Jejak Kasus Korupsi Mantan Bupati Inhu dan Surya Darmadi di Riau

korupsi33.jpg
(pixabay)


RIAU ONLINE, PEKANBARU - Mantan Bupati Indragiri Hulu (Inhu), Raja Thamsir Rachman, ditetapkan sebagai tersangka korupsi lahan PT Duta Palma. Penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap Raja Thamsir Rachman ini juga menyeret Surya Darmadi selaku pemilik PT Duta Palma Group.

Raja Thamsir Rachman dan Surya Darmadi, bukanlah orang baru yang terjerat hukum, khususnya korupsi di Riau.

Surya Darmadi pernah menjadi pesakitan dalam kasus suap izin lahan yang menjerat Mantan Gubernur Riau, Annas Maamun. Sejumlah orang sudah masuk penjara dalam kasus ini, tapi Surya Darmadi tak kunjung ditahan.

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan Surya Darmadi bersama-sama Suheri Terta selaku Legal Manager PT Duta Palma Grup, menyuap Annas Maamun sebesar Rp 3 miliar. Suap itu terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Riau.

Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan Surya Darmadi sebagai buron. Pasalnya, pendiri perusahaan perkebunan terbesar di Riau itu tidak pernah memenuhi panggilan penyidik.

Sementara Raja Thamsir Rachman, saat ini masih dipenjara di Lapas Pekanbaru. Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2004 terjeret korupsi APBD bernilai Rp79 miliar.

Raja Thamsir Rachman dijebloskan ke penjara pada 12 Januari 2016, seperti dilansir dari Liputan6.com, Kamis, 4 Agustus 2022. Petugas Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu menjemput Raja Thamsir Rachman ke kediamannya di Pekanbaru karena tidak mengindahkan panggilan.

Ia dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus APBD tersebut. Kemudian, divonis 8 tahun penjara sebagaimana termaktub dalam amar putusan MA dengan Nomor: 336 K.PID.SUS/2014 tertanggal 10 Februari 2015.


Pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 2 bulan penjara juga dijatuhkan pada Raja Thamsir Rachman. Selain itu, dia juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 28.822.753.000.

Nama Thamsir terseret dalam kasus penilapan APBD tersebut setelah menyalahgunakan uang kas daerah sejak 2005 sampai 2008 sebesar Rp79 miliar. Perkara ini ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Riau.

Thamsir pertama kali disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru pada tahun 2012 dan divonis bersalah.

Perkara ini bergulir ke Pengadilan Tinggi Riau karena jaksa dan Thamsir mengajukan banding. Upaya Thamsir ini akhirnya kandas, begitu juga saat kasasi di Mahkamah Agung karena vonisnya sama.

Sedangkan pada kasus lahan yang kin tengah ditangani Kejagung, Thamsir dan Surya Darmadi melakukan kesepakatan jahat pada 2003. Ketika itu Surya Darmadi selaku pemilik PT Duta Palma Group membuat kesepakatan dengan Thamsir terkait pembangunan kebun.

Perusahaan yang dibawa Surya Darmadi adalah PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, PT Seberida Subur, PT Palma Satu dan PT Kencana Amal Tani.

Keduanya sepakat untuk mempermudah dan memuluskan perizinan kegiatan usaha budidaya perkebunan kelapa sawit, juga usaha pengolahan kelapa sawit maupun persyaratan penerbitan HGU di Indragiri Hulu.

Lahan itu ternyata berada di kawasan hutan, baik Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Penggunaan Lainnya (HPL) di Kabupaten Indragiri Hulu.

Modusnya, dengan membuat kelengkapan perizinan untuk lokasi dan izin usaha perkebunan secara melawan hukum tanpa didahului dengan adanya Izin Prinsip, AMDAL, dengan tujuan untuk memperoleh Izin Pelepasan Kawasan Hutan dan HGU.

Selain itu, PT Duta Palma Group sampai dengan saat ini tidak memiliki izin pelepasan Kawasan Hutan dan HGU. Perusahaan juga tidak pernah memenuhi kewajiban hukum untuk menyediakan Pola Kemitraan sebesar 20 persen dari total luas area kebun yang dikelola, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007.

Kegiatan perkebunan yang dilakukan oleh PT Duta Palma Group tersebut mengakibatkan kerugian perekonomian negara yakni hilangnya hak-hak masyarakat Kabupaten Indragiri Hulu yang sebelumnya telah memperoleh manfaat dari hasil hutan untuk meningkatkan perekonomiannya, serta rusaknya ekosistem hutan.

Menurut penyidik, perusahaan ini mengelola lahan secara ilegal seluas 37.095 hektare. Keduanya telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp78 triliun.