Oknum Jaksa Minta Uang dari Rp 15 Juta hingga Rp 60 Juta ke Kepsek di Inhu

Mia-Amiati.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/AULIA RONI TUAH)

Laporan: AULIA RONI TUAH

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Ada tiga kali pemberian uang dengan jumlah beragam oleh 58 Kepala SMPN di Indragiri Hulu (Inhu), Riau, terhadap oknum jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Rengat, Riau.

Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Persatuan Guru Republik Indonesia (LKBH PGRI) Riau, Taufik Tanjung, mengatakan, tiga kali permintaan uang tersebut dan itu dipenuhi para Kepsek. 

Ia menjelaskan, permintaan pertama dilakukan oleh oknum jaksa di Kejari Rengat tahun 2019 silam dan dipenuhi oleh para kepsek. 

"Permintaan pertama, oknum jaksa minta Rp 65 juta. Ini dipenuhi oleh 9 Kepsek. Tanya ke Pak Eka," kata Taufik Tanjung di kantor Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru usai persidangan. 

Kepala Kejaksaan Tinggi Riau

Tak hanya sekali, tutur Taufik, dua permintaan lainnya dilakukan. Permintaan kedua pada 29 April 2020 silam. Kali ini, jelasnya, oknum jaksa meminta jumlah sama dengan permintaan pertama kali, Rp 65 juta.

"Namun, kemudian negosiasi, akhirnya disepakati dibayar Rp 35 juta oleh 6 Kepsek. Jaksa tersebut menunjuk satu koordinator namanya Pak Raja," ungkap Taufik Tanjung blak-blakan. 

Tak cukup dua kali, jelasnya, oknum jaksa juga meminta untuk ketigakalinya dua pekan kemudian, awal Mei 2020. Kali ketiga ini, jelasnya, diminta Rp 35 juta ke para kepsek. 

Lagi-lagi, para kepsek tersebut tak punya uang. Akhirnya disepakati masing-masing Kepsek menyetor Rp 15 juta sebanyak 43 Kepsek. 

"Kasihan para kepsek tersebut. Mereka diminta uang. Mereka jual apa yang bisa dijual, Ada jual rumah, mobil, jual aset lainnya serta pinjam ke koperasi sekolah," jelas Taufik.

Pada permintaan ketiga ini, ujarnya, oknum jaksa sempat mengatakan, akan menanyakan terlebih dahulu jumlah nominal disanggupi para Kepsek ke Kepala Kejari (Kajari) Rengat.



Ketika itu, ia beralasan, Kajari sedang balik kampung ke Jawa, orangtuanya sedang sakit. Tak cukup itu saja, jelas Taufik, oknum jaksa juga menakut-nakuti para kepsek yang dipanggil dengan mengatakan, tengok ini, saat saya dinas di Lampung, saya penjarakan guru.

"Secara pribadi saja, saya sendiri akan keder, apalagi kepsek," jelas Taufik. 

Saat ditanyakan, siapa oknum jaksa yang meminta uang ke para Kepsek, Taufik menyebutkan nama berinisial R. 
Saat dikroscek kembali ke Kejari Rengat, memang benar ada oknum berinisial R tersebut. 

"Uang sampai ke oknum jaksa tersebut. Kita tanyakan lagi ke kawan-kawan jaksa, mereka akui ada nama oknum tersebut," ujarnya. 

Taufik mengakui, mana ada penyerahan uang diduga pemerasan oknum jaksa ke para Kepsek itu disertai barang bukti atau kwitansi. Jika itu ada, terlalu bodoh dan berani sekali jaksa tersebut. 

Termasuk, terungkapnya kasus ini ke publik bukan bagian dari pengalihan isu seperti dituding Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau, Mia Amiati, awal pekan ini, di dalam konferensi pers. 

"Seharusnya, Bu Kajati bisa menyejukkan masyarakat. Jika ada jaksa memeras, berarti melanggar kode etik. Ini tidak ada pengalihan isu, ini sejak 2016. Tidak ada unsur politik. Mereka (Kepsek) mundur karena tak tahan lagi," katanya. 

Awal pekan ini, Senin (20/7/2020), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau sudah memeriksa 8 orang dari Inhu. Perinciannya, 7 kepsek, 1 bendahara. Bendahara inilah kemudian ditunjuk sebagai koordinator. Sebelumnya, Eka Satria didaulat menjadi koordinator.

Taufik Tanjung

 TAUFIK Tanjung, Ketua LKBH PGRI Riau

Sebanyak 64 Kepala SMPN di Inhu, secara serentak menyatakan mundur dari jabatannya dan meminta jadi guru biasa. Mereka tidak tahan diperas dan dimintai uang oleh oknum-oknum LSM serta jaksa. 

Para Kepsek juga ditanya-tanya dan dicari-cari kesalahan dalam pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). 

Sementara itu, hari ini, Kajati Riau, Mia Amiati dalam konferensi pers mengatakan, Kejati sudah memeriksa 6 orang dari Kejaksaan, 9 orang dari non-kejaksaan. 

Hasil klarifikasi dilakukan, jelas Kajati, ada informasi mengatakan, ada beberapa oknum jaksa meminta sejumlah uang, tapi uang tersebut bukan diterima oleh orang yang meminta. 

"Untuk itu, ini yang kami sedang selidiki. Kami sudah menerbitkan surat perintah inspeksi kasus. Ini sama dengan tahapan dik dalam penyelidikan perkara. Ini akan menentukan, apakah bersangkutan dihukum atau klrafikasi belum ada temuan," katanya. 

Mia mengatakan, tidak ada bukti satu lembar pun, dan ini melemahkan proses penyelidikan. Namun demikian, kami tidak surut melangkah, ini terus dibuktikan. 

Intinya, jelas Kajati, ia telah menerima informasi, dan tidak mungkin menutup-tutupi ada oknum. 

"Namun harus kami dalami, kami tidak bisa mengatakan si A, si B, si C. Karena tidak ada bukti awal secara komprehensif bisa kami kemukakan. Namun, yang jelas akan kita tindak dan sudah diawali dengan menerbitkan surat perintah inspeksi kasus. Jadi itu sudah paling parah, inspeksi kasus itu karena adanya kasus mesti diatasi," pungkasnya.