Perlunya Disiplin dan Belajar dari Setiap Tempat Penugasan

kompol-birgitta3.jpg
(HO Via Riauonline)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Rambut pendek sebahu menjadi ciri khas Kastlantas Polresta Pekanbaru, Kompol Birgitta Atvina Wijayanti. Wanita berdarah Jawa adalah Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) pertama perempuan di Pekanbaru.

Cekatan, alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 2009 itu terlihat aktif turun ke lapangan untuk menyapa masyarakat serta olah tempat kejadian perkara (TKP) ketika terjadi peristiwa.

Ia selalu menyelesaikan tugasnya dengan sigap di bawah terik matahari ibukota Pekanbaru. Tak jarang, dini hari pun menjadi incaran Polantas berperawakan tinggi dan langsing dalam hal balap liar yang resmi menjabat Kasatlantas Polresta Pekanbaru sejak Oktober 2022 lalu. Itu tertuang melalui surat telegram Kapolda Riau nomor: ST/1286/X/KEP/2022.

 

Aksi kejar-kejaran antar polantas dengan kendaraan sorot lampu strobo dan pebalap liar kerap terjadi. Titik utama di Jalan Arifin Achmad, jalan Diponegoro, dan stadion yang ada di Kota Bertuah.

 

Tak hanya itu, beberapa waktu lalu, ia bersama anggotanya juga sempat mengamankan terduga pelaku bersama barang bukti 20 Kg narkotika saat mengurai kemacetan di Jalan Lintas Timur, Tenayan Raya, pada 21 Februari 2023.

 

 

Polwan Cita-cita Sejak Kecil

 

Menjadi polisi wanita (Polwan) sebagai salah satu cita-citanya sejak dini. Wanita kelahiran 17 Maret 1985 itu juga mengakui adanya dorongan orangtua.

 

Birgitta Atvina Wijayanti yang akrab disapa Gitta semakin menunjukan keseriusannya lantaran sosok sang ayah yang berlatarbelakang polisi. Bapak, begitu ia memanggilnya. Akhirnya pada 2007, ia berhasil masuk akpol dan lulus pada 2009.

 

"Bapakku pergi pagi pulang malam. Begitulah seterusnya dan tanpa mengeluh serta keliatan capeknya. Beliau juga disayangi banyak orang dan menjadi tumpuan tetangga bahkan saudara untuk sekadar bertanya tentang solusi permasalahan," katanya kepada RIAU ONLINE.

 


Sambil mengenang, akhirnya cita-cita itu tercapai agar berguna bagi orang lain. Layaknya sang ayah dengan pangkat AKBP dengan tugas terakhir di Bidkum Polda Metro Jaya.

 

"Memang dari kecil dilatih disiplin, membagi waktu dan gimana dekat serta cinta dengn polisi," ujar wanita dua bersaudara itu.

 

Perjalanan Karir dan Keluarga Baru di Perantauan

 

Disinggung yang paling berpengaruh dalam karir, diakui Gitta yakni keluarga yang dirantau. Hal itu lantaran, sejak belia dirinya suka berpindah-pindah tempat tinggal.

 

Kemudian begitu lulus SMA/SMK sederajat ia langsung gabung di akpol dan bertugas di Sumatera Utara (Sumut) sebagai KSPK Polres Deli Serdang untuk pertama kalinya.

 

"Ketika pertama kali tugas di Medan ketemu anggota dan jadi keluarga. Begitu juga di sini (Pekanbaru) dan daerah-daerah lain. Sedikit banyaknya anak dari Pulau Jawa ini semangat untuk berkarya di Pulau Sumatera ini," ucapnya.

 

Masa kecil perwira menengah (Pamen) berbunga melati satu di dunia kepolisian banyak dihabiskan di Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya, dan Malang.

 

Sehingga, begitu penempatan pertama di Medan dan mengenal dengan karakteristik masyarakat di sana, pola hidup, dan lainnya, Gitta belajar banyak.

 

"Belajar banyak dari setiap tempat. Ternyata, kita bisa hidup dimanapun. Walau tetap jiwa orang Jawa namun bisa berbaur dengan orang Melayu, Sumatera, Medan," sebut ibu anak dua itu.

 

Sebagai istri dari seorang polisi yang berdarah Batak, dikisahkannya banyak yang mengira karena tugas di Medan. Hal yang terjadi sebenarnya, lanjut Polantas bersabuk putih itu, saat masih menjalani pendidikan di Akpol Semarang.

 

Abdi negara itu mengatakan, saat sang suami PTIK, Gitta sedang mengikuti pelatihan Sileg di Semarang. Kemudian, saat kembali ke Jakarta ada retret atau pesantren polisi yang akhirnya menjadikan Gitta bergabung dengan para senior perempuan dan bertukar cerita hingga akhirnya dipertemukan kembali dengan Kompol Hotmartua Ambarita (suami) yang saat ini sedang mengikuti Serdik Sespimmen Digreg 63.

 

Lebih jauh, kilas balik kisah perjalanan karir Kompol Birgitta. Hal yang menantang saat penugasan di Sumatera Utara tepatnya di Tanjung Balai yang lokasinya berjarak sekitar 7 jam dari Medan. Saat itu usia sang anak masih 4 bulanan.

 

"Itu terasa sekali ketika dinas membawa keluarga dan bertemu dengan keluarga baru. Kemudian harus menyesuaikan dengan lingkungan dan bermasyarakat. Serta harus siap dipanggil kapanpun," jelasnya.

 

 

Kendati begitu, ia merasa tertantang dan senang sehingga membuka jendela baru dalam hidupnya baik dari segi persaudaraan dan budaya serta menghargai terhadap sesama. Beradaptasi menjadi poin khusus baginya terutama dalam beretika.

 

"Setiap adat memiliki cara beretika. Dari situ juga menambah khasanah dan bisa menambah PD," terang mantan Kasatlantas Siak