INILAH terowongan sepanjang 20 meter membelah perut Bukit Barisan dibangun rel kereta api dibangun 80 ribu romusha di masa Pendudukan Jepang, 1942-1945, di Kota Kombu, Lubuk Ambacang, Hulu Kuantan, Kuansing, Riau.
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)
Laporan: ROBI SUSANTO
RIAU ONLINE, TELUK KUANTAN - Perlahan-lahan, bukti-bukti sejarah kelam pembangunan rel kereta api (death railway) dengan korban 80 ribu romusha tewas terbentang ribuan kilometer dari sisi Barat Sumatera, mulai Muaro, Sijunjung, Sumatera Barat menuju sisi Timur Sumatera, Pekanbaru, Riau, mulai terkuak.
Teranyar, ditemukannya dua terowongan serta pertemuan rel kereta api di dibangun selama pendudukan Jepang, 1942-1945, guna menghadapi Perang Dunia II di Sungai Ngeawan, Desa Koto Kombu, Kenegerian Lubuk Ambacang, Kecamatan Hulu Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing).
Kedua terowongan tersebut panjangnya lebih dari 100 meter membelah perut deretan Bukit Barisan serta satu lagi 20 meter, kini hanya tinggal lubang saja.
INILAH terowongan sepanjang 20 meter membelah perut Bukit Barisan dibangun rel kereta api dibangun 80 ribu romusha di masa Pendudukan Jepang, 1942-1945, di Kota Kombu, Lubuk Ambacang, Hulu Kuantan, Kuansing, Riau.
Kedua bukti sejarah tersebut, dua terowongan dan pertemuan rel kereta api Muaro-Pekanbaru, ditemukan berdasarkan studi literatur oleh peneliti kereta api dari Selandia Baru (New Zealand), Jammie Vincent Farrel.
Pegiat wisata sejarah Riau, Osvian Putra, mengatakan, Senin, 14 Oktober 2019, sebelum mengunjungi kembali terowongan dan pertemuan dua rel sisi barat dan timur Sumatera tersebut, sudah dilakukan survei terlebih dahulu tiga bulan silam.
"Lokasi dua terowongan rel kereta api tersebut berada di bekas lokasi kamp di Kota Kombu, Lubuk Ambacang, Kuantan Singingi. kami menyusuri tepian sungai hingga kembali bertemu bekas terowongan kereta api yang dibangun pada masa perang dulu," tuturnya.
Kedatangan Osvian dan Jammie didampingi Kasi Destinasi Wisata Bidang Pariwsata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuansing, Nasjuneri dan beberapa orang juga ikut dalam penelitian tersebut, akhir pekan lalu, Sabtu, 12 Oktober 2019.
Dari keterangan Jammie, kata Nasjuneri, ia sudah 20 tahun meneliti pembangunan rel kereta api maut (Death Railway) peninggalan Perang Dunia II. Pembangunan rel kereta api tersebut, tuturnya, dibangun secara bersamaan dari dua arah, sisi barat dan timur, dari Muaro dan Pekanbaru.
Uniknya, kata Osvian, saat dua arah pembangunan rel kereta api, Muaro dan Pekanbaru, berhasil dipertemukan, ada dua gambaran terlihat kala itu. Pertama, bahagia karena pertemuan dua rel tersebut, pembangunan akhirnya rampung, selesai.
INILAH terowongan sepanjang 100 meter membelah perut Bukit Barisan dibangun rel kereta api dibangun 80 ribu romusha di masa Pendudukan Jepang, 1942-1945, di Kota Kombu, Lubuk Ambacang, Hulu Kuantan, Kuansing, Riau.
"Sebaliknya, kabar duka cita bagi tentara Jepang. Saat dipertemukan kedua sisi rel tersebut, Jepang menyatakan kalah dari tentara Sekutu, 15 Agustus 1945, usai bom atom dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima," kata Osvian kemudian.
Rel kereta api itulah, tuturnya, kemudian mengangkut memulangkan ribuan Tentara Jepang menuju Pekanbaru, Riau. Dari Pekanbaru, kemudian tentara Nippon tersebut diangkut menggunakan kapal menuju Singapura sebelum akhirnya dipulangkan ke negeri asalnya, Jepang.
Pembangunan rel kereta api dimulai dari Muaro Sijunjung melintasi daerah Pintu Batu, Koto Kombu, selanjutnya lurus dari Koto Kombu menuju lokasi air panas di seberang Desa Sungai Pinang.
Dari air panas ini, rel kereta api dibangun dilanjutkan ke Serosa, tembak lurus ke Logas, Muara Lembu, Petai, Kecamatan Singingi Hilir. Dari keterangan peneliti, di Desa Petai ini, jalur rel kereta api dibangun dua arah, satu ke Pekanbaru, satu arah lagi menuju tambang batubara di desa Petai.
Tak Jauh dari Air Terjun Tujuh Tingkat
Lokasi penemuan dua terowongan menjadi titik temu rel kereta api tersebut masuk dalam wilayah Kecamatan Hulu Kuantan, tak jauh dari lokasi air terjun tujuh tingkat Batang Koban. Pertemuan dua rel tersebut sebelum memasuki wilayah Pintu Batu.
Untuk mencapai lokasi menuju kedua terowongan ini harus menggunakan spead boat menuju hulu Sungai Kuantan. Kemudian dari air terjun Batang Koban berjalan menuju lokasi terowongan rel kereta api tersebut.
"Terowongan pertama itu masuk dalam wilayah Kuansing, dan terowongan kedua memang berada di daerah perbatasan antara Pintu Batu dan kita," ujar Nasjuneri.
INILAH pondasi bantalan rel kereta api dibangun zaman Pendudukan Jepang, 1942-1945, dari Muaro, Sijunjung, Sumatera Barat, menuju Pekanbaru, Riau, sepanjang ribuan kilometer dan memakan korban 80 ribu jiwa romusha.
Ia menceritakan, panjang dua terowongan berbeda-beda, Satu terowongan memiliki panjang sekitar 20 meter, sedangkan satu terowongan lagi lebih dari 100 meter.
"Terowongan kedua ini kondisinya gelap dan sudah digenangi banyak air sehingga sulit dimasuki," kata Nasjuneri.
Pembangunan rel kereta api ini, tuturnya, Jepang menggunakan tenaga kerja romusha dari Pulau Jawa, tawanan perang dari orang-orang Barat, serta dari beberapa daerah di Indonesia.
Contohnya, tawanan perang warga Belanda, waktu itu, dijadikan teknisi menyelesaikan pembangunan rel kereta api ini. Semula Jepang membangun rel kereta api tersebut untuk mengangkut batubara, sebagai bahan bakar menghadapi Perang Dunia II.
Batubara diangkut diambil dari Kota Sawahlunto, kemudian diangkut dan dikumpulkan di Muaro, Sijunjung. Setelah itu, dibawa menyusuri kaki Bukit Barisan dan Batang Kuantan, Singingi dan Batang Kampar, sebelum akhirnya berhenti di tepian Sungai Siak, di Kota Pekanbaru Riau.
"Pembangunan rel kereta api ini tujuannya membawa batubara menuju Singapura. Batubara ini dijadikan energi membantu Jepang memenangkan Perang Dunia II hadapi Tentara Sekutu," kata Osvian.
BANTALAN pertemuan dua rel kereta api, dari sisi Muaro, Sijunjung, Sumatera Barat, dan sisi Pekanbaru, Riau, dibangun secara bersamaan, bertemu di Kota Kambu, Lubuk Ambacang, Hulu Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau.
Jepang kala itu, sempat membangun kamp di Desa Koto Kombu, Kecamatan Hulu Kuantan, tepatnya di pangkal jembatan, sekarang menghubungkan Koto Kombu dan Lubuk Ambacang.
Nasjuneri menimpali, dari keterangan Jammie, Jepang kala itu berpikiran, apabila batubara dibawa menuju Teluk Bayur, Padang, maka akan jauh memutar menuju Singapura.
Maka untuk memperpendek jarak, tuturnya, dibukalah jalur kereta api, dari Muaro Sijunjung-Pekanbaru. Batubara ini rencana diangkut ke Pekanbaru, selanjutnya dibawa menuju Singapura menggunakan kapal menghiliri Sungai Siak bermuara Selat Malaka.
Dari hasil temuan kemarin, kata Nasjuneri, ditemukan beberapa pondasi yang dibangun untuk dijadikan bantalan rel kereta api mulai dari Koto Kombu hingga daerah perbatasan Sumatera Barat.
"Setiap empat meter ada pondasi kita temukan dibangun, diduga ini digunakan untuk bantalan rel kereta api," ujarnya.
Selain pondasi untuk bantalan rel, juga kita temukan pondasi untuk jembatan rel di muara-muara sungai kecil sepanjang aliran Batang Kuantan.
Bantalan untuk rel kereta api ini dibangun karena kondisi tanah dari Koto Kombu menuju Muaro, Sijunjung, labil dan mudah longsor. Sehingga Jepang membangun bantalan ini agar rel kereta api tidak mudah longsor.
PENELITI asal Selandia Baru, Jammie Vincent Farrel, pegiat wisata sejarah Riau, Osvian Putra, dan Nasjuneri, pejabat Dinas Pariwisata Kuansing, berfoto di depan terowongan rel kereta api zaman Jepang, di Kota Kambu, Lubuk Ambacang, Hulu Kuantan, Kuansing, Riau.
Rel kereta api ini tidak sempat dimanfaatkan oleh Jepang mengangkut batubara, karena kalah perang. Semua tentara Jepang waktu itu, baik di Muara Sijunjung dan Kuansing, diangkut menggunakan kereta api menuju Pekanbaru. Semua tentara Jepang dikumpulkan di Pekanbaru.
"Mereka tidak sempat memanfaatkan rel kereta api ini untuk mengangkat batubara, karena kalah perang dan semua tentara dipulangkan dari Pekanbaru menuju Singapura," katanya.
Tentara Jepang selain memiliki kamp di Desa Koto Kombu, juga memiliki kamp di Sijunjung. Dari keterangan Jammie, tuturnya, dulu ada lokomotif bekas Jepang ditinggal berada di seberang Desa Sungai Alah.
Namun setelah dicek ke lokasi, ternyata lokomotif tersebut tidak ada lagi. "Lokomotif itu katanya berada tidak jauh dari sumber air panas, setelah dicek sudah tidak ada," katanya.