGBT

Menurut data KPA Kota Pekanbaru, kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Riau sekitar tahun 1970. Terhitung tahun itu hingga 2023, setidaknya sudah ada 8.986 kasus HIV dan 3.890 kasus dalam fase AIDS.

Konsultan Program KPA Riau, Helmi Yardi, mengatakan penularan HIV/AIDS terjadi akibat cairan tubuh, seperti darah, ASI, air liur dan cairan kelamin. Selain itu, bisa juga akibat donor darah, pemakaian jarum suntik untuk Narkoba atau tato, ASI dan hubungan seksual.

“Kasus paling besar karena hubungan seksual dan dalam hubungan seksual ini, homoseksual merupakan nomor 2 terbesar dalam menularkan HIV/AIDS, setelah heteroseksual," jelasnya.

Balo lgbt3(Rahmadi Dwi Putra/RIAU ONLINE)

Ia menyebut, KPA Riau tidak fokus melakukan pendampingan kepada pelaku LGBT terkait penyimpangan seksual mereka lakukan. Akan tetapi, KPA mendorong agar kelompok-kelompok LGBT dapat mengakses layanan kesehatan terutama dalam pengobatan HIV/AIDS. 

"Fokus kita adalah HIV/AIDS-nya. Bagaimana agar mereka yang tertular bisa mendapatkan akses layanan kesehatan. Terkait perilaku seksual mereka, kita butuh kerjasama dan bantuan dari rekan-rekan lain, seperti Dinas Pendidikan, tokoh-tokoh agama, dan pemerintah," paparnya.

Hilang Stigma Negatif dan Diskriminatif

Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru, Zaini Rizaldy Saragih, menjelaskan pada umumnya penularan HIV/AIDS memang kebanyakan dari hubungan seks. Namun kini laporannya, bukan hanya di Indonesia, di Pekanbaru juga, ternyata penderita HIV/AIDS ini terdiri dari beberapa jenis pekerjaan.

“Ada pekerja, mahasiswa, bahkan ibu rumah tangga. Inilah tentunya menjadi perhatian kita, karena sekarang bukan hanya dari pekerja seks menularkan, bahkan bukan pekerja seks juga bisa menularkan," kata Zaini.

Dinas Kesehatan Pekanbaru mencatat, secara kumulatif sejak 2000 hingga 2023 ini terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS. Data hingga Oktober 2023, berdasarkan jenis kelamin, penderita HIV laki-laki sebanyak 2.041 orang dan perempuan 791. Sementara, penderita AIDS laki-laki ada 1.720 orang dan perempuan 603 orang.

Berdasarkan jenis kelamin, terbanyak penderita HIV/AIDS di golongan usia 25-49 tahun dengan penderita HIV sebanyak 1.951 orang dan AIDS 1.876.

Sementara, kumulatif kasus HIV/AIDS berdasarkan pekerjaan terbanyak dari pekerja swasta HIV 1.528 kasus, AIDS 996 kasus. Disusul wiraswasta HIV 320 kasus dan AIDS 445 kasus, urutan ketiga merupakan ibu rumah tangga HIV 250 dan AIDS 217, keempat dari penjaja seks HIV 238 kasus, AIDS 118 kasus.

Laki-laki akrab disapa dr Bob itu mengajak agar masyarakat menghilangkan stigma negatif maupun perlakuan diskriminatif terhadap penderita HIV atau ODHIV. Karena, seseorang yang menderita HIV/AIDS belum tentu disebabkan telah melakukan hubungan seksual dengan penderita yang lain.

"Bisa saja tertular dari cara lain, misalkan saat seorang dokter akibat mungkin lengah, bisa saja tertular oleh cairan tubuh manusia. Atau ibu rumah tangga yang tertular dari suami, anak yang tertular dari orang tua. Jadi, makanya kita harus menghilangkan stigma negatif ini agar ODHIV mau datang berobat dan tidak menularkan kepada orang lain," paparnya.

Ia mengingatkan kepada seluruh tenaga kesehatan agar tidak melakukan diskriminasi saat ada pasien ODHIV. “Karena kalau kita melakukan pelayanan diskriminatif atau membedakan pasien, dia akan timbul dendam, maka ini bisa berbahaya bagi masyarakat lainnya," ujarnya.

Kadiskes Pekanbaru ini menjelaskan, kalau bicara HIV/AIDS dengan kelompok LGBT, sebenarnya memang memiliki hubungan sangat erat. Kenapa demikian, karena penderita HIV/AIDS ini ketika kita memeriksa dan menelusuri, pasien tersebut ada memang menyatakan mereka itu pelaku LGBT. Itulah yang kita khawatirkan. Ini tentu akan berdampak pada penambahan pada penyebaran HIV AIDS," ujarnya.

Zaini menilai, LGBT merupakan perilaku hubungan seksual menyimpang. Ini, menurutnya, cukup berisiko penularan penyakit penyakit infeksi seksual. Bukan hanya HIV/AIDS, katanya, ada sejumlah penyakit menular seksual lainnya, seperti hepatitis, sifilis, gonore dan sebagainya.

"Maka, ketika ini tidak kita ingatkan kepada masyarakat, maka jumlahnya akan meningkat. Beberapa waktu lalu, kita sempat heboh, Pekanbaru maupun Provinsi Riau menjadi daerah memiliki komunitas LGBT terbesar. Kita tidak menginginkan adanya anggapan seperti itu," pintanya.

Ia mengakui, beberapa waktu lalu Pemko Pekanbaru melalui Dinas Kesehatan, KPA, Kesbangpol dan Satpol PP, ada menerbitkan stiker, kemudian menempelkan baliho spanduk “Perilaku LGBT Bisa Kena AIDS” bertujuan sebagai edukasi kepada warga agar menghindari perilaku menyimpang.

Dinas Kesehatan juga menyediakan layanan voluntary conselling and testing (VCT) di 28 rumah sakit, 21 puskesmas, 4 lapas, 1 rutan, 28 layanan PDP, 24 layanan rujukan VL, 1 layanan pemeriksaan VL dengan mesin Abbot, 6 layanan extratime ditambah extratime khusus Viral Loa. 

"Jadi, penerbitan stiker maupun baliho ini sebenarnya bukan perlakuan diskriminatif terhadap penderita ODHIV, tetapi sebagai bentuk pemberian pemahaman kepada seluruh masyarakat agar siapa pun membaca bisa paham dan bisa melindungi keluarga dan dirinya jangan sampai terjadi penyimpangan perilaku hubungan seksual," katanya.

Ia menegaskan, stiker maupun baliho sifatnya imbauan, penyuluhan promosi kesehatan.

"Tujuan kita sebenarnya bukan diskriminatif, tetapi hanya untuk memberi peringatan. Saya juga sudah mengingatkan kepada seluruh jajaran di faskes agar jangan ada perlakuan diskriminatif kepada masyarakat dengan ODHIV ini. Jadi, untuk pengobatan sendiri itu tidak ada perbedaan antara yang normal atau ODHIV," pungkas Zaini.

Meski begitu, HIV/AIDS tidak hanya disebabkan oleh perilaku LGBT, bahkan kelompok lesbian sangat kecil terifeksi orang dengan HIV AIDS (ODHIV). Heteroseksual juga rentan terinfeksi HIV jika melakukan perilaku seksual yang berisiko.