Bersekolah dalam Ketidakpastian: Kisah Anak-anak Pengungsi di Kota Pekanbaru

anak-pengungsi2.jpg
(LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)

Laporan: Bagus Pribadi dan Laras Olivia

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Tanah Airku Indonesia/negeri elok amat kucinta, tanah tumpah darahku yang mulia/yang kupuja sepanjang masa/

Lirik lagu itu dinyanyikan anak-anak sekolah kelas 5 SDN 56 Pekanbaru. Satu di antara anak itu adalah pengungsi Afghanistan, N (12) yang kini harus berada di Pekanbaru, Provinsi Riau, Indonesia.

Gadis bermata sayu ikut menyanyikan lagu ciptaan Ismail Marzuki itu bersama teman-teman kelas warga negara Indonesia. Meskipun tak begitu hafal lirik, N berusaha mengikuti nyanyian hingga akhir.

N yang fasih berbahasa Indonesia harus ikut mengungsi lantaran peperangan di negaranya. Petikan lirik Rayuan Pulau Kelapa menjadi ironi bagi anak pengungsi tersebut.

Ia menyanyikan lagu yang menggambarkan indahnya tanah air Indonesia. Gambaran ini kontras dengan perasaannya yang harus jauh dari tanah kelahirannya.

Suasana ruangan kelas dipenuhi semangat usai anak-anak menyanyikan lagu-lagu Indonesia. Mereka begitu antusias mengikuti mata pelajaran IPA pada hari Rabu pagi.

Begitupun dengan N yang cepat tanggap merespons pertanyaan guru. Ia tampak rapi dengan seragam batik rok merah serta kerudung putih.

"Saya mau jadi dokter, makanya semangat belajar," kata N.

Setiap pagi, bersama anak-anak pengungsi lain, N berjalan kaki menuju sekolah itu, berjarak sekitar 150 m dari tempat akomodasinya di Jalan Teuku Cik Ditiro.

Meski kini usianya melebihi teman-teman lain di kelas 5, tapi itu tidak menyurutkan semangat belajarnya. N berkata, belajar di kelas selalu dikutinya dengan gembira.

"Di sini belajarnya sangat mudah, tidak ada kesulitan. Di dalam kelas, saya cuma sendiri pengungsi, tidak apa-apa, yang penting semangat belajar," katanya, yang selalu masuk ranking 3 besar di kelas.

Gadis kecil yang menyukai pelajaran Matematika ini mengaku tidak kesulitan belajar Bahasa Indonesia. Sejak umur 6 tahun N harus ikut orang tua meninggalkan negaranya, yang didera peperangan dan kekerasan terus-menerus, untuk mencari negara suaka.

"Saya bisa belajar bahasa Indonesia karena sudah beberapa tahun di sini. Saya sempat sekolah TK di Afghanistan. Waktu diajak pindah ke sini, rasanya sedih karena masih ada keluarga di Afghanistan," kenangnya.

Ia bermimpi bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP, SMA, hingga perguruan tinggi, meskipun belum ada kejelasan dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR) terkait pemindahan pengungsi ke negara tujuan.

"Saya tetap ingin sampai ke universitas karena pendidikan itu penting untuk setiap orang menggapai cita-cita," katanya penuh harap.

Prestasi N diakui Kepala Sekolah Dasar Negeri 56 Pekanbaru, Siti Zahroh. Menurutnya, N menonjol dan tergolong pintar. Tidak cuma pandai Matematika dan Bahasa Inggris, N juga pintar dalam pelajaran seni rupa.

N mengaplikasikan kemampuannya di bidang seni rupa untuk menata ruang kelasnya. Siti mengajak N untuk terus menekuni bakatnya di bidang seni gambar setiap bulan.

Siti menyebut N termasuk anak yang kreatif. Ia mengajak N memandu teman-teman di kelas 5 untuk berkreasi. Gambar hasil karya anak-anak ini dipajang di dinding kelas.

"Anak-anak pengungsi juga pintar mengaji, ada acara seperti Isra' Mi'raj, N kita tampilkan," ujarnya.

Sekolah mengapresiasi anak-anak pengungsi berpestasi. Mereka juga mendapat hadiah sebagai apresiasi. Perlakuan terhadap anak Indonesia dan anak pengungsi sama.

"Jadi mereka ada kelebihan, ada juga kekurangan. Ada positif, ada negatifnya. Maka kita perlakukan keduanya sama, tidak ada perbedaan," kata Siti.

Kendala Anak-Anak Pengungsi

Ada 12 anak pengungsi Afghanistan bersekolah di SDN 56 Pekanbaru. Mereka tersebar di kelas 1 hingga kelas 6.

Siti baru bertugas satu tahun di SD tersebut. Namun, ia tahu banyak tentang aktivitas anak-anak pengungsi di Pekanbaru karena sempat beberapa kali mengikuti pembekalan tentang pendidikan bagi anak-anak pengungsi.

Ia berkata masih ada kendala belajar bagi anak-anak pengungsi. Namun, ia bersyukur pengawasan juga tetap dilakukan. Pihak sekolah selalu memberi kabar kepada pengawas jika ada anak pengungsi yang mengalami kendala di sekolah.

Siti berkata anak pengungsi memang memiliki kelas belajar di luar sekolah pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi kendala anak pengungsi datang belajar ke sekolah lantaran jam belajar bentrok.

"Kami tidak masalah, silakan dia belajar di luar, tapi tetap datang dulu ke sekolah pagi. Silakan permisi dengan guru. Ada satu anak pengungsi yang kelas 6, sayang sekali bila ia sering tidak datang, kemarin juga kami sudah panggil orangtuanya," jelasnya.

Ia menyebut sekolah wajib menerima anak-anak pengungsi tapi sekolah juga mempersilakannya untuk ikut kelas di luar. Namun, anak-anak ini di antaranya mulai tidak cocok belajar di sekolah. Ada kemungkinan di wisma pengungsian mereka belajar di kelas tinggi yang mendekati pelajaran SMP.

Anak pengungsi

Peserta didik asal Afghanistan, N sedang mengikuti mata pelajaran IPA di kelas 5 SDN 56 Pekanbaru. (LARAS/RIAU ONLINE)

Anak-anak pengungsi mulai belajar dari kelas satu sehingga tidak ada yang melompat kelas. Mereka yang sudah lulus sekolah di SD negeri tetap bisa melanjutkan pendidikan ke SMP negeri. Sayangnya, anak-anak pengungsi yang lulus tidak memiliki ijazah layaknya peserta didik anak-anak Indonesia setelah menuntaskan pendidikan.

Mereka cuma mendapatkan sertifikat berisi nilai sesuai kemampuan akademis. Sebab, mereka tidak punya nomor induk.

Keseharian anak-anak pengungsi yang belajar di SDN 56 Pekanbaru terpantau oleh pihak sekolah. Siti menyadari di antara anak-anak ini pernah ikut unjuk rasa menuntut pemberangkatan ke negara tujuan.

Maklum, para pengungsi sudah sepuluh tahun berada di Kota Pekanbaru. Siti pun melakukan pendekatan terhadap anak-anak yang ikut unjuk rasa dengan memberikan nasihat agar tidak memengaruhi teman lainnya.

Sekolah selalu berkoordinasi dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), orangtua serta teman sejawat anak-anak pengungsi. Sebab, anak-anak pengungsi berada di satu wisma yang sama. Mereka juga melakukan pendekatan kepada orangtua anak-anak pengungsi.

Berdasarkan data yang dirilis Kesbangpol Kota Pekanbaru, total ada 77 peserta didik anak-anak pengungsi dari tingkat SD hingga SMP di Kota Pekanbaru. Mereka dibagi berdasarkan posisi akomodasi yang letaknya tak jauh dari sekolah.

Para siswa ini duduk di kelas 1 hingga kelas 9. Mereka tersebar di SDN 56 Kota Pekanbaru (12 orang), SDN 182 Bukit Raya (2), SDN 190 Bukit Raya (3), SDN 48 Bukit Raya (5), SDN 141 Bukit Raya (4), SDN 193 Marpoyan Damai (11), SDN 159 Payung Sekaki (19), SMPN 25 Marpoyan Damai (6), SMPN 35 Bukit Raya (6), SMPN 32 Sukajadi (6), Vickery Cristian Academi (VCA) (1), dan SMPN 14 (2).

Putus Sekolah di Negara Asal, Tak Bisa Lanjut di Negara ‘Transit’


Khan, pengungsi berusia 20 tahun, bersama keluarganya bertolak dari kampung halamannya, Jaghori, Afghanistan, ke Indonesia. Dari bandara di Kabul, ia transit beberapa minggu di India, untuk kemudian terbang ke Jakarta.

Ia sampai di Jakarta saat usia 13 tahun, bersama ibu, kakak, dan adiknya pada 2015. Sesampainya di Jakarta, Khan berpikir tinggal di Indonesia hanya sebentar sebagaimana yang diharapkan para pencari suaka saat meninggalkan Afghanistan.

"Sewaktu di Jakarta, aku pikir kami cuma sebentar di sini, kami akan sekolah. Rupanya lama sekali," ujarnya.

Di Jakarta, Khan dan keluarganya cuma disediakan satu kamar. "Untuk empat orang tak cukup. Mau pergi ke WC saja harus nyenggol yang lain yang lagi tidur. Buka pintu juga susah," jelasnya.

Setelah keluarganya terdaftar di Kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), mereka ditempatkan di Pekanbaru.

Sejak di Indonesia dan mengetahui bakal berlama-lama di negara transit, Khan mulai pasrah melanjutkan pendidikannya yang sempat tersendat di Afghanistan.

"Aku di Afghanistan sekolah cuma sampai kelas dua, umur 7 tahun kalau nggak salah. Tak bisa lanjut bersekolah karena banyak masalah di sana," ujarnya.

Ia mendamba-dambakan bisa pindah ke negara tujuan seperti Australia, Kanada, atau Amerika Serikat. "Di sana bisa jadi warga negara tetap. Bisa sekolah, kerja, punya kendaraan, semuanya bisa. Kalau di Indoneisa, tidak bisa," keluhnya. Dalam dalam aturannya memang para pencari suaka dilarang bekerja di negara transit.

Sepengetahuannya, sejak Juli 2014 hingga 2023, belum ada pengungsi di Pekanbaru yang ditempatkan ke negara tujuan. Paling ada, hanya beberapa pengungsi yang dipindahkan ke Jakarta untuk diproses ke negara tujuan.

"Prosesnya di Jakarta lama juga, sampai empat tahun lebih baru bisa berangkat (ke negara tujuan). Macam-macam lamanya," katanya, yang ia dengar berdasarkan penuturan sesama pengungsi.

Sebab itu, ia bersama pengungsi lain, selama tahun-tahun belakangan ini, sering melakukan demonstrasi di depan Kantor IOM Pekanbaru. Khan mempertanyakan mengapa proses pemindahan ke negara tujuan begitu lama sekali.

"Aku beberapa kali ikut demonstrasi. Sering juga kami tanyakan mereka (IOM dan UNHCR) lewat chat mengapa prosesnya lama sekali, mereka cuma suruh kami sabar. Aku sendiri sudah hampir 8 tahun di Indonesia," tutur Khan.

"Mereka bilang tak punya kewenangan memproses pemindahan kami, tapi aku pikir mereka punya kewenangan untuk memproses, bukan sepenuhnya tak punya kewenangan," imbuhnya.

Ia menuntut kejelasan proses pemindahan dari IOM dan UNHCR karena menurutnya tak pernah dijelaskan, dan ketika demonstrasi, kedua lembaga berwenang itu kerap kali menghindar.

"Kami di sini tak bisa sekolah, tak bisa kerja, kami tak punya masa depan yang jelas," katanya, sembari senyum tipis dengan pancaran mata kesedihan mendalam.

"Kami tak bisa apa-apa, harus menunggu dan berdoa saja."

Memang IOM memberikan biaya hidup bulanan, tapi menurut Khan itu tak cukup. Ia pemuda yang tak ingin hidup bagai di balik jeruji besi. Ia tak ingin lagi hidup dengan penuh siasat mengatasi pesangon yang diberikan IOM. Ia ingin bekerja dan menghasilkan uang sendiri.

Belum lagi, kehidupan di asrama sering dijumpai kendala. "Seperti asrama rusak, bocor, kami laporkan dan jawabannya akan dicek. Tapi tak diproses-proses sampai 8 bulan baru diperbaiki. Awal-awal saya di Pekanbaru, kalau ada masalah di asrama hitungan minggu saja sudah diperbaiki,” tuturnya.

"Saya coba ikhlas dengan ini, walau kadang stres juga memikirkan masa depan. Tapi saya kasihan dengan ibu saya. Sekarang sakit pembengakakan di bagian leher. Kata dokter, karena banyak pikiran," kata Khan.

Minimnya Jumlah Pengungsi Anak Ikuti Sekolah Formal

Associate Communication Officer UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono, menegaskan pemerintah Indonesia telah memberikan akses sehingga anak pengungsi dapat bersekolah di sekolah-sekolah negeri. Hal itu merujuk Surat Edaran dari Kementerian Pendidikan No. 75253/A.A4/HK/2019, terutama bagi mereka yang berada di tingkatan SD.

Sampai Januari 2023, sejumlah 803 anak pengungsi dari 3,431 anak pengungsi di Indonesia—tapi tidak seluruhnya terkategori usia sekolah—telah bersekolah di sekolah-sekolah negeri yang terakreditasi di seluruh Indonesia.

"Kendala utama yang dihadapi, kebanyakan anak pengungsi tidak dapat berbicara Bahasa Indonesia, sementara sekolah negeri menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Sebab itu, kami memberikan pengajaran Bahasa Indonesia secara informal bagi anak-anak yang ingin bersekolah, sebelum mereka masuk ke sekolah formal," terangnya.

Kendala lain, sepengakuan Mitra, banyak juga orang tua pengungsi yang memutuskan untuk tidak menyekolahkan anak mereka di Indonesia karena mengetahui masa tinggal mereka di Indonesia adalah sementara/tidak permanen.

Saat ini, sekitar 4.900 pengungsi anak dan dewasa mengikuti program-program pembelajaran atau pelatihan informal di mana UNHCR dan mitranya mengkoordinasikan dengan organisasi-organisasi binaan pengungsi (refugee led-organizations).

"Pendidikan yang diberikan bagi tingkatan anak di antaranya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, pelajaran membaca, menyanyi, IPA, IPS, olah raga dan kesenian," katanya.

Mitra membenarkan penuturan Siti selaku Kepala Sekolah SDN 56 Pekanbaru, bahwa anak pengungsi yang bersekolah tak dapat menerima ijazah karena tidak memiliki NIK.

"Tapi anak-anak pengungsi yang menamatkan pendidikan akan memperoleh ‘Surat Kelulusan’ yang memungkinkan mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya," ujarnya.

Pemerintah sepatutnya menyoroti pengungsi anak mengingat telah menandatangani Convention on The Rights of the Child atau konvensi hak anak pada 1990. Ditambah lagi, pada 10 Agustus 2021, pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak, yang salah satunya ada aturan penanganan pengungsi anak.

Sayangnya, dalam Surat Edaran dari Kementerian Pendidikan No. 75253/A.A4/HK/2019, poin 1 berbunyi bahwa partisipasi pengungsi anak usia sekolah dalam pendidikan di daerah tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lebih dari itu, di poin 2, menyebut satuan pendidikan di wilayah saudara wajib mendahulukan anak usia sekolah warga negara Indonesia.

Kuota Penempatan Negara Tujuan

Indonesia tidak menerima pengungsi untuk menetap karena tak turut menandatangani Protokol 1967, yakni Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Status Pengungsi.

Sebab itu, para pengungsi dan pencari suaka sejatinya menjadikan Indonesia sebagai negara transit. Berdasarkan catatan UNHCR per November 2022, total ada 12.616 jiwa yang terdaftar di Indonesia.

Kenyataannya, pengungsi telah ‘transit’ di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Aceh, Medan, Tanjung Pinang, Pekanbaru, dan Makassar dengan waktu yang sangat lama; rata-rata 6 sampai 10 tahun.

Mitra Salima Suryono dari UNHCHR Indonesia menjelaskan keputusan akhir untuk menerima pengungsi atau tidak dalam proses resettlement—proses penempatan pengungsi ke negara tujuan—dilakukan oleh pemerintah negara penerima yang bersangkutan, bukan oleh UNHCR. Setiap negara penerima memiliki kuota penerimaan yang berbeda-beda dan terbatas jumlahnya.

"Negara penerima juga menetapkan kriteria kelayakan penerimaan sendiri (kasus seperti apa yang dapat mereka terima atau tidak). Seluruh rangkaian proses penempatan ke negara ketiga tergantung pada beberapa sesi wawancara, pemeriksaan, dan persetujuan yang dilakukan oleh negara penerima, yang seringkali memakan waktu beberapa tahun lamanya," jelas Mitra.

Ia mengungkapkan jumlah orang yang terpaksa mengungsi (melakukan perpindahan terpaksa) per Juni 2022 tercatat 103 juta orang di seluruh dunia. "Jumlah ini adalah jumlah tertinggi sepanjang sejarah, bahkan lebih tinggi dari jumlah orang yang melakukan perpindahan terpaksa pada saat Perang Dunia II."

Di antara 103 juta orang itu, kata Mitra, 32,5juta orang di antaranya berstatus pengungsi (telah melewati garis batas negara dan mencari perlindungan di negara lain). Sementara kuota/ jumlah penempatan di negara-negara ketiga seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Kanada, Inggris, dll—hanya ada sekitar 20-an negara penerima resettlement di dunia—berada jauh di bawah jumlah pengungsi yang ada.

Bagi Mitra, penempatan ke negara tujuan bukanlah hak bagi setiap pengungsi. Sebab, kuota terbatas menyebabkan mayoritas pengungsi tidak dapat memperoleh penempatan ke negara tujuan walaupun menurut UNHCR, mereka membutuhkan perlindungan dan perlu dipersatukan kembali dengan anggota keluarganya.

"Hanya kurang dari 1% pengungsi di dunia dapat memperoleh resettlement di negara tujuan," ujarnya.

"UNHCR memprioritaskan kasus-kasus yang paling mendesak, seperti anak-anak tanpa pendamping, ibu tunggal dengan anak balita, para manula yang membutuhkan perawatan kesehatan rutin, atau orang-orang berkebutuhan khusus untuk direkomendasikan kepada negara-negara penerima," imbuh Mitra.

Sementara Perwakilan UNHCR, Muhammad Rafki, menegaskan resettlement bukan bagian dari HAM, tapi hadiah yang sifatnya terbatas.

"Penanganan pengungsi di Pekanbaru sudah lebih baik. Di bawah IOM, pengungsi mendapatkan fasilitas akomodasi, pendidikan, kesehatan dan bulanan. Di negara lain tidak ada akomodasi kebutuhan. Jadi yang kita berikan itu adalah kebutuhan dasar," terangnya.

Ia menyesalkan sikap pengungsi yang sering melakukan demonstrasi dan menuntut segera dipindahkan ke negara tujuan. "Masyarakat, pemerintah kota, sudah berbaik hati menerima pengungsi sementara untuk tinggal di Pekanbaru. Pindah ke negara tujuan ini bukan hak."

Sepenuturannya, jumlah orang yang diproses resettlement di angka 2.800 pengungsi; jumlah pengungsi yang sudah diproses dan diterima di negara ketiga ada 485 orang, dan tahun 2022 sekitar 700 orang sudah berangkat.

"Karena faktor ketidakpuasan, mereka berdemonstrasi meminta resettlement. Jadi, kami sudah maksimal, maka mereka bisa hormati hukum Indonesia, hormati budaya Indonesia. Masyarakat kita masih banyak di bawah garis kemiskinan, tolong hargai itu," terangnya.

"Yang demo biasanya sekitar 70 sampai 80 orang, hanya segelintir orang yang jadi provokator. Kami harap penegakan hukum lebih dipertegas, karena pengungsi tidak kebal hukum Indonesia," tegas Rafki.

Di sisi lain, Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru, Indra Pomi, menyerukan agar keberadaan pengungsi tak menganggu masyarakat Pekanbaru.

"Jangan sampai keberadaan pengungsi mengganggu masyarakat, jangan menimbulkan masalah sosial," kata Indra.

Pemerintah berkali-kali mengalamatkan tanggung jawab pengungsi kepada UNHCR dan IOM. Perwakilan IOM, Yati, menerangkan pihaknya mendukung kebutuhan dasar pengungsi.

"Kalaupun ada uang bulanan, itu bukan uang saku, tapi itu uang bulanan untuk kebutuhan mereka seperti makan dan transportasi," ujarnya.

Selain itu, IOM menyediakan tempat tinggal, makan, kesehatan, dan pelayanan psikologis.

"Dalam rangka untuk mengurangi tingkat stres mereka, karena pada umumnya mereka sudah tinggal di Pekanbaru sekitar tujuh tahun dalam kondisi yang kita sebut limbo, mundur tidak bisa dan maju belum tahu ke mana," tutur Yati.

Sampai saat ini, kata Yati, IOM membantu pemerintah Indonesia dalam membantu kebutuhan dasar selama pengungsi menunggu kejelasan resettlement.

"Kami masih bekerja sama dengan Satgas Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) untuk pengawasan, kepolisian, dan imigrasi khususnya Rudenim di Pekanbaru," terangnya.

Berdasarkan data Rumah Detensi Imigrasi Pekanbaru per 24 Februari 2023, ada 792 pengungsi yang berada di penampungan. Dalam pengawasan administrasi keimigrasian, Rudenim merujuk Pasal 35 dan 36 Perpres 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsian dari Luar Negeri.

"Bahasa Indonesia bukan bahasa ibu kami"

"Aku tentu ingin ke sekolah ke universitas. Tapi, aku tak punya akses, tidak ada punya kesempatan," kata Reza dengan Bahasa Indonesia terbata-bata.

Reza (21) ialah pengungsi asal Oruzgan, Afghanistan, yang lebih menguasai Bahasa Inggris ketimbang Bahasa Indonesia. Meski sejak 2015 sudah di Pekanbaru, ia merasa kesulitan berbahasa Indonesia.

Saat di bangku sekolah usia SD di Afghanistan, Reza terpaksa berhenti bersekolah.

"Tak bisa sekolah. Di Afghanistan, ada perang dan ledakan di mana-mana," ujarnya.

Ia mengisahkan, di kampung halamannya, Reza kecil mengumpulkan buku-buku berbahasa Inggris yang dibawa pasukan Amerika Serikat. Bermodalkan kamus, di jalan sunyi, Reza membaca buku-buku berbahasa asing itu.

"Di Indonesia aku pernah tanyakan apakah bisa berkuliah, tapi tak bisa."

Di sisi lain, ia tak bisa komunikasi formal dalam Bahasa Indonesia. "Di kelas dengan di tempat umum, kan, berbeda. Aku tak bisa menangkap maksud sepenuhnya komunikasi formal Bahasa Indonesia. Jadi tak bisa mengikuti pelajaran," terangnya.

"Bahasa Indonesia bukan bahasa ibu kami," katanya.

Sembari menyantap ayam geprek dan kepedasan, Reza mengisahkan perihal dirinya harus mengungsi dari Afghanistan.

"Di kampungku dikepung negara tetangga yang juga ada perang. Taliban juga punya kontrol yang besar di daerah kami. Waktu itu mereka bukan pemerintah, sekarang sudah jadi pemerintah," jelasnya.

"Taliban mengeksekusi siapa saja yang bekerja untuk pemerintahan. Misalnya aku berjualan makanan lalu ada polisi beli, maka aku dihajar Taliban. Jadi kami tak aman di situ," katanya.

Posisi Reza di kampung halamannya bak diserang dua sisi dari belati yang sama. Ia terperangkap di antara pemerintah dan Taliban karena kepercayaan dan etnis yang berbeda.

"Jadi Taliban sering membunuh Hazara. Hampir seluruh pengungsi dari Afghanistan ke Indonesia itu suku Hazara. Kami minoritas dan mayoritasnya di daerahku Taliban," ujarnya.

"Begitu juga dengan pemerintahan sebelumnya yang mendiskriminasi kami karena kami berbeda. Jadi kami dihantam Taliban juga dihantam negara," kata Reza.

Satu-satunya harapan Reza yang dianggapnya mungkin hanya agar bisa bekerja. Tujuh tahun penantiannya di Pekanbaru, ia ingin bisa dipindahkan ke negara tujuan. Ia ingin sekali ke Australia.

"Setahuku Australia negara utama yang mendukung pengungsi di Indonesia. Tiap tahun data pengungsi ke Australia meningkat tapi mengapa tidak ada tempat bagi pengungsi dari Indonesia? Jadi aku pikir pemerintah Indonesia, IOM, dan UNHCR tidak memprosesnya secara maksimal," tandasnya.

Artikel ini didukung beasiswa liputan Yayasan Pantau