Bangsa Deutero, Nenek Moyang dari Suku Melayu

Bangsa-Deutero-Melayu.jpg
(Kumparan)

Laporan: Indah Lestari

 

RIAUONLINE, PEKANBARU - Deutero atau kenal sebagai Melayu Muda merupakan istilah untuk populasi yang diperkirakan datang setelah kedatangan Bangsa Proto sebagai Melayu Tua.

Populasi Deutero datang pada Zaman Logam. Tepatnya pada 500 SM. Zaman logam disebut juga sebagai zaman perundagian, peralihan zaman batu ke zaman logam.

Zaman logam terbagi dua bagian yaitu, zaman perunggu dan besi. Manusianya di kala itu hidup menggunakan logam jenis perunggu dan besi untuk membuat segala perkakas yang dibutuhkan.

Penggunaan logam juga ditemukan pada artefak-artefak atau persenjataan, seperti nekara perunggu (moko), bejana, kapak corong, serta manik-manik.

Kebergantungan akan logam pada masa itu dibawa dari budaya Dongson, salah satu daerah di Vietnam Utara. Vietnam merupakan salah satu jalur yang dilalui Deutero, bangsa Austronesia yang datang dari Yunan, tepatnya China Selatan untuk sampai ke Indonesia

Dari Vietnam Utara, Deutero kemudian melalui semenanjung Melayu, berlanjut ke Sumatera, Jawa, dan kemudian mulai membaur dan menyebar ke wilayah-wilayah yang ada Indonesia.

Populasi Deutero yang telah tersebar di Indonesia, melahirkan keturunan-keturunan Deutero yang baru dan terus berpopulasi hingga saat ini. Atas dasar inilah Deutero, begitupun Proto, disebut sebagai nenek moyang dari bangsa Indonesia, yang dibagi ke dalam dua golongan berbeda. Proto adalah ras Melayu Tua, sedangkan Deutero adalah Melayu Muda.

Suku Melayu salah satunya. Suku Melayu menurut referensi yang beredar, ternyata merupakan salah satu bangsa Deutero. Selain Melayu, yang termasuk ke dalam bangsa ini adalah Aceh, Minangkabau, Bali, Betawi, Jawa, Makassar, Minahasa, Sunda, Bugis, dan Madura, serta beberapa lainnya, dari sumber referensi yang berbeda.

Peradaban Deutero dikenal jauh lebih maju ketimbang Proto. Hal ini membuat bangsa Melayu Muda unggul dalam banyak keterampilan. Beberapa di antaranya seperti bercocok tanam dan beternak.


Tak hanya itu, masyarakat Deutero yang juga sudah terpapar banyak ilmu pengetahuan, membuat mereka mampu memahami dan menguasai banyak hal pada masa itu. Seperti sistem astronomi yang menjadikan mereka cakap dalam berlayar, terampil membuat perahu, serta disebut-sebut sebagai pelaut handal.

Seperti halnya kisah Lancang Kuning. Lancang berarti melaju. Melaju di sini berkaitan dengan perahu sultan. Sedangkan kuning adalah warna khas Melayu yang melambangkan kedaulatan, harkat dan martabat. Biasanya identik dengan kerajaan atau kesultanan negeri Melayu.

Sejarah mencatat bahwa kapal komando Sultan Melayu tersebut setara dengan kapal induk perang. Pada masanya, kapal yang dikenal dengan Lancang Kuning itu pun tersebar di sejumlah daerah Melayu yang menguasai banyak wilayah perairan.

Mulai dari Riau, Palembang, Lingga, Langkat dan beberapa Kerajaan Melayu lainnya menggunakan lancang untuk berperang. Termasuk dalam menjelajah bentang lautan China hingga Selat Malaka. Maka jika ditelaah lagi, jejak pelaut bangsa Deutero memanglah mengagumkan.

Mari melihat suku Melayu dari sudut pandang Deutero, bangsa yang dinilai cukup revolusioner. Bangsa Deutero seringkali disandingkan dengan Homo Sapiens. Hal ini merujuk pada keterampilan berpikirnya.

Sedikit tambahan, Homo Sapiens adalah genus dari kera besar yang terdiri dari manusia modern dan kerabat dekatnya. Simpelnya peradaban sudah mulai maju di sini.

Secara kecerdasan dan kreativitas, Deutero memang kalah saing dengan bangsa Proto, yang meliputi suku Batak, Dayak, Toraja, Sasak, Nias dan Rejang, serta lainnya, yang mungkin dapat diketahui dari referensi lain. Namun, secara peradaban dan inovasi, Deutero tentu lebih unggul seiring perkembangan dan kemajuan zaman.

Hal itu dibuktikan dengan kebudayaan pengolahan logam mereka yang terkenal paling canggih di semenanjung Indo-China. Karya logam mereka juga merupakan yang terbaik pada masa itu.

Fakta yang menguatkan adalah penemuan karya Arca Perunggu yang berada di tanah Melayu, Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Membaca tapak tilas ini, bukan hal mengejutkan lagi kalau suku-suku di Indonesia berasal dari bangsa Melayu yang terbagi ke dalam kelompok Melayu tua dan muda.

Indonesia sebagai negara rumpun Melayu juga tidak lepas dari sejarah kemelayuan besar, yang dibawa Kesultanan Malaka.

Malaka sendiri menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, yang didominasi negara rumpun Melayu, dan menjadi salah satu pangkalan armada Ming.

Setelah berubah menjadi kesultanan, di bawah kekuasaannya, Malaka berhasil menaklukkan Pahang, Kedah, Trengganu, dan sejumlah daerah di Sumatera, yang menjadi pulau terluas di Indonesia.

Jadi, wajar saja rasanya selain tentang teori Proto dan Deutero sebagai nenek moyang Indonesia, Malaka juga memberi pemahaman bahwa memang Indonesia adalah Melayu itu sendiri. Didominasi orang-orang Melayu maupun keturunan Melayu.

Dapat disimpulkan bahwa Deutero adalah nenek moyang dari Suku Melayu, para arkeolog menyimpulkan bahwa tidak atau belum ada dasar arkeologis yang jelas. Begitu juga dengan perbedaannya, antara Melayu Proto dan Melayu Deutero, belum ada perkembangan literatur dan penemuan, sehingga teori ini secara resmi tidak lagi diakui penggunaannya.

Meski begitu, hal ini perlu dibaca dan dipelajari banyak orang, terutama kaum terdidik maupun masyarakat biasa di Indonesia. Setidaknya, pengetahuan ini bisa menjadi dasar pengenalan yang lebih dalam akan kesejarahan Melayu yang menjadi bagian besar dalam sejarah bangsa ini.