1 Maret dan Hilangnya Peran Soeharto sebagai Pemimpin Orde Baru

Presiden-Soeharto-di-rumahnya.jpg
(Foto: AP via VOA Indonesia)

RIAU ONLINE - Presiden Joko Widodo, setahun lalu mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara untuk mengabadikan peran peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 bagi Indonesia.

Akan tetapi, nama Soeharto tak disebutkan di dalam keputusan presiden itu. Padahal, berbagai buku sejarah yang ditulis rezim Orde Baru, menempatkan Soeharto sebagai tokok utama, bersama Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubowono IX.

1 Maret 1949 menjadi tanggal terjadinya Serangan Umum, yakni peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Perdebatan usai reformasi pun mengemuka lantaran negara dinilai mengecilkan peran mantan Presiden Seoharto.

Kenyataan ini ternyata cukup mengganggu bagi Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila, Surabaya, bernama Prihandoyo Kuswanto.

“Menjadi hal yang terus mengusik hati kita, yaitu tentang Keppres 2/2022, tentang peringatan Satu Maret ini menjadi direduksi, sehingga peran Pak Harto itu dihilangkan. Ini sebetulnya harus menjadi konsen kita,” kata Prihandoyo, dikutip dari VOA Indonesia, Rabu, 1 Maret 2023.

Hal ini diungkap Prihandoyo saat mengikuti diskusi memperingati Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta pada Selasa, 28 Februari 2023.

Tidak hanya Prihandoyo, sejumlah peserta diskusi itu pun menyinggung hilangnya peran pemimpin Orde Baru itu dalam peristiwa itu. Bahkan, muncul usulan sebuah petisi untuk kembali mengangkat nama Soeharto beserta peran-peran sentralnya, khusunya dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret.

Selama puluhan tahun, Serangan Umum 1 Maret 1949 dikaitkan dengan Soeharto. Namun Keppres yang dikeluarkan Jokowi tidak menyebutkan nama Soeharto.

“Sebetulnya ada dua naskah akademik, satu dibuat pada 2018 dan satu lagi dibuat pada 2022. Yang di naskah akademik 2018, Pak Harto masuk, disebut di situ. Di naskah akademik tahun 2022, nah itu sudah hilang,” kata Prof. Dr. Susanto Zuhdi.

Susanto mengaku sudah membandingkan halaman demi halaman naskah akademik. Sejumlah perbedaan signifikan yang membuat nama Soeharto hilang. Ia bahkan menilai ada tekanan politik dalam kasus ini.

“Pasti bukan sejarawan yang mengerti, yang menulis itu. Ini sudah ada intervensi politik. Surat Keputusan itu politis,” terang Susanto.

“Kita mungkin bisa menduga dari mana intervensi itu masuk. Masa mau mengangkat yang satu, kemudian yang satu ditenggelamkan dari fakta sejarah. Ada hadits atau entah apa yang mengatakan, janganlah kebencianmu membuatmu berbuat tidak adil,” tambah Susanto.

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terjadi pada masa Orde Baru merupakan peristiwa penting yang selalu penting untuk mengukuhkan peran Soeharto dalam sejarah kemerdekaan.


Bahkan, ada dua film yang menjadi langganan untuk diputar, yakni “Enam Djam di Jogja” produksi Perfini (1951) karya sutradara legendaris Usmar Ismail dan “Janur Kuning” (1979) karya sutradra Alam Rengga Surawidjaya. Ada juga film “Serangan Fajar” (1982) karya sutradawa kawakan Arifin C Noer yang menggambarkan peran Soeharto lewat sudut pandang anak kecil bernama Temon.

Belanda, pasca Proklamasi 1945, dua kali mencoba kembali menjajah Indonesia lewat Agresi I tahun 1947 dan Agresi II pada Desember 1948. Negara terpaksa memindahkan ibu kotanya dari Jakarta ke Yogyakarta, dan itulah sebabnya peran Soeharto yang kala itu berpangkat Letnan Kolonel dan menjadi Komandan Wehrkreise III memperoleh tempat.

Serangan untuk melawan Agresi II dilancarkan Soeharto pada 29 Desember 1948. Belanda meradang. Pengejaran pun dilakukan sampai ke desa kelahiran Soeharto, Kemusuk di Sleman, Yogyakarta.

Pada 7 dan 8 Januari 1949, tentara membantai 202 penduduk Kemusuk. Namun, pembantaian ini tidak menyurutkan Soeharto yang terus menyerang Belanda pada awal 1949, yaitu 9 Januari, 16 Januari, dan 4 Februari. Satu serangan besar juga dilancarkan pada 1 Maret 1949 yang kemudian dikenal sebagai Serangan Umum.

“Lima kali serangan itu telah menjadi konsekuensi kesedihan mendalam Letkol Soeharto atas 202 korban warga Kemusuk dan sekitarnya, khususnya keluarganya sendiri,” kata Mayjend TNI (Purn) Lukman R Boer, Ketua Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB).

Perburuan Belanda kepada Soeharto yang menimbulkan banyak korban ini, antara lain dituturkan adik tiri Soeharto, Probosutejo dalam buku “Saya dan Mas Harto”.

Sementara itu, sejarawan Universitas Gadjah Mada, Prof Djoko Suryo, menyebut Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai rentetan pertempuran tidak terputus dari serangan-serangan lain.

“Satu stategi yang dikembangkan oleh Letkot Soeharto dan menjadikan kita paham, betapa peranan Soeharto di dalam peristiwa ini sangat penting,” ujar Djoko Suryo.

Sebagai komandan tentara di Yogyakarta kala itu, Soeharto berperan sebagai ladang perbedaan klaim. Djoko Suryo menyebut, karena kondisi itulah maka penulisan sejarah dan upaya untuk merawat ingatan kolektif masyarakat menjadi penting.

Sebagai sebuah peristiwa, Serangan Umum 1 Maret juga bagian dari titik-titik sejarah penting di Indonesia.

“Pemahaman mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi penting, karena setelah Yogyakarta diduduki dan Soekarno-Hatta ditawan, maka pemerintahan darurat dipindah di Bukittinggi,” tambah Djoko Suryo.

Serangan ini pula yang membuat PBB dan Amerika Serikat mendesak penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar dengan syarat pemerintahan Indonesia harus dikembalikan dulu ke Yogyakarta dan Soekarno-Hatta dibebaskan.

“Sehingga pada Juli 1949, Yogyakarta resmi kembali menjadi ibu kota, karena Soekarno dan Hatta juga dikembalikan,” katanya lagi.

Sedangkan menurut Kolonel Dr Kusuma, dosen di Universitas Pertahanan, Jakarta, posisi Soeharto selama 1949 adalah sebuah takdir.

“Seandainya sejarah ini bisa dibalik, jika ibu kota tidak pindah, kemungkinan besar peranan Pak Harto tidak ada di sana,” kata Kusuma.

Ada kemunkinan serangan Belanda akan berpusat di Jakarta, jika kala itu ibu kota tidak pindah ke Yogyakarta. Sejarah mungkin akan berkata lain, dan karier Soeharto tidak akan cemerlang.

“Di sini saya ingin mengatakan ada takdir sejarah. Takdir sejarah ini berada pada diri seorang Letkol Soeharto,” lanjut Kusuma.

Soeharto yang lahir di Yogyakarta tentunya ikut diuntungkan. Soeharto paham betul wilayah-wilayah dalam kawasan perang saat melawan Belanda berlansung pasca Agresi II. Kusuma bahkan menggambarkan bahwa Soeharto tahu semua jalan tikus di kawasan ini.

Berbagai kondisi ini menguatkan takdir sejarah Soeharto dalam peristiwa-peristiwa yang terus berlansung setelah Agresi II. Misalnya, ketika Soeharto dipilih Presiden Soekarno pada 1961 untuk menggelar Operasi Mandala di Papua (Irian Barat). Takdir itu terus berlanjut ketika pada 1965, Soeharto memegang pasukan Konstrad, dan terjadi G30S/PKI.

Susanto Zuhdi menyebut, bagaimana sejarah ditulis saat ini ibarat sebuah pertempuran.

“Sejarah itu kepentingan. Sejarah itu pertarungan dimana orang memperebutkan atau mengklaim. Itu sejarah. Sejarah itu the battlefield of ideas, of interest, of power, dan lain sebagainya,” ujar Susanto.