Merawat Alam dan Manusia di Ekowisata Sungai Rawa

mangrove-siak.jpg
(istimewa)

Laporan: Sigit Eka Yunanda

RIAUONLINE, SIAK SRIINDRAPURA - Berjarak dua jam dari pusat kota Siak Sri Indrapura terdapat salah satu spot ekowisata yang layak mendapat sorotan publik. Sensasi bersantai atau makan siang di pondokan diantara rimbun hamparan hutan manggrove serta dimanja debur ombak merupakan sensasi tiada dua yang dapat dinikmati di kawasan ekowisata Sungai Rawa, kecamatan Sungai Apit, Siak. Meski akses jalan yang cukup jauh, segala keindahan alam dan keramahan masyarakat Sungai Rawa merupakan tempat yang sangat layak untuk dikunjungi.

Adalah Junaidi(50), inisiator serta ketua Kelompok Pemerhati Manggrove kampung Sungai Rawa. Berawal dari kekecewaan dan kesedihannya sebagai masyarakat asli Sungai Rawa yang ketika kembali ke kampung usai merantau mendapati pinggiran pantai tempat ia bermain ketika kanak-kanak telah rusak. Junaedi memutuskan untuk memulai merevitalisasi kembali pantainya dengan langkah sederhana yaitu menanam kembali mangrove.

"Ini dulu tempat bermain saya waktu kecil, tempat nelayan, tapi sekarang tanahnya malah habis, bahkan pohon kelapa bertumbangan," terang Junaedi kepada wartawan pada kegiatan Media Visit yang diinisiasi oleh konsorsium Yayasan Mitra Insani pada Kamis, 22 Agustus kemarin.

Satu persatu batang manggrove ia tanami di sela-sela kesibukannya sebagai petani atau ketika memancing di pinggiran pantai. "pelan-pelan kita tanami, satu persatu bibit yang ada di hutan kita tanam di sini," ujar Pria 50 tahun ini.


Mulanya tak pernah terpikirkan olehnya untuk mengelola tempat ini menjadi tempat wisata, ia hanya ingin kampungnya tidak tergerus ombak pantai.

"Kita dijadikan Allah sebagai manusia untuk berbuat baik, untuk menjaga apa yang bisa kita jaga. Kalo ada yang bisa kita jaga tapi kita tidak lakukan maka bagaimana pandangan Allah kepada kita? Ini inshaallah akan terasa nikmatnya hingga turun-temurun hingga cucu saya, jika tidak kampung ini bisa tenggelam," tuturnya takzim.

Upaya revitalisasi yang dilakukan Junaedi ini lantas mendapat respon positif oleh sebuah LSM internasional, SIMIANPU yang lantas membantu 80.000 bibit pada 2007. Selanjutnya KLHK Melalui program Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang menyumbang 25.000 bibit dan 50 juta dana operasional pada 2016. Secara total tidak kurang dari 200.000 bibit manggrove telah ia tanami selama 12 tahun. Pada 2017 akhirnya kawasan diizinkan untuk dibuatkan track jalan dan dikelola sebagai tempat wisata.

Setelahnya kemudian fasilitas penunjang seperti sumber air bersih dan sanitasi dilengkapi. Tidak lupa pondokan-pondokan juga dibangun untuk tempat bersantai, belajar, bahkan makan bersama.

Hingga kini terdapat 30 jenis manggrove yang terdapat pada kawasan konservasi ini didominasi manggrove, kayu api-api, perpat. Pedada, kedabu. Sehingga tempat ini menjadi salah satu tempat yang sangat sesuai sebagai media penelitian mangrove. Tidak sedikit mahasiswa yang telah datang dan belajar mengenai mangrove kepada Pak Junaedi. Bahkan juga turis dan peneliti asing dari sejumlah negara Asia dan Eropa juga sempat datang dan bertukar ilmu dengan sosok yang walau hanya bersekolah formal hingga SMP namun belajar secara langsung dari alam hingga saat ini.

Perlahan-lahan revitalisasi mangrove yang diusung Junaedi berbuah manis, abrasi pantai yang bahkan hampir mencapai pemukiman dan lahan pertanian warga perlahan bisa diatasai. Sebab mangrove merupakan pemecah ombak alami yang menahan dampak abrasi.

Tidak hanya pantai yang ia revitalisasi namun juga masyarakat turut terberdayakan. kembalinya hutan bakau ini ekosistem pantai yang sempat rusak pun kembali sehat. Efeknya biota laut pun kembali seperti udang putih yang kembali banyak bersarang dan bertelur di akar-akar mangrove, udang ini memiliki nilai ekonomis tinggi mencapai 70.000/kg.

Selain itu pula usaha Ekowisata juga turut dinikmati penduduk sekitar melalui retribusi karcis maupun usaha dagangan makanan ringan. Praktis hal ini membuat geliat ekonomi masyarakat juga ikut tumbuh bersama hutan manggrove.

Meski tidak sedikit hambatan dalam usaha konservasi ini, mulai dari polusi oleh korporasi pengolah kertas berupa residu kayu-kayu akasia yang terbawa ke pinggiran pantai dan merusak bakau terutama bakau-bakau yang masih kecil atau oknum-oknum yang merusak peralatan teknis yang terdapat di kawasan itu Junaedi tidak akan pernah menyerah mengingat betapa pentingnya hutan mangrove ini bagi masyarakat.

Ia berharap usahanya akan terus berkelanjutan dan bisa memberi manfaat yang lebih besar untuk masyarakat. Ia ingin anak-anak muda desa untuk turut serta mengelola hutan mangrove ini. Hingga kini kelompoknya yang beranggotakan 5 orang warga masih berupaya meningkatkan fasilitas yang terdapat pada lokasi wisata tersebut. Selain itu pula ia berharap dukungan pemerintah untuk setidaknya meningkatkan kualitas akses jalan menuju desa Sungai Rawa sehingga wisatawan diharapkan akan meningkat. Sebab sejauh ini dukungan pemerintah dinilai masih amat sangat minim dan masih mengandalkan pendampingan oleh konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Yayasan Mitra Insani(YMI), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA Riau), Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR).