Mendekati Idul Fitri, Virus Marburg Ancam Indonesia

Ilustrasi-virus-marburg.jpg
(foto: dok via VOA Indonesia)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Mendekati Idul Fitri virus Marburg kini menjadi ancaman baru bagi Indonesia. Menurut laporan kasus yang diterima organisasi kesehatan dunia, WHO, tingkat kematian akibat virus baru ini terbilang tinggi.

Hingga per 28 Maret 2023, terdapat 9 kematian dan 16 kasus suspek yang dilaporkan terjadi di Provinsi Kié-Ntem, Guinea Ekuatorial.

Menyikapi kemunculan tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Mohamad Adib Khumaidi meminta masyarakat Indonesia untuk tidak abai dalam menghadapi ancaman virus Marburg. Indonesia harus tetap waspada.

Selain itu, virus ini memiliki fatalitas atau tingkat kematian yang cukup tinggi, yakni sebesar 88 persen.

Juru bicaraL Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril menyebut pemerintah tengah waspada dan meminta masyarakat untuk tidak lengah terhadap ancaman virus tersebut.

Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Kewaspadaan Terhadap Penyakit Virus Marburg. Pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, Kantor Kesehatan Pelabuhan, SDM kesehatan, dan para pemangku kepentingan terkait untuk waspada terhadap virus Marburg.


Adapun beberapa gejala yang dialami pasien umumnya berupa demam, muntah, pendarahan, hingga mengalami gagal ginjal.

Menurut laman Kemenkes.go.id, virus Marburg bisa menular melalui cairan antar-manusia. Bahkan, virus ini bisa menular melalui benda yang telah terkontaminasi cairan tubuh si penderita. Misalnya tempat tidur, pakaian, dan benda lain yang sudah terpapar.

Virus ini membutuhkan masa inkubasi selama 21 hari hingga seseorang yang terpapar menunjukkan gejala penyakit.

Virus Marburg memiliki gejala yang mirip dengan penyakit lain seperti malaria atau tipes. Gejala awal ini biasanya muncul dengan ciri-ciri demam tinggi yang tiba-tiba, sakit kepala parah, nyeri otot, muntah hingga diare.

Kemiripan gejala pada infeksi virus Marburg dan penyakit umum lainnya membuat proses identifikasi lebih sulit dilakukan. Akibatnya, banyak orang yang terlambat mendapatkan pengobatan.