Laporan: Dwi Fatimah
RIAUONLINE, PEKANBARU - Kabar duka datang dari tokoh Muhammadiyah. Buya Syafii Maarif dikabarkan meninggal dunia pada Jumat, 27 Mei 2022 pukul 10.15 di Sleman, Yogyakarta.
Buya Syafii sempat dirawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah pada Sabtu, 11 April lalu karena sesak napas yang dialaminya.
Meninggalnya Buya Syafii, sapaan akrab Ahmad Syafii Maarif, menyisakan duka mendalam, tidak hanya bagi warga Muhammadiyah, tapi juga bangsa Indonesia dan umat Islam pada umumnya. Semasa hidup pemikirannya banyak mewarnai dunia Islam dan kebangsaan Indonesia.
Buya Syafii Maarif lahir di Sumpur Kudus, Sawahlunto, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935. Ia menempuh pendidikan dasarnya di sekolah rakyat di Sumpur, Kudus, dan kemudian melanjutkan ke Madrasah Muallimin di Balai Tangah, Lintau, Sumatera Barat.
Buya Syafii Maarif kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Yogyakarta. Setelah lulus, Buya Syafii Maarif diharuskan mengabdi di pendidikan yang dikelola organisasi Muhammadiyah dan dikirim ke Lombok selama setahun.
Setelah menyelesaikan masa pengabdiannya, Buya Syafii Maarif melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Surakarta. Namun, karena adanya pemberontakan PRRI/Permesta yang mengakibatkan terputusnya hubungan Sumatera-Jawa, Buya Syafii Maarif tidak bisa lagi mendapatkan bantuan biaya kuliah dari saudaranya yang berada di Sumatera.
Buya Syafii Maarif pun terpaksa harus berhenti kuliah. Kala itu, Buya Syafii Maarif menjadi guru desa di wilayah Kecamatan Baturetno, Wonogiri, Jawa tengah dan kemudian melanjutkan kuliahnya di Jurusan Sejarah Universitas Cokroaminoto dan berhasil meraih gelar Sarjana Muda pada 1964.
Bungsu dari 4 bersaudara ini pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah (1998-2005), Pemimpin Redaksi majalah Suara Muhammadiyah Yogyakarta (1988-1990), Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP), dan pendiri Maarif Institute.
Sosok Buya Syafii Maarif pun tidak luput dari kontroversi. Dilansir dari Herald.id, Adian Husaini seorang cendikiawan Muslim mengkategorikan, Buya Syafii Maarif sebagai tokoh Muhammadiyah pendukung gagasan Islam Liberal (neomodernisme) yang diusung oleh Fazlur Rahman. Adian mencatat, bahwa Buya Syafii Maarif memuji Fazlur Rahman setinggi-tingginya.
Ia juga mencatat pernyataan Buya Syafii Maarif pada 2001 yang menolak kembalinya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi. Zuly Qodir mencatat Buya Syafii Maarif dan Hasyim Muzadi menolak pemberlakuan syariat Islam secara formal di Indonesia.
Muhamad Afif Bahaf menuliskan bahwa gerakan Islam Liberal tumbuh subur di Muhammadiyah semasa dipimpin Buya Syafii Maarif. Hal ini ditandai dengan berdirinya tiga komunitas intelektual yaitu Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Maarif Institute, dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Pada November 2016, Buya Syafii membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama. Pandangannya ini melawan pendapat mayoritas tokoh Islam lainnya termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan bahwa Ahok melakukan penistaan agama islam dan para ulama.
Kemudian pada November 2019, Buya Syafrii Maarif juga pernah mengomentari usulan Menteri Agama Fachrul Razi soal larangan penggunaan cadar yang berujung kontroversi.
Menurut Buya harus secara hati-hati menilai tentang penggunaan cadar dan celana cingkrang di Indonesia. Buya mengatakan, cadar dan celana cingkrang adalah simbol dari sebuah paham tertentu. Buya Syafii menyarankan agar masyarakat memakai pakaian yang nasional saja. Menurut Buya Syafii Indonesia memiliki kultur dan tradisi sendiri dalam berpakaian.