Tekong Ini Duga, Iklim dan Kelalaian Sebabkan Mayat Mengapung di Bengkalis

mayat-di-laut.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ANDRIAS)


LAPORAN: ANDRIAS

RIAU ONLINE, BENGKALIS - Hampir sepekan belakangan ini, temuan 8 mayat mengapung di Pesisir Pulau Bengkalis, Kabupaten Bengkalis kian santer menjadi topik pembicaraan. Namun, identitas hingga keberadaan keluarga korban masih simpang siur. Diketahui, tidak ada satu pun keluarga korban berdomisili di Pulau Bengkalis, sebab tak ada laporan kehilangan.

Diduga, 8 mayat yang ditemukan tersebut merupakan korban pecahnya kapal atau speedboat pengakut 19 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia pulang menuju Indonesia melalui jalur gelap. Namun, di perbatasan Malaysia speedboat mengalami insiden tersebut.

RIAUONLINE.CO.ID berkesempatan berbincang dengan sumber, Abn, yang dulunya berprofesi sebagai nakhoda atau tekong, pemasok dan penjemput TKI ke Malaysia.

Di awal pembicaraan Abn sudah menduga bahwa dari rentetan temuan mayat tersebut merupakan TKI yang hendak pulang ke Indonesia. Semberi bercerita, Abn mengenang pengalamanya membawa dan menjemput TKI melalui jalur gelap menghadang ombak besar dan angin kencang.

Sepengalaman menjadi tekong, Abn bercerita, tiap akhir tahun, laut perbatasan mengalami iklim pancaroba. Apalagi di daerah Pesisir Selatan Malaysia saat ini angin kuat, begitu pula di Pulau Bengkalis, angin kencang terutaman di bagian utara tepatnya diantara Rupat Utara dengan ketinggian ombak mencapai 2 sampai 3 meter.

Idealnya seorang tekong, mengendarai speedboat dengan ukuran panjang 7 meter x 1,60 cm dengan tinggi 80 cm harus bisa membaca keaadan iklim pancaroba saat ini. Bahkan Abn, menilai tekong yang membawa 19 TKI itu tidak memiliki pengalaman membaca situasi di tengah laut.

"Kalau kami nak turun ke laut, tengok angin. Kemungkinan, dia (tekong,red) menganggap dengan kelajuan yang dimiliki speedboat mampu menyeberang 1 jam setengah, main tancap aje," kata Abn dengan logat melayu di Bengkalis, Selasa, 4 November 2018.


Pria 41 tahun kelahiran Desa Tengayun, Sungai Pakning ini membeberkan bahwa speedboat yang digunakan untuk mengantar dan menjemput TKI dari Malasyia paling kecil menggunakan 2 mesin, yang di tiap mesinnya memiliki kecepatan 40 PK. Kata dia, seorang tekong harus tetap berprinsip mengutamakan keselamatan diri dan juga penumpang.

"Kebanyakan orang (tekong,red) dengan iklim sekarang ini, mereka melaju dengan pool speed (melaju menghantam ombak hingga tengangkat body speedboat). Akan tetapi, yang mereka lakukan itu berbalik dengan hukum alam. Karena makin laju kita di laut makin kuat ombaknya. Apalagi ombak sudah kuat. Dia tidak akan tahan, apalagi di speedboat tidak ada kesediaan pompa air, paling hanya menggunakan manual," beber Abn menduga penyebab insiden tersebut.

Abn meyakini insiden menggunakan speedboat. Sebab menurutnya, jika menggunakan kapal pompong, pasti ada yang selamat.

"Pengalaman saya di laut, kalau pompong pasti ada yang selamat. Karena pompong ada rumah kayu dan bisa digunakan untuk dijadikan peganggan. Sedangakan speedboat terbuat dari viber diperparah lagi bila tidak ada pelampung juga safety jaketnya sehingga kalau pecah kapal akan terbawa tenggelam dikarenakan bobot mesin yang berada diburitan kapal. Artinya, dipastikan akan kecil kemungkinan selamat jika kapal terjadi kecelakaan yang jaraknya 14 mil dari peraian bengkalis menggunakan kapal viber," bebernya.

Abn juga menduga pecahnya kapal pengakut TKI itu, tidak jauh dari depan Malaka dan iklim saat itu diperkirakan angin barat sehingga meniup dari barat arah ke timur. Sebab itu, mayat-mayat tersebut mengapung ke wilayah Pesisir Pambang.

"Posisi di depan Malaka itu ada pulau namanya Pulao Limo, saya menduga kejadianya di situ dan sangat memungkinkan hingga hanyut ke Pambang Pesisir," tuturnya sembari.

"Disayangkan, kalau tahu kejadiannya dan langsung disisir, pasti semua mayat akan ketemu. Karena satu hari sampai tiga hari mayat pasti akan timbul, karena usus manusia kita akan menggelembung dan menjadi pelampung, tapi ketika sudah pecah mayat akan tenggelam kembali," bebernya pria yang sudah hampir 4 tahun belakangan ini tidak lagi menekuni profesi tersebut.

Disinggung terkait pengalamannya membawa TKI melalui jalur gelap masuk ke Malaysia, Abn bercerita menjalankan profesinya itu juga dilakukan dengan diam-diam di saat petugas sedang lengah.

Biasanya, ia akan membawa TKI masuk ke Malaysia di saat waktu sibuk, misalnya antara magrib dan isya. Karena, saat itu waktu yang gelap untuk mengelak dari petugas. Selanjutnya dari Malaysia ke Indonesia biasa dilakukan saat malam ekitar pukul 10.00 WIB.

"Diperkirakan dari Malaysia, paling lambat mereka bergerak jam 10 malam. Diduga, jika benar lokasi kejadian itu di perbatasan yang seperti dibicarakan, paling mereka baru jalan 40 menit lepas Malaysia dan paling lama 1 jam. Dan juga menyayangkan, upaya penyelamatan tekong di peristiwa ini saya nilai sangat kurang, kemungkinan tekongnya panik diperparah tidak adanya alat keselamatan," tukas Abn.

Menurut Abn, TKI yang dijemput melalui jalur gelap kebanyakan tidak mengantongi dokumen resmi atau paspor yang sudah habis masa berlakunya.

"Sekarang ini kan di Malaysia lagi besar-besarnya pemutihan. Makanya lebih banyak memilih pulang dengan jalur gelap. Daripada di sana melapor atau kena sisir (tangkap) sama-sama ditahan selama 2 sampai 3 bulan sebelum dipulangkan ke Indonesia. Dan untuk pemulangan pihak Malyasia tentunya mengklaim biaya pemulangan ke pihak Indonesia," ungkap Abn.

Untuk lokasi penjemputan di Malaysia, kata dia, tidak hanya di satu titik melainkan menyebar di kawasan Malaysia.