RIAU ONLINE, PEKANBARU - Dinasti politik masih akan mewarnai Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. Daftar Calon Sementara (DCS) DPR RI yang dirilis KPU mencantumkan sejumlah nama dari dinasti Nazaruddin, merupakan mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat yang terpidana kasus korupsi, akan kembali bertarung memperebutkan kursi wakil rakyat Dapil Riau I dan Riau II di DPR RI.
Sejumlah nama ini merupakan kakak dan adik kandung, dua keponakan, dari Muhammad Nazaruddin. Nama-nama tersebut di antaranya Rita Zahara dari Partai Nasdem dan Muhammad Nasir dari Partai Demokrat, serta Muhammad Rahul dan Muhammad Rohid dari Partai Gerindra.
Pengamat Politik Panca Setya Prihatin mengatakan, klan atau dinasti politik tidak dapat disalahkan. Pada prinsipnya, politik memberikan kebebasan dan hak kepada setiap individu untuk memilih atau dipilih.
Dinasti politik atau klan politik merupakan penggambaran kepada keberadaan sejumlah anggota keluarga yang menduduki kursi di pemerintahan, parpol dan sebagainya.
Menurutnya, dinasti politik bukan hanya terjadi pada Nazaruddin di wilayah Provinsi Riau melainkan di berbagai wilayah. Bahkan Presiden Joko Widodo.
"Berdasarkan konsep politik adalah setiap orang punya hak untuk dipilih dan memilih secara konstitusional, maka saya tidak dapat mengatakan itu (dinasti) salah. Hal ini juga merupakan hal yang umum, bukan hanya di Riau, bukan hanya Nazaruddin, tetapi di berbagai daerah, bahkan Presiden Joko Widodo," ungkapnya.
"Selagi orang yang dimaksud memiliki kapasitas dan dipilih secara jujur, hal ini boleh-boleh saja," ujarnya.
Namun menurutnya, akan menjadi ancaman bagi demokrasi apabila dinasti politik menjadi cara yang dilakukan suatu oknum untuk memaksa mendapatkan, mempertahankan dan memperluas kekuasaannya.
"Menjadi masalah ketika ini menjadi jalan untuk memaksakan kekuasaannya dengan cara apapun dalam mekanisme konstitusional. Sehingga tidak memberikan ruang kepada yang mampu, dan memaksakan kepada yang tidak mampu," jelasnya.
Panca mengkritik partai-partai politik yang hanya berperan sebagai perahu bagi calon legislatif untuk menyeberang. Dimana partai politik seharusnya menjadi tempat seleksi kepemimpinan yang mempertimbangkan berbagai indikator, seperti pengalaman, moral, jiwa kepemimpinan dan sebagainya.
"Ketika parpol hanya berperan sebagai perahu untuk menyeberang, maka dari sanalah akan muncul kasus-kasus money politic," terangnya.
Lanjutnya, permainan money politic atau politik uang, akan memproduksi anggota legislatif baik DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi maupun DPR RI serta eksekutif seperti walikota/bupati dan gubernur yang tidak peka akan kepentingan rakyat.
"Setelah terpilih, yang mereka pikirkan adalah tentang biaya politik yang besar, bagaimana mengembalikan modal dan tidak peka pada kepentingan rakyat," jelasnya.
Menurutnya, parpol adalah wadah dan seleksi bagi calon-calon pemimpin yang akan dipilih. Maka seharusnya parpol terbuka tentang kader-kadernya yang potensial dan bukan hanya melirik 'calon berduit'. Parpol juga seharusnya menerapkan fungsinya sebagai seleksi calon pemimpin RI.
"Anggaplah hubungan kekeluargaan (dinasti) itu bukan masalah. Pertanyaan mendasar bagi wakil-wakil rakyat kita di DPR RI untuk Riau misalnya, apa yang sudah mereka lakukan untuk Riau?" pungkasnya.
Di masa kini, masyarakat awam pun harus 'pintar-pintar' sebelum menentukan pilihannya kepada calon legislatif maupun eksekutif yang bersaing pada Pemilu 2024. Politik uang yang membuaikan harus ditampik dengan kesadaran akan pentingnya perubahan dan kesejahteraan jangka panjang di masa depan.
Kesejahteraan dan perubahan menuju kemajuan bangsa tersebut membutuhkan sosok legislatif dan eksekutif yang memiliki kemampuan. Perlu waktu bertahun-tahun untuk merasakan dampak baik dan buruk dari hasil Pemilu, sehingga tak sepadan dibayar dengan seikat dua ikat rupiah.
Para pemilih pemula yang saat ini berusia setingkat pelajar atau mahasiswa menjadi target paling penting karena jumlahnya akan sangat banyak pada Pemilu 2024 mendatang.
Data KPU berdasarkan rincian DPT menyebutkan, pada tahun 2024, setidaknya terdapat 63.953.031 pemilih pemula yang berusia 17 tahun hingga 30 tahun. Jumlah ini mencapai sekitar 30 persen dari jumlah DPT secara keseluruhan.
"Kalau saya menggunakan hak pilih saya nanti, saya akan melihat track record dari calon presiden. Yaitu kredibilitas dan pengalamannya memimpin suatu daerah, caranya berkomunikasi kepada warga, hasil survei dan visi misinya," ujar Muhammad Rafi, Mahasiswa FMIPA Unri 2019.
Rafi memaparkan, untuk calon legislatif yang nantinya akan menjadi anggota dan pimpinan DPRD kabupaten/kota dan DPRD Provinsi Riau, ia mengharapkan sosok yang mampu mempertimbangkan kepentingan masyarakat dalam pembuatan aturan dan undang-undang.
"Kalau legislatif, harus punya kemampuan legal drafting (perancangan hukum). Karena selama ini, undang-undang yang dibuat oleh anggota dewan itu banyak yang diprotes secara formil dan secara prosedural dan juga anggota legislatif juga perlu untuk mendengar aspirasi masyarakat, jangan ketika duduk, tidak lagi berbaur dan mendengar masyarakat," pungkasnya.