Kecelakaan Kerja di PHR, Bukti SOP Tak Diterapkan?

ILUSTRASI-Pekerja-Asing1.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Aktivis Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) wilayah Riau, Rinaldi Sutan Sati, menyoroti sikap PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang sebelumnya mengatakan meninggalnya pekerja sub kontraktor bukan karena kecelakaan kerja. Dari Juli 2022 hingga kini, total ada enam pekerja yang meninggal dunia.

Rinaldi menyampaikan, perlunya dilakukan investigasi terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) yang diterapkan sebelum pekerja masuk ke kawasan. Apalagi, menurutnya SOP kerja terkait Minyak Bumi dan Gas (Migas) cenderung lebih ketat

"Itu dulu yang harus diaudit dalam bentuk audit investigatif terhadap SOP. Apakah benar berjalan atau belum. Karena SOP itu nanti yang bisa menentukan apakah orang sakit dipaksa bekerja atau orang sakit diloloskan bekerja, atau perusahaan tak tahu pekerjanya sakit lalu kemudian bekerja. Artinya SOP tak jalan," terangnya kepada RIAUONLINE.CO.ID, Jumat, 13 Januari 2023.

Berangkat dari SOP, jelasnya, kemudian bisa ditentukan masalahnya apa saja. Ia melanjutkan, jikalau pekerja tiba-tiba misalnya dapat serangan jantung, maka seharusnya ada riwayat kesehatannya dan aneh jika tidak terdeteksi.

"Bukan berdebat tanpa data, tapi diaudit dulu. SOP berjalan tidak? Jangan-jangan kongkalikong semua karena ingin mengecilkan pengeluaran terhadap buruh, yang tak efektif pun tetap 'dipaksakan' bekerja. Dilihat juga angka yang dibayarkan kontraktor ke buruh itu memang sesuai dengan yang diajukan PHR apa tidak," tutur Rinaldi.

Menurut Rinaldi, apa yang terjadi dengan pekerja sub kontraktor PHR merupakan pola bagaimana bentuk penindasan terhadap buruh, di mana pada akhirnya pekerja kerjanya cenderung 'kejar setoran'.

"Jadi mau tak mau mereka harus bekerja. Kami curigai ada mafia buruh murah di sini. Sop tentang kesehatan buruh sebelum bekerja ada tidak? Kalau ada dijalankan tidak? Kalau misalnya dijalankan kenapa terjadi. Kalau tak dijalankan berarti ada indikasi antara kontraktor atau subkontraktor nya untuk mengambil selisih nominal dari yang seharusnya diterima buruh. Itu semuanya bisa diinvestigasi," tegasnya.

Rinaldi menjelaskan hubungannya dengan kejadian meninggalnya enam pekerja PHR. Menurut Rinaldi, dengan melonggarkan SOP, buruh yang masuk tak selektif lagi.

"Jadi mau sakit bawaan, sakit ini-itu semuanya lolos. Karena semua orang butuh kerja, jadi yang sakit pun disembunyikannya karena butuh uang. Berapa pun diterimanya dari subkontraktor tak dipersoalkan karena memang butuh uang," katanya.

"Aku yakin ada kesalahan prosedural yang menyebabkan kejadian ini, atau tak taat SOP, malah bahkan SOP-nya tak ada," tamba Rinaldi.

Berangkat dari situ, Rinaldi meminta PHR bersikap jujur, terlebih dahulu buka-bukaan data. Artinya, imbuhnya, ketika tender dibuka, kebutuhan pekerjanya harus dipetakan jangka umurnya.

"Karena ada penekanan budgeting di situ, mau yang umurnya di atas 50 tahun pun akhirnya diterima juga. Karena dia bisa tekan biayanya, bisa hemat. Belum di cek lagi satu pekerja mengerjakan berapa pekerjaan. Migas ini bukan pekerjaan ringan, ini harus diperhatikan," terang dia.

Ia pun meminta tim investigasi dari Disnakertrans agar mengurutkan akar persoalan dahulu dengan merujuk ke kontrak pekerja. Kemudian, terangnya, perlu dilihat apa saja pekerjaan yang diberikan kontraktor beserta syaratnya.

"Jangan tiba-tiba ada rekomendasi, balik ke pangkal dulu. Ketika ada ketidaktaatan terhadap mekanisme itu harusnya kena sanksi. Dan PHR harusnya kena sanksi dan berani buka-bukaan," tegas Rinaldi.

"Ini kan semuanya mengerjakan ujungnya, pas sudah kejadian baru sibuk semua. Dibuka dulu masing-masing item kontrak apa persyaratannya. Semua pihak harus jujur," tutupnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau, Imron Rosyadi, mengaku meminta PHR melakukan medical check-up tiap enam bulan dan saat ini, katanya, sedang dijalankan.

"Kemudian PHR juga bersedia melakukan medical check-up bagi pekerja mulai usia 35 tahun. Terus yang umur 56 ke atas jumlahnya ada 1500an orang, ini kalau dipensiunkan semua bisa ribut. Makanya dicek, kalau sehat silahkan kerja dan kalau tak sehat diberhentikan mengingat resiko tinggi di lapangan," terang Imron.