Genjot Ekonomi Kerakyatan Melalui Pengembangan Agribisnis Kelapa yang Berkelanjutan

Artikel-Sawit.jpg
(instagram.com/p/ella.z14)

LAPORAN: ADE RAHMAYANTI

RIAUONLINE, PEKANBARU - Dikenal sebagai “pohon kehidupan” (tree of life), kelapa termasuk komoditas unggulan di Indonesia dengan nilai ekonomi mencapai Rp 30 triliun. Bahkan saat ini, kelapa dijuluki ‘emas hijau’ kedua di Indonesia setelah kelapa sawit. Dengan luas perkebunan kelapa di Indonesia yang mencapai 3,8 juta hektar serta permintaan pasar ekspor yang tinggi, tak heran kenapa komoditas ini menjadi salah satu industri bintang 5 di tanah air.

Bila dibandingkan dengan negara lain, produktivitas kelapa Indonesia adalah tertinggi di dunia dan masuk dalam kelompok tiga terbesar produsen kelapa dunia. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, produksi kelapa nasional di tahun 2021 mencapai 2,85 juta ton, dimana jumlah tersebut meningkat 1,47% dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebesar 2,81 juta ton. Dan Provinsi Riau tercatat sebagai sentra kelapa terbesar di Tanah Air dengan produksi mencapai 395 ribu ton. Meski demikian, angka produksi tersebut masih belum bisa memenuhi target permintaan pasar global.

Pengembangan agribisnis kelapa memiliki peranan penting bagi perekonomian daerah atas kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan industri pertanian lain. Bersamaan dengan itu, luasnya potensi pengembangan produk akan mendukung kemajuan ekosistem perkelapaan di Indonesia baik di tingkat makro (daya saing di pasar global) maupun mikro, (pendapatan petani, nilai tambah dalam negeri dan substitusi impor).

Perjalanan industri kelapa sebagai komoditas unggulan Indonesia

Artikel Sawit

Sumber foto: https://www.instagram.com/p/ella.z14

Mengingat kembali di masa kejayaan industri kelapa pada periode tahun 1960-1970-an dimana produk utamanya yakni kopra telah menjadi komoditas unggulan dan tumpuan ekonomi petani kelapa Indonesia. Pada masa itu, petani kelapa hidup sejahtera sebab usaha penjualan kopra yang sangat menguntungkan.  Akan tetapi luas kebun kelapa menurun sejalan berkembangnya industri kelapa sawit di akhir tahun 1998. Di beberapa sentra penghasil kelapa, ada ratusan ribu hektar kebun kelapa telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini memberikan tekanan pada komoditas kelapa rakyat.

Diperparah lagi dengan tingginya permintaan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng, membuat permintaan kelapa kopra sebagai bahan baku minyak kelapa makin berkurang. Bahkan pemakaian minyak goreng dari kelapa menjadi sangat asing di negaranya sendiri. Padahal minyak goreng yang paling bagus adalah minyak kelapa sebab tahan pemanasan dengan titik didihnya yang tinggi. Sebaliknya, jenis minyak goreng minyak sawit, minyak jagung, kedelai, dan yang lainnya memiliki titik didihnya rendah, ketika dipakai menjadi minyak goreng, akan berubah menjadi trans-fat, yang sudah jelas menyebabkan kanker. Oleh karena itu, minyak goreng yang beredar di pasaran selalu dilarang untuk digunakan berulang-ulang.

Kelapa memainkan peranan penting dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Disisi lain, kelapa juga merupakan kontributor penting bagi ketahanan pangan. Sementara itu di tingkat industri, produk kelapa memiliki nilai komersial yang tinggi serta merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, Pemerintah saat ini juga berupaya mendorong peningkatan produktivitas tanaman kelapa melalui penyediaan bibit yang berkualitas, peremajaan, perluasan dan intensifikasi. Program penanaman kelapa genjah 1 juta batang se-Indonesia yang dicanangkan oleh pemerintah selain bertujuan untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan ekonomi masyarakat, juga demi memperkuat sektor pertanian sebagai bantalan perekonomian menghadapi krisis pangan global dan resesi ekonomi. Program strategis ini merupakan implementasi dari komitmen pemerintah untuk berfokus pada pengembangan agribisnis kelapa di Indonesia.

Hambatan dan tantangan yang harus dihadapi oleh industri kelapa Indonesia

Artikel Sawit2

Sumber foto: https://www.instagram.com/p/sambugroup

Kelapa merupakan komoditas strategis yang terkait langsung dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun kelapa memiliki fungsi ekonomi, sosial maupun budaya yang tinggi di masyarakat Indonesia, namun beberapa permasalahan telah menjadi ancaman yang serius bagi keberlanjutan industri kelapa.

Pertama, Rendahnya produktivitas kelapa akibat umur tanaman kelapa yang sudah tua, belum menggunakan bibit unggul serta kurangnya pemahaman terkait

Kedua, adalah faktor harga yang tidak menentu. Turun naiknya harga kelapa telah berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada komoditas ini. Sebab, faktor hargalah yang sangat menentukan berapa penghasilan yang dapat dihasilkan oleh petani kelapa. Badai pandemi covid-19 dua tahun belakangan sempat membuat petani kelapa menjerit, sebab penyebarannya mampu memberikan tekanan baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Pada saat pandemic, harga buah kelapa maupun kopra mengalami penurunan yang sangat signifikan. Jika sebelumnya, harga kopra berkisar sekitar Rp4.500 per kilogram, saat pandemi covid – 19, harga kopra turun hingga Rp3.000 per kilogram. Sedangkan harga buah kelapa bulat/utuh lebih anjlok lagi, hingga hanya Rp1.000 per butir. Padahal biasanya bisa sampai Rp1.800 per butir. Harga jual kelapa tersebut sangat memprihatinkan karena sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh petani kelapa. Hal ini berdampak pada berkurangnya minat masyarakat dalam mengolah kelapa menjadi kopra akibat dari harga kopra yang tidak stabil bahkan cenderung menurun. Akibatnya masyarakat lebih memilih untuk menjual kelapa bulat yang tentu saja harganya menjadi lebih murah 

Ketiga, Pengelolaan usahatani kelapa masih bersifat tradisional tanpa dukungan teknologi yang memadai. Alasan yang paling mendasar adalah keterbatasan modal yang pada akhirnya menghasilkan produk dengan kualitas produk yang kurang baik. Belum lagi proses pengerjaannya yang banyak membutuhkan waktu dan tenaga. Seperti halnya dalam produksi kelapa kopra. Umumnya dalam proses pengeringan daging buah kelapa oleh petani masih dilakukan secara tradisional dengan menjemur daging buah kelapa di bawah sinar matahari atau dengan pengasapan. Proses pengeringan ini juga sangat bergantung pada kondisi cuaca. Kriteria kopra yang baik hanya boleh memiliki kadar air 6-7 persen, sebab kopra akan rentan terhadap serangan bakteri dan jamur. Hal ini yang kemudian menjadi masalah bagi petani, bagaimana mungkin mereka mampu meningkatkan produktivitas jikalau dalam produksi, 30 % diantaranya bahkan lebih malah tidak layak untuk dijual.

Keempat, adalah faktor ahli fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Proses alih fungsi lahan ini adalah bentuk pilihan rasional petani kelapa itu sendiri yang menganggap bahwa keuntungan berkebun sawit lebih besar. Hal ini didukung oleh tingginya permintaan kelapa sawit sebagai bahan baku mentah baik dari dalam maupun luar negeri dan menjadi alasan kuat bagi petani kelapa untuk beralih menjadi petani sawit, dengan harapan dapat mencapai kesejahteraan yang lebih baik. Kelapa sawit sendiri telah menjadi komoditas primadona di Indonesia sebagai penyumbang devisa terbesar pada sektor pertanian.

Kelima, adanya kebijakan yang mendukung perluasan perkebunan kelapa sawit yang membuat kelapa rakyat semakin tertekan.

Diversifikasi produk tanaman kelapa dalam upaya meningkatkan nilai tambah pada komoditas kelapa

Artikel Sawit4


Sumber foto : https://www.instagram.com/p/sambugroup

Sebagai Negara agraris, Indonesia berpotensi besar dalam mengembangkan produk-produk pertaniannya termasuk kelapa. Sebab, manfaat tanaman kelapa tidak saja terletak pada daging buahnya yang dapat diolah melainkan semua bagian pohon seperti akar, batang dan daun dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yang tentu saja memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Tanaman kelapa mampu berproduksi sebanyak 12.870 butir buah per ha setiap tahun. Kualitas pohon kepala sangat mempengaruhi banyaknya buah kelapa yang mampu dihasilkan. Buah kelapa tersebut mulai dipanen di tahun ke enam setelah periode tanam yang selanjutnya dapat dipanen setiap 3 bulan sekali. Terbatasnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat menyebabkan produksi produk turunan kelapa hanya diolah secara tradisional menjadi kopra.

Produksi kopra dilakukan setiap tiga bulan sekali bersamaan dengan waktu pemanenan kelapa

Artikel Sawit5

Sumber foto : https://www.instagram.com/p/sambugroup

Adapun proses pembuatan kopra ini membutuhkan tenaga kerja sebanyak tiga sampai empat orang per 1 hektar lahan kelapa. Kriteria buah kelapa yang diolah menjadi kopra adalah buah kelapa yang sudah tua.

Untuk menghasilkan 1 kg kopra dibutuhkan 4 buah kelapa. Biasanya petani dapat menghasilkan kopra sebanyak 3 ton per hektar setiap tahun. Waktu yang dibutuhkan petani dalam proses pembuatan kopra dari tahapan panen hingga menghasilkan produk kopra adalah 3- 4 hari.

Berikut langkah-langkah dalam pembuatan produk kopra diantaranya sebagai berikut :

Pertama, pengupasan sabut kelapa menggunakan alat pengupas yang ditanjapkan ketanah. Sabut kelapa yang telah dipisahkan dengan buahnya tidak langsung dibuang sebab akan dipergunakan sebagai bahan pengasapan kopra.

Kedua, pembelahan buah kelapa. Buah kelapa yang sudah dikupas kemudian di belah menjadi dua bagian menggunakan parang.

Ketiga, proses pengeringan kopra menjadi salah satu tahap penanganan pasca panen yang sangat berpengaruh terhadap mutu kopra. Proses pengeringan dilakukan secara tradisional dengan menjemur daging buah kelapa dibawah sinar matahari ataupun dengan metode pengasapan. Proses pengeringan yang dilakukan akan mempengaruhi kualitas kopra yang dihasilkan. Saat ini terdapat dua jenis kopra yang beredar dipasaran, yakni kopra putih dan kopra cokelat. Keduanya merupakan hasil dari metode pengeringan yang berbeda. Pengeringan dengan menggunakan mesin pengering akan menghasilkan kopra berwarna putih dengan kualitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan metode pengeringan dengan penjemuran dibawah sinar matahari atau dengan pengasapan. Kelapa kopra yang baik adalah yang memiliki kadar air 6 -7 %, jika kandungan air lebih tinggi akan menyebabkan kopra rentan terhadap serangan bakteri dan jamur.

Keempat, setelah proses pengeringan selesai dilanjutkan dengan tahapan pemisahan antara batok kelapa dan daging buah kelapa. Pelepasan daging buah kelapa dilakukan dengan hati-hati agar daging buah tidak hancur. Setelah daging buah terpisah dengan batok kelapanya, daging buah tersebut dipotong-potong.

Kelima, proses terakhir pengepakan kopra dalam karung, satu karung kopra berisi 70 hingga 75 kg kopra. Selanjutnya petani akan menjual produk kopra tersebut kepada pedagang dan pengepul.

Dalam penjualan kopra, petani hanya dapat memperoleh informasi terkait harga dan kuantitas pembelian dari pengepul atau tengkulak. Jika sudah terjadi kesepakatan harga petani akan mengangkut kopra dari tempat produksi ke tempat pedagang pengepul dengan sistem pembayaran cash.

Masalah yang dihadapi petani saat ini adalah petani tidak dapat menentukan harga kopra yang mereka inginkan karena harga kopra sudah ditentukan oleh pasar. Sehingga, dalam hal ini petani hanya berada pada posisi penerima harga (price taker) dan bukan sebagai penentu harga (price maker). Harga yang disepakati adalah harga sesuai pasar, yang kadang tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani akibat anjloknya harga kopra tersebut. Hal ini tentu saja berdampak pada rendahnya pendapatan yang diterima petani dikarenakan oleh daya tawar kopra yang berfluktuatif. Alhasil petani kopra tidak merasakan keuntungan dari produksi kopra yang mereka lakukan.

Sebenarnya kopra yang masuk dalam pasar global terdiri dua jenis yakni kopra cokelat dan kopra putih. Kopra cokelat dihasilkan melalui metode pengasapan. Sedangkan kopra putih dihasilkan menggunakan mesin pengering. Kopra putih memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari kualitas kopra asap karena kopra putih memiliki beberapa kelebihan yakni kadar airnya yang cukup rendah hingga 5% menjadikan kopra putih relatif bebas dari serangan cendawan. Kopra putih juga bebas dari aroma yang ditimbulkan dari proses pengasapan sehingga aroma asli kopranya jauh lebih dominan. Disamping itu, minyak kelapa yang dihasilkan dari kopra putih sangat jernih dengan kualitas yang sangat tinggi. Hal ini membuat kopra putih jauh lebih disukai oleh kalangan industri pengolahan kopra sehingga dari segi harga pun harga kopra putih lebih mahal jika dibandingkan dengan harga kopra asapan.

Pengembangan komoditi kopra harus diarahkan pada peningkatan produktivitas tanaman kelapa melalui penggunaan bibit unggul, pengembangan produk yang bernilai ekonomi dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan pasar, pemberdayaan koperasi/kelompok tani, serta dukungan dalam peningkatan kapasitas petani melalui pembinaan dan pelatihan dari lembaga atau instansi terkait. Harapannya adalah akan terjadi peningkatan pendapatan petani dan nilai tambah komoditi kopra.

Dilain pihak, kehadiran Industri pengolahan kelapa diharapkan dapat menciptakan nilai tambah bagi komoditas kelapa itu sendiri, melalui diversifikasi produk turunan kelapa. Sinergi yang dibangun diharapkan terjadi percepatan bagi pengembangan investasi dan industri kelapa dari hulu hingga hilir. Tujuannya tak lain adalah, selain untuk mendorong peningkatan produksi kelapa, juga mampu menggenjot ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat setempat serta penguatan ekonomi petani kelapa sebagai sumber penghidupan utama.

Sebab, lebih dari 90% kepemilikan kelapa di Indonesia merupakan petani kecil yang kondisinya jauh dari kata ‘sejahtera’. Bukan tidak mungkin apabila usahatani kelapa dikelola secara profesional akan dapat memberikan nilai tambah bagi petani serta mampu membantu meningkatkan taraf hidup petani, disamping juga mampu meningkatkan produktifitas kelapa.

Daya saing produk kelapa tak hanya terbatas pada penjualan buah utuh atau buah segar yang sebagaimana mayoritas petani kelapa Indonesia lakukan sejak dulu. Namun, kenyataannya berbagai produk turunan kelapa juga turut memberikan kontribusi nilai ekspor yang lebih besar jika dibandingkan dengan ekspor buah kelapa utuh. Dalam hal ini, Indonesia pun telah menjadi salah satu Negara yang mampu mengekspor berbagai olahan kelapa dengan negara tujuan ekspornya antara lain Amerika Serikat, Belanda, Korea Selatan, Tiongkok, Jepang, Singapura, Filipina, dan Malaysia. Adapun produk-produk turunan kelapa yang saat ini sudah masuk dalam lingkaran pasar global diantaranya adalah Copra, Dessicated coconut (DC), coconut milk (CM), coconut charcoal (CCL), actived carbon (AC), Brown Sugar (BS), coconut fiber, coco peat, nata de coco dan Virgin coconut oil (VCO).

Kebermanfaatan tanaman kelapa ternyata tidak hanya terbatas sebagai penunjang ekonomi masyarakat, namun juga memberi manfaat lain, antara lain sebagai penjaga ekosistem dengan kemampuannya dalam menyerap emisi karbon dan menyimpan karbon. Setiap jenis pohon memiliki kemampuan penyerapan karbon yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor morfologi tanaman itu sendiri seperti diameter batang, tinggi pohon, dan kerimbunan tajuk. Organ tumbuhan yang terdapat pada bagian batang mampu menyerap karbon dari udara 34% lebih tinggi daripada organ tumbuhan yang terdapat dibagian daun.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Satriani (2021) dalam penelitiannya yang berjudul “POTENSI DAN CADANGAN KARBON PADA VEGETASI TINGKAT POHON DI RUANG TERBUKA HIJAU BENTENG SOMBA OPU KECAMATAN BAROMBONG KABUPATEN GOWA”, menyebutkan bahwa 1 pohon kelapa dengan diameter batang sekitar 39 cm memiliki kemampuan dalam menyerap karbon dan menyimpan cadangan karbon sebesar 425,41 kg. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Zulkarnaen (2019) yang berjudul “STRUKTUR VEGETASI DAN SIMPANAN KARBON HUTAN RAKYAT DESA SAMBAK, MAGELANG, JAWA TENGAH”, menyatakan bahwa pohon kelapa memiliki kemampuan serapan karbon sekitar 6,77 ton C/ha per tahun.

Potensi simpanan karbon pada tanaman kelapa ini mengindikasikan bahwa keberadaan tanaman kelapa tidak hanya bermanfaat untuk menunjang ekonomi kerakyatan namun dapat berkontribusi dalam mitigasi global warming. Oleh karena itu, pengembangan kelapa perlu diintensifkan guna mengurangi dampak pemanasan global serta pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat.

Disamping berperan sebagai penyerap emisi karbon, pohon kelapa termasuk tanaman ramah lingkungan. Berbeda dengan tanaman sawit, kelapa tidak merusak lingkungan terutama wilayah gambut dan mampu hidup berdampingan dengan tanaman perkebunan lainnya. Tambahan lagi, akar tanaman kelapa mampu menahan tanah dari abrasi.

Secara umum, naik - turunnya produktivitas kelapa Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya disebabkan oleh sebagian besar merupakan perkebunan rakyat yang mana pengelolaannya masih konvensional dan minim teknologi pendukung. Faktor lainnya juga di pengaruhi oleh faktor cuaca dan teknik perawatan. Meski demikian, meningkatnya tren konsumsi kelapa beserta produk turunannya menggambarkan prosfek yang tinggi. Mengingat pangsa pasarnya yang tinggi dan besarnya potensi yang dimiliki oleh tanaman multi guna ini sudah barang tentu membuka peluang investasi yang menarik bagi para investor. Dengan pengelolan yang sistematis, terpadu dan berkelanjutan, bukan tidak mungkin beberapa tahun kedepan komoditas ini mampu menjadikan Indonesia  sebagai negara pengembang komoditas kelapa terbesar di dunia.

Strategi pengembangan agribisnis kelapa yang berkelanjutan dan berdaya saing tinggi

 Artikel Sawit6

Sumber foto : https://www.instagram.com/p/sambugroup

Pengembangan perkelapaan rakyat di masa mendatang akan mendapat tantangan yang cukup berat baik yang berkaitan dengan permintaan, teknologi, permodalan dan lain-lain. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat dalam upaya pengembangan agribisnis kelapa, diantaranya sebagai berikut :

Pertama, adanya program peningkatan kapasitas petani kelapa dapat dijadikan solusi alternatif dalam meningkatkan produksi kelapa baik dalam aspek proses pertanian maupun dalam manajemen produksi, guna membangkitkan potensi serta kompetensi petani kelapa ke arah peningkatan produktivitas dan efisiensi secara berkelanjutan dalam upaya menormalisasi roda ekonomi ke arah yang lebih baik lewat dua gagasan ideal yaitu survive dan sustainable.

Kedua, peningkatan produktivitas dan mutu hasil kelapa melalui pengembangan industri benih, penggunaan bibit unggul sebagai langkah rehabilitasi dan peremajaan tanaman kelapa, diversifikasi usaha tani maupun produk-produk turunannya, serta penguatan kelembagaan petani kelapa.

Ketiga, adanya dukungan sumber pembiayaan baik yang berasal dari bank maupun lembaga non bank.

Keempat, adanya dukungan sarana dan prasarana agribisnis perkelapaan berupa infrastruktur jalan, pelabuhan, transportasi, komunikasi dan energi, serta dukungan teknologi seperti mesin pengering kopra dan sebagainya.

Penerapan model bisnis sustainable social enterprise yang saat ini dikembangkan oleh PT Sambu Group dengan pola yang terintegrasi antar seluruh pemangku kepentingan guna membangun ekosistem kelapa yang berkelanjutan juga turut berkontribusi dalam penyelesaian kendala-kendala yang dihadapi oleh petani kelapa khususnya di Kabupaten Indragiri Hilir. Intinya adalah PT Sambu Group akan terus membantu semua kebutuhan petani, mulai dari proses penanaman hingga kebutuhan sosial dan infrastruktur di kawasan sekitar pabrik hingga penanganan produk kelapa pasca panen yang bertujuan untuk dapat menjaga ekosistem kelapa secara seimbang dan berkelanjutan. Sehingga langkah ini tidak hanya membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat melainkan mampu menjadikan Indonesia sebagai negara pengembang komoditas dan pengekspor kelapa tertinggi di dunia.