RIAU ONLINE - Penculikan disertai pembunuhan terhadap enam jenderal di Jakarta, kemudian dikenal dengan sebutan peristiwa Gerakan 30 September (Gestapu) 1965, hingga kini masih meninggalkan misteri, siapa pelaku dan otak dibalik itu semuanya.
Sisi lain dari Gestapu ini memunculkan seorang Soeharto, ketika itu berpangkat Mayor Jenderal, Panglima Komando Strategis TNI AD (Pangkostrad), luput dari penculikan terhadap jenderal-jenderal anti-komunis tersebut.
Zaman dulu, walau berpangkat bintang dua dan Pangkostrad, Soeharto tak miliki pasukan sebanyak Kostrad saat ini. Ia hanya memiliki pasukan diperbantukan, BKO-kan dari Kodam-kodam di Jawa, maupun Sumatera.
Salim Haji Said, dalam bukunya Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto, mengisahkan bagaimana kudeta gagal terhadap Bung Karno itu, termasuk intrik-intrik ada di dalamnya.
Pasca-Gestapu kekuatan militer dan politik terkristalisasi pada dua kubu, Pro-Sukarno dan Pro-Soeharto. Pada akhirnya, tentara pro-Soeharto-lah menjadi pemenang dengan menyingkirkan perwira-perwira tinggi loyalis Sukarno.
Loyalis-loyalis Sukarno itu disingkirkan dengan cara mencari-cari kesalahan mereka, apakah terlibat sebagai anggota maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta menempatkan mereka bukan lagi di militer. Misal, sebagai duta besar atau dirjen atau jabatan non-militer selama ini dibanggakan.
Penyingkiran serupa inilah kemudian dipakai Soeharto saat memarkir, dan membuang jenderal-jenderal loyalisnya di kemudian hari, di zaman Orde Baru.
Padahal, jenderal-jenderal tersebut memiliki peranan sangat besar membantu Soeharto menyingkirkan Sukarno beserta tentara loyalisnya. Tentara, terutama TNI AD saling bahu-membahu bersama rakyat menghancurkan PKI.
Salim Said mengatakan, Soeharto memerlukan waktu dua tahun secara perlahan-perlahan menyempurnakan penguasaannya atas tentara. Selama proses tersebut, dalam kalangan tentara Soeharto harus menghadapi pendukungnya yang radikal sembari berurusan dengan pendukung Sukarno yang fanatik.
"Di pihak Soeharto, ada Jenderal Kemal Idris, Jenderal Harsono Rekso (HR) Dharsono serta Kolonel Sarwo Edhi. Mereka bertiga inilah loyal dan tegas terus mendesak agar Soeharto segera menyingkirkan Presiden Sukarno," tulis guru besar Politik tersebut.
Mantan wartawan Majalah Tempo tahun 1970-an ini kemudian menjelaskan, di kubu loyalis dan pendukung fanatik Presiden Sukarno pada berbagai unit militer di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak sulit ditemukan siap mati untuk sang Putera Fajar.
"Dari itu semua, loyalis Sukarno paling menonjol adalah Panglima Marinir, juga Wakil Panglima Angkatan Laut, Letnan Jenderal KKO Haryono," tulis Salim Said.
Dengan kecerdikan politik dan kesabarannya, jelas Salim, Soeharto bukan saja berhasil menyingkirkan para penentangnya dari berbagai satuan unit militer, melainkan juga dengan sangat dingin berhasil terbebas dari para perwira loyalis dan radikal pendukungnya.
Salim mencontohkan, Jenderal Kemal Idris, terlempar ke Makassar, Sulawesi Selatan dan diberi jabatan sebagai Pangkowilhan, sebelum akhirnya perwira tinggi berdarah Minangkabau tersebut dikirim ke Beograd, Yugoslavia sebagai duta besar.
Padahal, Kemal Idris diangkat Soeharto sebagai Pangkostrad, penerusnya, sedangkan dirinya diangkat oleh Sukarno sebagai Panglima Angkatan Darat.
Nasib serupa juga dialami Jenderal HR Dharsono. Loyalis Soeharto ini kemudian dibuang menjadi duta besar ke Bangkok sebagai Duta Besar untuk Thailand.
"Untuk Sarwo Edhi, jenderal RPKAD, Kopassus itu dicampakkan ke Medan sebagai Pangdam Bukit Barisan sebelum akhirnya dibuang jauh-jauh ke Papua, sebagai Pangdam Cenderawasih," tulis Salim Said.
Terlemparnya Kemal Idris sebagai Duta Besar tak lepas dari semakin populernya prajurit yang pernah mengarahkan meriam ke Istana di zaman Presiden Sukarno, 17 Oktober 1952, di Indonesia bagian Timur.
"Kemal berhasil membawa rakyat dalam pembangunan. Mereka antusias. Mereka tidak menghalangi pembangunan. Kemal berhasil menenangkan kaum muda di Indonesia bagian timur. Dia terlalu populer di sana. Popularitas itu diperlukannya untuk memperoleh jabatan tertinggi. Dulu dia berani melawan Bung Karno sedang berada di puncak kejayaannya.Tentu dia akan berani pula melawan Soeharto," seperti tertulis dalam buku memoar Kemal Idris diangkat dari Majalah Tempo, dengan judul Memoar: Senarai Kiprah Sejarah, terbitan Grafiti, Juli 1993.
Sedangkan, Mayjen HR Dharsono semasa menjadi Pangdam Siliwangi pernah mengeluarkan Surat Perintah agar masyarakat Jawa Barat tidak dikunjungi atau mengunjungi mantan Presiden Indonesia, Soekarno, antara tahun 1968-1969. Kemungkinan ini diperintah Soeharto
Sementara itu, Letjen Sarwo Edhi merupakan mertua mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dengan pasukan RPKAD-nya memburu anggota dan simpatisan PKI hingga pelosok-pelosok di Pulau Jawa.
Hasilnya? Salim Said menjelaskan, Soeharto akhirnya berhasil berdiri tegak sebagai Panglima Angkatan Darat dan Ketua "Partai Tentara". Dari posisi kuat seperti itulah berangsur-angsur Soeharto memenangkan pertarungan politik dengan Sukarno.
"Presiden Sukarno tersingkir pada 1968 digantikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden kedua, setelah keluar sebagai pemenang selama dua tahun terjadi pertarungan politik (Power Strunggle) antara Soeharto melawan Sukarno," pungkasnya.
Artikel ini sudah dipublikasikan dengan judul Usai Bantu Singkirkan Soekarno, Soeharto Tega Campakkan Tiga Jenderal Loyalisnya, Kamis, 26 Januari 2017.