Cegah Risiko Stunting pada Anak dengan Konsumsi Protein Hewani

Webinar-stunting.jpg
(Tangkapan Layar/Istimewa)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menyebutkan stunting anak di Indonesia berada di angka 21,6 persen. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, hanya 24,4 persen.

Namun angka stunting ini masih belum memenuhi standar WHO yang semestinya tidak lebih dari 20 persen.  Dalam strategi nasional, pemerintah menargetkan penurunan stunting hingga ke angka 14 persen pada 2024.
Webinar Nasional Asupan Hewani untuk Tatalaksana Stunting yang diselenggarakan dr Nur Aisiyah Widjaja mengingatkan pentingnya memperhatikan asupan gizi anak di masa Makanan Pendamping ASI (MPASI).

dr Nuril mengungkapkan bahwa 60,6 persen stunting terjadi antara usia baru lahir sampai 2 tahun, dan 28 persen terjadi antara usia 2-5 tahun.

"Setelah anak berusia 6 bulan, konsumsi ASI saja (eksklusif) tak lagi mampu mencukupi kebutuhan gizinya," ujar Nuril, Selasa, 19 September 2023.

Lanjut Nuril, ketika anak menginjak usia 6 bulan, kandungan zat gizi makro terutama protein, lemak, dan karbohidrat pada ASI akan mengalami penurunan.

"Kandungan zat gizi mikro seperti zat besi dan zink di dalam ASI juga mengalami penurunan hingga 95 – 97 persen setelah anak berusia 6 bulan," papar dr Nuril.

dr. Nuril juga memaparkan temuan bukti data bahwa balita weight faltering yang tidak segera diintervensi menyebabkan penurunan status gizi akut (BB kurang/sangat kurang) dan kronis (stunting).

"Bukti menunjukkan balita stunting diawali dengan weight faltering di usia  kurang 1 tahun dan kondisi kekurangan gizi menahun (kronis)," kata dr Nuril.

Untuk meningkatkan kualitas MPASI, langkah penting yang dapat dilakukan adalah meningkatkan konsumsi protein hewani. Mencukupi asupan protein hewani dipercaya efektif untuk mencegah kondisi stunting pada anak.


Dibandingkan protein nabati, konsumsi protein hewani seperti telur, daging sapi, daging ayam, ikan, susu, dan sebagainya, mengandung lebih banyak lemak sekitar 30-40%, vitamin B12, vitamin D, DHA, zat besi, dan zinc yang diperlukan anak untuk mendukung pertumbuhan anak.

"Konsumsi protein hewani penting untuk pertumbuhan anak. Sebabnya, di dalam tubuh kita ada sensor pertumbuhan yang bernama mTOR (mammalian target of rapamycin). Sensor ini akan menyala apabila kadar asam amino esensial di dalam darah cukup tinggi," katanya.

"Ketika sensornya sudah menyala, tubuh akan mampu melakukan proses sintesa protein dan sintesa lemak secara baik sehingga pertumbuhan anak berlangsung normal. Jenis asam amino esensial yang diperlukan untuk menyalakan sensor ini hanya bisa diperoleh dari konsumsi protein hewani,” jelas dr Nuril.

Sayangnya, hingga saat ini konsumsi protein hewani di Indonesia masih sangat rendah, yaitu hanya 9,58 gram untuk kelompok ikan/udang/cumi/kerang, 4,79 gram untuk kelompok daging, dan 3,37 gram untuk kelompok telur/susu.

"Agar bisa memenuhi target pertumbuhan normal, porsi konsumsi protein hewani perlu diberikan secara tepat sesuai dengan usia dan kondisi anak," terang Nuril.

Sementara pada anak yang mengalami kekurangan nutrisi kronis seperti stunting, dr. Nuril mengatakan harus dilakukan deteksi penyakit penyerta (red flag) dan pemberian makanan padat dengan protein hewani yang perlu disertai dengan Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK), yaitu susu dengan kandungan kalori tinggi.

"Pemberian PKMK sifatnya individual, yang membutuhkan penilaian dan pemantauan Dokter karena harus disesuaikan dengan kondisi status gizi anak," kata dr Nuril.

Pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK) adalah pangan olahan yang diproses atau diformulasi secara khusus untuk manajemen medis yang dapat sekaligus sebagai manajemen diet bagi anak dengan penyakit tertentu.

"Jika hanya diberikan makanan padat saja, akan cukup sulit menemukan jenis makanan dengan nilai PER tinggi. Proses toleransi penghabisan makanan padat juga memerlukan usaha yang lebih besar dibandingkan makanan cair. Selain itu, ada pula penelitian yang menyatakan bahwa proses penyerapan makanan cair lebih tinggi dibandingkan makanan padat," jelas dr Nuril.

Selanjutnya penelitian juga menemukan bahwa MPASI protein hewani saja tidak bisa memenuhi kejar tumbuh batita stunting.  Protein hewani dan susu formula berkorelasi positif dengan kadar serum IGF-1. Volume susu 200-600 ml/hari dapat meningkatkan 30% sirkulasi IGF-1 sehingga dapat memenuhi kejar tumbuh balita stunting.

"Pada akhirnya, upaya pencegahan tetap jauh lebih penting dibandingkan penanganan stunting. Untuk memastikan anak tumbuh dengan baik, upayakan pemenuhan kebutuhan gizi sejak masa kehamilan," terangnya.

"Setelah anak lahir, berikan ASI eksklusif selama 6 bulan sambil tetap memonitor kenaikan berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepalanya. Lanjutkan dengan pemberian MPASI yang adekuat dan monitor terus laju pertumbuhannya secara berkala," tutup Nuril.