Kapolri Ini Ogah Beri Surat Sakti untuk Anaknya Ketika Hendak Daftar Akabri

Hoegeng3.jpg
(Kolase Perpunas dan YouTube Data Fakta/Gorontalo.Pikiran-Rakyat.com)

Laporan Indah Lestari  

RIAUONLINE, PEKANBARU - Mantan Kapolri, Jenderal Hoegeng Iman Santoso, memang dikenal akan kedisiplinan dan kejujurannya. Alih-alih menikmati fasilitas dinas dan kuasanya sebagai Kapolri kala itu, ia justru hidup sederhana dan menjaga nama baiknya, beserta keluarga. 

“Sebetulnya keinginan saya adalah menjadi fighter pilot pesawat tempur. Namun, saya gagal mendapatkan surat izin dari Papa,” tutur Didit mengenang sosok ayahnya, Hoegeng. 

Ini menjadi bukti bahwa Hoegeng begitu luar biasa dalam menjaga amanatnya. Tanpa penyelewengan jabatan sedikitpun. 

Hal yang sama juga diakui putri pertamanya, Reni Soerjanti Hoegeng. Saat berseragam, Hoegeng memandang rata semuanya. Masyarakat dan keluarga adalah sama. Tidak ada nepotisme atau katabelece. 


Reni sempat coba-coba minta bantuan Hoegeng untuk memperoleh surat bebas G30-S/PKI, sebelum masuk ITB sampai diketusi oleh ayahnya. "Kamu itu siapa?" tanya Hoegeng.

Hoegeng4

Jenderal (Purn) Hoegeng Imam Santoso (Kate.id via pinterpolitik.com)

Hoegeng lalu menyuruh Reni untuk antre seperti yang lainnya. Seperti orang biasa, tanpa mengikuti anak-anak pejabat lain. Bagi Hoegeng, saat bertugas ia bukanlah ayah, tetapi Kapolri.

Kepada istrinya, Meri, Hoegeng pernah mengatakan, tidak punya tidak apa-apa, asal tidak maling, tidak korupsi. Hal itu dikisahkan sang putra, Aditya Soetanto Hoegeng alias Didit, dalam buku Dunia Hoegeng, karya Farouk Arnaz.

Di sejumlah tulisan lainnya yang membahas sosok Hoegeng, mengungkapnya sebagai sosok yang kerap menolak fasilitas dinas, bahkan pemberian dari kerabatnya yang dianggap tak perlu atau tak jelas latar belakangnya. Sewaktu menjadi Kapolda Sumatera Utara, meski begitu menyukai musik, ia tak ragu mengeluarkan piano dari rumah dinasnya yang dianggap gratifikasi.

Selain menjunjung tinggi kejujuran, Hoegeng juga jauh sekali dari tindak represif, yang banyak menjadi persoalan polisi dari masa ke masa. Terlebih, ia yang menjabat di tahun 1968-1971, tak jauh berselang dari tahun ‘65, yang di sana sini terjadi kericuhan dan kekerasan. 

Tegas tetapi tetap humanis. Humoris bila tak sedang berseragam. Begitulah Indonesia mengenal Hoegeng.