Kepiluan Anak-anak Palestina di Balik Lagu "Atouna el Toufoule" yang Viral

Anak-anak-palestina.jpg
(Ali Jadallah - Anadolu Agency)

 

RIAU ONLINE - Sejak 27 Oktober 2023, PBB telah menggaungkan gencatan senjata, namun ditolak mentah-mentah oleh Israel. Gempuran demi gempuran terus dilakukan Israel dari darat, laut, dan udara, ke Jalur Gaza, Palestina. Palestina pun kian hari kian menjadi kuburan massal bagi anak-anak di sana.

Serangan membabi buta dari Israel ke area pemukiman, kamp-kamp pengungsian, masjid, gereja, hingga sejumlah rumah sakit, telah menewaskan ribuan anak-anak Palestina.

"Ketakutan terbesar tentang laporan angka anak-anak yang tewas adalah bermula dari lusinan, lalu ratusan, dan akhirnya ribuan benar-benar terjadi hanya dalam waktu satu malam. Angka luar biasa memprihatinkan dan bisa bertambah setiap harinya. Gaza menjadi kuburan bagi ribuan anak-anak. Gaza menjadi neraka buat yang lainnya," ujar juru bicara UNICEF, James Elder, kepada Al Jazeera, sebagaimana dikutip dari Historia.id, Jumat, 10 November 2023.

Foto-foto hingga video tentang kondisi memilukan anak-anak di Gaza berseliweran di media sosial. Banyak di antaranya diiringi lagu "Atouna el Toufoule" (Give us Childhood) yang semakin mengiris hati.

Lagu berbahasa Arab itu sudah ada sejak 1980-an yang dipopulerkan penyanyi cilik Lebanon, Remi Bendali. Kini kembali viral setelah banyak di-cover penyanyi lain, termasuk di Indonesia. Liriknya masih menjadi cerminan bagi semua anak di Timur Tengah yang nyawanya direnggut bara peperangan.

'Jeena Na'aidkum (kami datang mengucapkan selamat liburan)
Bi 'Eidi Minsaalkum (selama pengucapan itu, kami bertanya)
Leys Ma Fi 'Enna (mengapa tidak ada di tempat kami?)
La A'ya wa La Zeinah (tidak ada perayaan dan dekoras)
Ya 'Alam, Ardi Mahroo'ah (Wahai dunia, tanahku terbakar)
Ardi Huriyyeh Masroo'ah (Tanahku dicuri kebebasannya)'

Demikian sepenggal lirik lagu Atouna el Toufoule, yang kembali viral setelah sejak Israel menggempur Gaza. Direktur Komisi Tinggi HAM PBB, Craig Mokhiber, menyebut ini sebagai genosida.


Lagu Atouna el Toufoule sudah eksis sejak 1984 oleh Remi Bendali yang kala itu masih berusia 4 tahun. Remi lahir di Tripoli, Lebanon pada 4 Juli 1979 di keluarga musisi.

Menurut The 961 edisi 29 Desember 2019, ayah Remi, Rene Bendali, merupakan satu dari musisi ternama Lebanon di era 1970-an. Bukan hanya solois atau komposer, Rene kerap tampil bersama band keluarga besarnya, The Bendali Family.

Para musisi anggota band keluarga itu sosok dibalik penciptaan lagu Atouna el Toufoule. Laman Discogs, menyebut musiknya diracik sang ayah, sedangkan liriknya dirangkai Hoda Bendali, Lina Abu Rustum, dan George Yamin.

Lagu itu diciptakan untuk menggambarkan penderitaan anak-anak Lebanon, Suriah, serta anak-anak Palestina yang mengungsi terdampak Perang Lebanon 1982. Perang yang berlangsung sepanjang 6 Juni 1982 sampai 5 Juni 1985 itu menghadirkan adu kekuatan antara Israel yang dibantu milisi-milisi nasional Lebanon kontra militer PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) yang disokong Suriah dan milisi Hezbollah di selatan Lebanon.

"Dengan 'Operasi Damai Galilee' Israel mengincasi Lebanon untuk menghancurkan PLO, mengamankan perbatasan utara Israel dari para gerilyawan PLo, melenyapkan pengaruh Suriah di Lebonon agar berdiri negara Lebanon yang baru yang bisa terikat perjanjian dengan Israel," tulis Laura Zittarain Eisenberg dan Neil Caplan dalam Negotiating Arab-Israeli Peace: Patterns, Problems, Possibilities.

Tidak ada yang menang dalam perang itu. Kondisi deadlock di medan pertempuran akhirnya memaksa Israel dan Lebanon duduk bersama. Di mediasi Amerika Serikat, kedua belah pihak bertikai akhirnya menyepakati gencatan senjata dalam Perjanjian 17 Mei (1983). Kesepatakan itu menghasilkan sejumlah butir penting, yakni dibuatnya zona keamanan di area selatan sepanjang perbatasan Lebanon-Israel dengan kerjasama keamanan untuk mencekap penyusupan milisi PLO, dan pasukan Israel ditarik mundur dari Lebanon mulai 1985.

Perang itu telah meratakan 80 persen desa di selatan Lebanon. Ribuan korban sipil berjatuhan, meski sejumlah pihak berbeda menyebutkan jumlah pastinya.

"Beberapa observer memperkirakan jumlah 8.000-10.000 jiwa tapi itu terlalu tinggi. Sementara beberapa pihak yang terlibat dalam konflik sepakat bahwa jumlah antara 4.000-8.000 sipil yang jadi korban selama pengepungan Beirut dan sepanjang perang," ungkap analis militar Richard A Gabriel dalam Operation Peace for Galilee: The Israeli-PLO War in Lebanon.

Mayoritas korban sipil terjebak dalam baku tembak. Lainnya akibat pembantaian, seperti yang terjadi dalam Pembantaian Sabra dan Shatia pada 16-18 September 1982.

Pembantaian itu terjadi di kamp pengungsi Palestina dan minoritas Syiah yang dianggap sebagai sarang milita PLO. Kala itu pasukan Israel mengepung kamp, milisi Force Libanaises merangsek masuk untuk melakukan penjagalan yang menewaskan sekitar 3.000 sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.

Kondisi memilukan ini disuarakan dalam lagu Atouna el Toufoule. Liriknya menyiratkan penyesalan, kepedihan, hingga kemarahan anak-anak yang selama ini suaranya terpendam di balik gemuruh perang.

"Oleh karenanya Remi Bendali dan lagu ini menjadi simbol dari masa kanak-kanak anak-anak Lebanon yang dibajak perang dan simbol bagi mereka yang membutuhkan kebebasan dan perdamaian, seperti anak-anak Gaza di Palestina. Konflik psikis yang terdapat dalam lagunya juga menggambarkan kisah anak-anak Gaza yang terdampak perang dan masih mengharapkan perdamaian di balik perasaan sedih dan marah mereka," tukar Anshar Zulhelmi dan Dava Diah Pamusti dalam artikel "The Psychological Struggle in the Song 'Give us Childhood' by Remi Bandali" di jurnal An-Nahdal Al Arabiyah, Vol. 2, No.1 (2022).