Eks Plt Kadisporapar Meranti Mengaku Bodoh Mau Serahkan Uang ke Muhammad Adil

Sidang-Muhammad-Adil2.jpg
(Riau Online/Defri Candra)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Sidang mantan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil kembali dilanjutkan di Pengadilan Negeri Pekanbaru Tindak Pidana Korupsi, Rabu, 11 Oktober 2023.

Agenda sidang kali ini melanjutkan pemeriksaan 11 orang saksi dan satu diantaranya merupakan Mantan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Kadisporapar) Kepulauan Meranti tahun 2023, Ratna Juwita Sari.

Saat memberikan  kesaksian pertama kali di hadapan hakim sidang, Ratna Juwita mengaku bodoh karena mau saja percaya dengan omongan Fitria Ningsih yang saat itu menjabat sebagai Plt Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kep Meranti.

"Bodohnya saya, saya percaya saja ucapan dari Neneng untuk menyerap uang kepada Bupati saat itu Pak M Adil," ujar Ratna Juwita di persidangan.

Tidak hanya itu, Ratna Juwita Sari mengaku sudah menyerahkan Uang Persediaan (UP) dan Ganti Uang (GU)kepada Eks Bupati Kep Meranti Muhammad Adil.

"Atas perintah Fitria Ningsih, saya dua kali memberikan uang kepada Pak Adil, pertama UP Rp70 juta dan kedua GU Rp30 juta. Yang Rp30 juta saya berikan kepada Ajudan pak Muhammad Adil," terang Ratna.

Selanjutnya pada tahun 2023, saat cair Uang Persediaan Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Parawisata 100 juta, kemudian dipotong 10 persen dan diminta oleh Bupati.

"Saya juga ada menyerahkan uang GU Rp40 Juta kepada Fitria  Ningsih lewat Dahliawati. Sebelum Kepala BPKAD Fitria Ningsih ada juga pemberian uang kepada Bapak Mubarak."

"Kata Bapak Mubarak, bantu-bantu lah agak sebatang atau lima batang. Artinya sebatang itu sejuta dan lima batang lima juta," tegas Ratna saat memberikan kesaksian.

Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) kembali melanjutkan pertanyaan kepada saksi lainnya, Sakinul Wadi yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris dan
Plt  Kepala Bappeda Kep Meranti.

Menurut Sakinul Wadi, Dinas Bappeda wajib melakukan pemotongan anggaran 10 persen jika ada pencarian UP ataupun GU di Dinas apapun di Kepulauan Meranti.

Dalam kesaksiannya, Sakinul Wadi menyerahkan uang ratusan juta kepada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, baik kepada Fitria Ningsih ataupun diserahkan langsung kepada Eks Bupati Muhammad Adil.

"Saya ada menyerahkan secara langsung kepada pak Bupati saat itu, Rp40 juta di rumah dinas beliau. Tak hanya itu, ke bendahara BPKAD Dahliawati juga ada menyerahkan uang Rp 50 juta," sebut Sakinul Wadi di persidangan.



Bahkan, Sakinul Wadi mengaku pernah memberikan uang Rp70.700.000 kepada Eks Bupati Adil di rumah dinas dan itu adalah Uang Persediaan (UP).

"Saya juga ada menyerahkan uang Rp70.700.000 kepada Pak Adil di rumah dinas. Kemudian ada transfer Rp65 juta atas perintah Bupati kepada Walpri, Fadhil," terangnya.

Tidak hanya nominal yang di atas, bahkan Sakinul Wadi juga menyerahkan atau menyetor uang puluhan juta baik kepada Fitria Ningsih, Ajudan  Bupati maupun kepada Bendahara Dahliawati.

JPU KPK kembali melanjutkan pertanyaan kepada saksi lainnya, Siska Puspita Dewi. Ia sebelumnya menjabat sebagai Bendahara di Bappeda Kep Meranti tahu 2022-sekarang.

Dalam kesaksiannya, Siska menyebutkan kalau dirinya mendapat Instruksi Bupati untuk menyerahkan uang puluhan juta kepada Bupati M Adil melalui perantara ajudan.

"Juni 2022, uang Rp40 juta say serahkan ke Kaban dan Juli 2022 diserahkan Rp60 juta kepada Ibu Dahliawati. Bulan Agustus juga ada Rp40 juta kepada Dahliawati," sebutnya dalam sidang.

Selanjutnya, JPU KPK juga meminta keterangan dari saksi Risky. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Penanganan Bencana Daerah (BPBD)Kep Meranti.

Risky sempat protes terkait permintaan uang UP dan GU kepada Risky saat menjabat sebagai Kepala BPBD. Karena menurutnya saat itu tidak masuk di akal.

"Saya mendapat pesan saya lupa, bunyinya bantu-bantu (Sumbangan -red) kegiatan pak Bupati. Tapi saya tidak penuhi. Namun tak lama setelah itu jabatan saya di nonaktifkan.

"Saya merasa mungkin karena tidak memberikan bantuan. Sehingga jabatan saya digantikan," tutupnya.

Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil sebagai tersangka dan langsung menahannya dalam kasus dugaan korupsi, pemotongan anggaran, dan pemberian suap.

Selain itu, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, M. Fahmi Aressa (MFA) selaku Pemeriksa Muda Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau dan Fitria Nengsih (FN) sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kepulauan Meranti.

Penyidik KPK telah menemukan bukti Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil menerima uang sekitar Rp 26,1 miliar dari berbagai pihak.

Dalam kasus ini, M Adil diduga memerintahkan para kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk memotong anggaran 5 hingga 10 persen, kemudian disetorkan kepada FN selaku orang kepercayaan MA.

Selain menjabat sebagai Kepala BPKAD Kepulauan Meranti, FN diketahui menjabat sebagai Kepala Cabang PT Tanur Muthmainnah (TM) yang bergerak dalam bidang jasa travel perjalanan umrah.

PT TM terlibat dalam proyek pemberangkatan umrah bagi para takmir masjid di Kabupaten Kepulauan Meranti.

Perusahaan travel tersebut mempunyai program setiap memberangkatkan lima orang ibadah umrah maka akan mendapatkan jatah gratis umrah untuk satu orang, namun pada kenyataannya tetap ditagihkan enam orang kepada Pemkab Kepulauan Meranti.

Selain untuk keperluan operasional MA, uang hasil korupsi juga digunakan untuk menyuap MFA demi memberikan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti.

Atas perbuatannya para tersangka tersebut disangkakan dengan pasal sebagai berikut, tersangka MA sebagai penerima suap melanggar pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Tersangka FN sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Kemudian MFA sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.