RIAU ONLINE, PEKANBARU – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyoroti pencabutan laporan dari orang tua AS, anak korban kekerasan seksual.
Apalagi, setelah pencabutan laporan tersebut, penahanan terhadap tersangka AR langsung ditangguhkan dan hanya dikenakan wajib lapor dua kali seminggu.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, mengatakan kejadian pencabutan laporan korban di Pekanbaru ini tentu melukai rasa keadilan publik yang melihat secara awam.
Selain itu, publik juga menduga bahwa keluarga pelaku yang merupakan anggota DPRD, menggunakan pengaruhnya menekan korban untuk berdamai dan pada ujungnya menangguhkan penahanan pelaku.
"Polisi tidak bisa menghentikan proses penyidikan dengan bersandar adanya persetujuan perdamaian antara korban dan keluarganya dengan pelaku, mengingat perkosaan adalah delik biasa. Jadi, meskipun korban atau pelapor telah mencabut laporannya, kepolisian tetap berkewajiban memproses perkara tersebut," ujar Edwin dalam keterangannya, Kamis, 6 Januari 2022.
Edwin juga menambahkan, pihak-pihak yang memfasilitasi proses perdamaian dan kemudian berujung penangguhan penahanan terhadap pelaku, perlu dilakukan pemeriksaan, apakah langkah mereka benar-benar menerapkan prosedur atau diduga terjadi pelanggaran.
Jika perdamaian tersebut dimaknakan sebagai upaya restorative justice, lanjut Edwin, dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, memiliki prinsip pembatasan.
Misalnya, syarat formil salah satunya adalah bahwa semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia.
"Pemerkosaan ini korbannya manusia. Jika benar dilakukan langkah-langkah untuk mendamaikan, tindakan tersebut telah melanggar Surat Edaran Kapolri dimaksud," terangnya.
Dalam situasi dimana penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang menimbulkan kontroversi, semakin menguatkan pentingnya UU Penghapuan Kekerasan Seksual.
Bahkan, Presiden Joko Widodo juga telah memberikan pesan kuat agar segera dilakukan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Edwin dengan tegas mengatakan mendukung niat Kapolri untuk membentuk Direktorat Layanan Perempuan dan Anak di Bareskrim Polri, agar anggota kepolisian memiliki fokus penanganan perkara dan mendapatkan arahan kebijakan dan supervsisi yang tepat.
Dalam tiga tahun terakhir, catatan LPSK menunjukkan perlindungan dalam perkara-perkara kekerasan seksual cenderung mengalami peningkatan. Pada 2019 terdapat 359 pemohon, 2020 terdapat 245 pemohon, dan di tahun 2021 terdapat 482 Pemohon.
"Kecenderungan naiknya permohonan perlindungan pada perkara kekerasan seksual, hendaknya menjadi perhatian dan keprihatian bersama," pungkasnya.
Selain angkanya yang tinggi dengan berbagai modus, perbuatan ini juga terjadi di ruang-ruang yang minim pengawasan. Misalnya, lingkup keluarga, tempat pendidikan dan ibadah.