Suku Sakai Beri Denda Adat Berupa Kain Putih dan Setepak Sirih ke Jikalahari

masyarakat-adat-sakai.jpg
(istimewa)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Masyarakat adat Suku Sakai Bathin Sobanga memberikan sanksi denda adat berupa satu tepak sirih senilai satu emas serta kain putih panjang kepada pelanggar adat LSM lingkungan hidup di Riau, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari).

Pucuk Adat Suku Sakai Bathin Sobanga, Datuk Muhammad Nasir Iyo Banso, menjelaskan makna dari denda sanksi adat diterima Jikalahari tersebut.

"Maknanya, kain kafan itu lambang bersih putih dan tepak sirih artinya satu emas yang diberikan kepada kami. Ini bentuk pengakuan salah dari mereka dan kemudian kita makan bersama-sama untuk mencari jalan keluar dengan diskusi," ungkap Datuk Muhammad Nasir Iyo Banso, Senin (18/4/2022).

Suku Sakai Bathin Sobanga memberikan sanksi denda adat kepada Jikalahari dipicu sebuah tulisan yang diunggah di untukkampung.org diberi judul "Yatim Mati Meninggalkan Adat". Tulisan ini dipublikasi menyambut HUT Ke-20 Jikalahari, belum lama ini.


Kemudian, usai diprotes oleh Suku Sakai Bathin Sobanga tulisan itu sudah tak ada lagi dan diganti judulnya menjadi "Yatim Pergi Meninggalkan Hutan Adat".

Tak hanya itu, anak kemenakan Suku Sakai Bathin Sobanga juga tersinggung dengan cara-cara dilakukan Jikalahari dalam mendapatkan data serta kesalahan-kesalahan mengenai Presiden Sakai, almarhum Batin Muhammad Yatim. Ia merupakan bathin adat sebelum Muhammad Nasir.

"Bahasa di tulisan itu yang perlu diluruskan. Memang tujuannya mengangkat nama dan harkat Suku Sakai, tapi ada bahasanya tak tepat di tulisan itu," ungkap Nasir.

Menurut Bathin Sobanga ini, menggunakan peribahasa "harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan belalai" untuk alm Bathin M Yatim, sangat tidak pantas dirasakan oleh anak kemenakan.

"Nah mereka buat, alm Bathin M Yatim mati meninggalkan hutan. Ini sebenarnya tak pantas, karena beliau punya gelar. Jangan disamakan dengan binatang, kami tak mau itu," tuturnya.

Ia menyayangkan pihak LSM pegiat lingkungan itu tak berkoordinasi dalam meletakkan bahasa yang tepat untuk tokoh Sakai.

"Ini yang harusnya dikoordinasikan. Bahasa 'mati' ini ditukar dengan baik seperti 'berpulang' kan bisa. Koordinasikan dulu. Itu saja sebenarnya. Sebenarnya Suku Sakai itu sudah banyak yang marah, karena beliau ini Presiden Sakai," jelas Nasir.