Kala Soeharto Merumahkan Ribuan Pegawai saat Korupsi Mengakar di Bea dan Cukai

Presiden-Soeharto-di-rumahnya.jpg
(Foto: AP via VOA Indonesia)

RIAU ONLINE - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini tengah mendapat sorotan dari berbagai pihak setelah aksi pamer harta yang dilakukan sejumlah pejabatnya. Publik menaruh curiga terkait harta fantastis yang dimiliki para pejabat pajak hingga bea dan cukai.

Bahkan baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, membongkar adanya transaksi mencurigakan mencapai Rp 300 triliun yang dilakukan oknum-oknum pegawai Kemenkeu. Jumlah ini memunculkan indikasi adanya praktik pencucian uang.

Ternyata bukan kali ini saja, pegawai di Kemenkeu mengejutkan publik dengan harta-harta fantastisnya. Dugaan penyelewengan dan korupsi di bea dan cukai sudah pernah terjadi sebelumnya pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Kala itu, Kemenkeu berada di bawah kepemimpinan Ali Wardhana, tepatnya pada 6 Juni 1968.

Jurnalis Mochtar Lubis menyebut, praktik-praktik penyelewengan di bea dan cukai masa itu terjadi karena adanya kongkalikong lembaga tersebut dengan importir penyelundup.

Kabar adanya penyelundupan diketahui Ali Wardahan pada Mei 1971. Ketika berkunjung ke kantor bea dan cukai di Tanjug Priok, Ali melihat banyak petugas yang bersantai hingga berhembus kabar penyelundukan ratusan ribu baterai dengan merek terkenal.

Mutasi besar-besaran pun dilakukan pada pejabat eselon II antarunit eselon I. Hingga berkali-kali, Direktur Cukai mengalami pergantian. Namun, penyelewengan dan penyelundupan masih saja terjadi.

Penyelewengan di bea dan cukai tak kunjung lenyap hingga bergantinya tampuk kepemimpinan di Kemenkeu. Berbagai keluhan berdatangan dari pengusaha. Pengusaha mengeluhkan urusan bea dan cukai yang berbelit-belit hingga berujung pada pungutan liar.

Keluhan-keluhan yang disampaikan para pengusaha, termasuk dari Jepang akhirnya sampai ke telinga Presiden Soeharto.


Sulitnya memberantas praktik korupsi yang seolah mengakar hingga bertahun-tahun di badan keuangan negara tersebut membuat Presiden Soeharto turun tangan.

Menteri Keuangan yang telah berganti dan dijabat oleh Radius Prawiro saat itu mendapat panggilan dari Soeharto. Radius Prawiro kemudian memberikan Draft Rencana Reorganisasi kepada sang presiden kala itu.

Soeharto kemudian melakukan diskusi dengan tiga pembantunya, yakni Dr. Saleh Afif, Menteri Penertiban Aparatur Negara Rahmat Saleh, Menteri Perdagangan, dan Kepala BPKP Gandi, sebagaimana disampaikan mantan pimpinan KPK Amien Sunaryadi pada Oktober 2011 lalu saat wisuda STAN.

Diskusi itu akhirnya menghasilkan dua alternatif solusi untuk memberantas korupsi di bea dan cukai, dibubarkan atau direorganisasi. Amien menyebut, ketiga pembantu presiden mengusulkan reorganisasi dilakukan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) lantas melakukan penyelidikan. Dari hasil penyelidikan terungkap fakta mencengangkan di lapangan. Perizinan ekspor dan impor di bea dan cukai harus melewati 42 meja. Namun kemudian berkurang menjadi 12 meja setelah penyelidikan BPKP.

Langkah radikal pun ditempuh Soeharto untuk memerangi praktik penyelewengan, penyelundupan, pungutan liar, yang berujung para tindak pidana korupsi di instansi tersebut.

Berdasarkan penilaian BPKP, Seoharto lantas menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985. Satu di antara poin-poin dalam instruksi tersebut berupa perintah merumahkan sebagian besar pegawai di instansi bea da cukai tersebut. Sementara pekerjaan kebeacukaian dipercayakan kepada Suisse Generate Surveillance (SGS3), sebuah perusahaan Swiss.

Menurut Amien, pekerjaan kebeacukaian kepada SGS3 dilakukan di atas kontrak perjanjian selama 10 tahun. Sehingga, ribuan pegawai bea dan cukai tidak diperbolehkan untuk bekerja di kantor.

Instruksi Soeharto kemudian menjadi kebijakan. Menteri Keuangan di masa itu dengan konsisten melaksanakan kebijakan tersebut selama 10 tahun.