Rumah Tenun Wan Fitri, Dikenakan Presiden Habibie, SBY hingga Jokowi

Jokowi-Diberi-Gelar-Adat-Kehormatan.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)

Laporan: DWI FATIMAH 

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Perempuan berjilbab mengenakan pakaian hitam dengan cekatan memasukkan benang warna kuning keemas-emasan sambil menggoyang-goyangkan kakinya di mesin tenun.

Perlu ketelitian, dan kesabaran memasukkan benang-benang tersebut hingga membentuk sehelai kain dengan corak berciri khas warna terang, kuning keemas-emasan, merah dan hijau.

Tak aneh jika kain songket Melayu Riau dihasilkan Rumah Tenun Wan Fitri dipakai dan disukai Presiden Indonesia saat lakukan kunjungan kerja dengan mengenakan baju adat ke Bumi Lancang Kuning.

Presiden SBY

Sebut saja mulai dari Presiden BJ Habibie, Susilo Bambang Yudhoyono dan Almh Ibu Ani, hingga Presiden Joko Widodo, pernah memakai hasil karya rumah tenun ini.

"Ada rasa bangga saat dipercayai menjahitkan baju untuk orang besar di negeri ini. Presiden Bapak Soesilo Bambang Yoedoyono, Presiden Jokowi, juga pernah memakai kain tenun dari kita. Bapak Sandiaga Uno juga pernah berkunjung," kata Wan Fitri kepada RIAUONLINE.CO.ID, belum lama ini.

Sejarah awal kain tenun songket berawal dari Kesultanan Siak, dulunya memang memakai tenun. Kemudian kerajaan mempekerjakan orang dari luar kerajaan untuk menenun kain akan digunakan Sultan Siak pada zaman dahulu.

Untuk motif tertentu dan warna kain tertentu hanya orang kerajaan saja boleh menggunakan. Namun sekarang, siapa saja sudah bisa menggunakannya terlebih jika ada acara adat atau acara pemberian gelar tertentu pada pejabat. 

BJ Habibue

Wan Fitri, anak dari pemilik Rumah Tenun Wan Fitri, Hj Mursidah, bercerita awal mula berdirinya Rumah Tenun Wan Fitri ini. Usaha saat ini dikelola kakaknya, Wan Wirdayanti, merupakan usaha turun-temurun keluarga sejak tahun 1969 silam. Keluarga ini memutuskan merantau ke Pekanbaru dari Desa Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, dengan membuka usaha rumah tenun.

Dari rumah sederhana terletak di pinggiran Sungai Siak, Hj Mursidah mulai merintis usaha tenun songketnya. Kemudian pada 1978, keluarga Mursidah pindah ke sebuah rumah kini jadi Rumah tenun Wan Fitri, terletak di Jalan Kayu Manis.



Rumah Tenun Wan Fitri terdiri dari tiga tingkat terletak di Jalan Kayu Manis No 44 atau Jalan Subrantas Lama, Tampan, Payung Sekaki, Pekanbaru.

Di lantai dasar merupakan tempat pembuatan kain tenun dengan menggunakan Alat Tenun Mesin Manual (ATBM) terbuat dari kayu. Di lantai dua terdapat gerai atau gallery berbagai produk kain songket, pakaian dan suvenir khas Riau yang bisa dibeli. Di lantai tiga digunakan untuk tempat tinggal keluarga.

Proses pengerjaan satu kain songket juga cukup memakan waktu. Uuntuk satu helai kain songket membutuhkan waktu sekitar empat hingga tujuh hari.

Proses pembuatan kain tenun songket juga terbilang sulit, pertama perajin harus menghani atau membuat helaian benang untuk dijadikan lungsi pada alat dinamakan hani.

Kemudian perajin memasang benang lungsi pada alat tenun, memasukan benang lungsi ke mata gun sesuai dengan corak dibuat. Proses selanjutnya, memasukan benang lungsi ke sisir sesuai dengan corak tenun, lalu mengikat benang lungsi pada bum kain, dan benang ditenun satu per satu hingga menjadi sebuah kain.

Dengan proses lama dan sulit ini, tak aneh jika kain tenun songket karya Rumah Tenun Wan Fitri ini dibanderol harga cukup mahal. Mulai dari Rp 400 ribu hingga Rp 2,5 juta.

Rumah Tenun Wan Fitri

Namun, bagi yang ingin kain tenun mesin, Rumah Tenun Wan Fitri juga menjualnya dengan harga jauh lebih murah dibandingkan menggunakan mesin.

"Kunci itu semua, adalah menjaga kualitas. Dimulai dari pemilihan bahan benang, corak dan warna, menjadi syarat harus dipenuhi. Biasanya benang digunakan berasal dari India, Singapura serta Jawa," kata Hj Mursyidah, ibu Wan Fitri, saat dampingi anaknya berbincang-bincang.

Rumah Tenun Wan Fitri memiliki beberapa motif, antara lain motif sikukeluang, siku awan dan pucuk rebung dan juga motif penuh.

Motif siku keluang memiliki arti kepribadian sikap tanggung jawab. Motif siku awan memiliki arti sopan santun, budi pekerti dan kelembutan menjadi asas utama. Motif pucuk rebung memiliki arti melambangkan suatu kekuatan yang muncul dari dalam.

Sekarang ini, para perajin yang bekerja di Rumah Tenun Wan Fitri mencapai 20 orang. Sayangnya, mereka kebanyakan berasal dari Sumatera Utara, bukan dari Riau. Untuk mengajari satu orang pekerja, tutur Mursyidah, bisa memakan waktu hingga satu bulan.

Dengan pencapaian tersebut, Rumah Tenun Wan Fitri ini tak aneh jika mendapat banyak penghargaan dan turut dalam beberapa pameran hingga sampai ke Belanda.

“Beberapa penghargaan sudah banyak kita dapat. Beberapa pameran juga pernah kita ikuti hingga luar negeri, seperti di Belanda. Saat di Belanda, ada iven bunga.

Rumah Tenun Wan Fitri

Dari Indonesia yang diundang ke Belanda itu dari beberapa kota, satu di antaranya kita dari Pekanbaru. Selama 10 hari di sana, Saya menenun. Antusias warga Belanda juga baik,” cerita Hj Mursidah.

Kurang lengkap, jika para wisatawan datang ke Pekanbaru, tak mengunjungi Rumah Tenun Wan Fitri, serta membeli oleh-oleh kain tenun songket. Biasanya para pelanggan membeli dengan cara datang langsung ke galeri atau sistem antre jika pesanan sedang banyak.

“Biasanya pembeli datang sendiri atau sistem ngantre dulu, kalau antre bisa sampai dua bulan dan mereka mau menunggu. Kita tak jualan online, hanya di galeri atau via WhatsApp saja,” ungkap Fitri.

Komitmen Mursidah mempertahankan kain tenun songket harus diacungi jempol. Terlebih hanya sedikit anak muda mau menekuninya. Terlebih banyak sekali saat ini kain dengan motif beragam.

“Untuk melestarikan budaya kita, kalau bukan kita siapa lagi. Kita harus peduli, harus kita lestarikan dan diturunkan ke anak anak kita. Apa lagi anak anak sekarang tidak mau tau tentang budaya kan, sedangkan dulu orangtua kita pencariannya itu yang diutamakan. Harus kita yang menjaga budaya kita, motif kita, sejarah kita. Kalau bukan kita, siapa lagi,” pungkas Mursyidah.