Mustiqowati Ummul Fithiyyah: UU TPKS Meminimalisir Munculnya Predator Seksual

Mustiqowati-Ummul-Fithiyyah2.jpg
(dok pribadi)

Laporan: BAGUS PRIBADI

RIAUONLINE, PEKANBARU- Panitia Kerja (Panja) RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sedang mengupayakan persetujuan draf RUU TPKS dalam rapat paripurna DPR RI pada 15 Desember 2021 mendatang.

Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UIN Suska Riau, Mustiqowati Ummul Fithiyyah, mengatakan kehadiran RUU TPKS ini sangat penting.

Pasalnya, regulasi tersebut dapat meminimalisir maraknya predator seksual.

"Meskipun saya kecewa karena RUU PKS yang sudah diusulkan sejak 2016 ternyata sampai 2021 mendapatkan banyak penolakan dan sekarang ada RUU TPKS," terangnya kepada riauonline.co.id, Sabtu, 4 Desember 2021.

 

Ia menuturkan kekecewaannya berdasarkan dalam RUU PKS sebelumnya ada sembilan jenis bentuk kekerasan seksual yang dijabarkan. Sedangkan RUU TPKS hanya ada empat jenis.

"Keempat itu hanya menjelaskan pelecehan seksual, pemaksaan kontrasepsi seksual, pemaksaan hubungan seksual, dan pemaksaan eksploitasi seksual," jelas Mustiqowati.

Namun ia mengaku tetap menginginkan pengesahan RUU TPKS karena itu juga bentuk dari perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Mustiqowati sangat berharap dan mendesak pengesahan RUU TPKS menjadi UU.

"Setidaknya ada UU yang bisa jadi payung hukum tempat berlindung korban kekerasan seksual, daripada tidak sama sekali," ujarnya.

Terkait perbandingannya, ia menjelaskan dalam RUU PKS juga ada sekitar 100 pasal, sedangkan RUU TPKS hanya ada sekitar 40 pasal.

"Kalau kita dengarkan penjelasan mereka yang bentuk, mereka hanya mengharmonisasi agar RUU TPKS tak tumpang tindih dengan aturan lain. Itu alasan mereka. Regulasi yang ditinjau itu macam-macam, ada tentang transaksi elektronik, perkawinan, pornografi, pemberantasan perdagangan orang, penghapusan KDRT, dan lainnya," terangnya.

"Tapi sekali lagi ya saya kecewa karena bagi kami, berharapnya RUU PKS yang disahkan jadi UU. Karena begitu banyak tindak kekerasan seksual tak hanya secara langsung melainkan juga online. Ini sangat memprihatinkan," timpalnya.


Tak sampai di situ, Mustiqowati menceritakan selama ia menjadi Kepala PSGA di UIN Suska Riau, dan mengajak akademisi berdiskusi mengenai hal yang diperjuangkannya kebanyakan selalu ditanggapi dengan negatif. Banyak akademisi di UIN Suska Riau, tuturnya, berdalih bahwa regulasi yang dijelaskannya itu bentuk dari melegalisasi perzinahan hingga menjauhi nilai-nilai keagamaan.

"Mereka yang tak setuju memutarbalikkan semangat awal RUU ini. Dengan dalih kehilangan norma agama, norma masyarakat lah. Ini butuh perjuangan panjang bagi kami yang mendorong pengesahan RUU, dan itu tidak mudah," terangnya.

"Jangankan di luar akademisi, yang di akademisi saja sulit sekali saya menjumpai orang yang setuju dengan penjelasan saya mengenai regulasi perlindungan. Sangat memprihatinkan," lanjut Mustiqowati.

Sebab itu pihaknya berencana melakukan diskusi, agar pelan-pelan memberikan sosialisasi yang komprehensif di lingkungan kampus. Tujuannya, jelas Mustiqowati, supaya jajaran kampus paham makna sesungguhnya secara substansi, misalnya Permendikbud no 30 tahun 2021 untuk konteks kampus dan RUU TPKS secara luas.

 

 

 

 

"Semangat awalnya kan bagaimana menciptakan keadilan untuk seluruh masyarakat termasuk korban kekerasan seksual," tegasnya.

"Sebagai perempuan dan muslimah, saya yakin, Allah menciptakan manusia karena tak ingin satu pun umatnya mendapat perlakuan tidak adil. Maka kalau menyudutkan perempusn ketika terjadi pelecehan, itu harus diberikan pemahaman ulang bagaimana kita kembali kepada nilai yang diajarkan Tuhan," tutupnya.