Jokowi Ngutang Rp 1,9T ke Riau, Syamsuar Membela: Biasa Saja

Syamsuar-di-Sungai-Lala.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)

RIAUONLINE, PEKANBARU - Gubernur Riau Terpilih Syamsuar membela pemerintah pusat terkait belum cairnya Dana Bagi Hasil (DBH) yang menyebabkan Riau mengalami defisit anggaran.

"DBH ini kaitannya dengan harga minyak, jadi biasa saja. Sebelumnya juga ada kok, jaman dulunya sudah ada, jadi tidak masalah," ujarnya pasca mendeklarasikan dukungan untuk Jokowi, Rabu, 10 Oktober 2018.

Sebelumnya, diberitakan bahwa Pemerintah Pusat dibawah kepemimpinan Jokowi menahan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Riau sekitar Rp 1,9 T.

Utang Presiden Jokowi tersebut berjumlah Rp 1,9 triliun berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas (Migas) triwulan IV 2017 silam sampai sekarang belum dibayarkan ke rakyat Riau. Kondisi ini tak hanya dialami Pemprov Riau semata, melainkan kabupaten dan kota selama ini memperoleh pembagian DBH di Riau.

Padahal, Riau merupakan penyumbang devisa terbesar untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari sektor Minyak dan Gas (Migas) bersama dengan Kalimantan Timur (Kaltim).

"Intinya, DBH itu adalah hak rakyat Riau, Pemerintah Pusat tidak bisa membuat argumen mengada-ngada untuk tidak memberikan hak tersebut," kata politisi Partai Gerindra, Miftah N Sabri kepada RIAUONLINE.CO.ID, Sabtu, 6 Oktober 2018.

Akibatnya, tutur Caleg DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Riau I tersebut, pembangunan infrastruktur seperti membangun dan memperbaiki jalan rusak, bangun gedung-gedung sekolah dan lainnya, menjadi terbengkalai.


Miftah menjelaskan, ia besar di Kota Dumai, dan secara intens sejak beberapa tahun terakhir keluar-masuk kampung di pedalaman Riau menerima keluhan rakyat, termasuk kepala daerah di Bumi Lancang Kuning.

"Kami tidak bisa membangun karena duit jadi hak kami tidak dicairkan Presiden Jokowi (Pemerintah pusat). Jangan masyarakat Melayu ini karena baik, tapi diperlakukan semena-mena," kata Miftah menirukan keluhan kerap disampaikan kepala daerah kepada dirinya.

Ia meminta Jokowi harus lebih sensitif terhadap apa-apa menjadi hak daerah. Miftah juga meminta pemerintah pusat tidak hanya pandai menyedot kekayaan daerah untuk dibawa ke Jakarta dan Jawa.

Utang pemerintah pusat Rp 1,9 triliun tersebut merupakan hak Pemprov Riau dari DBH Migas yang belum dibayarkan (tunda bayar) pada triwulan IV tahun 2017.

Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau, Ahmah Hijazi, dalam berbagai kesempatan kerap mengatakan, ndisi serupa juga diprediksi akan terjadi di tahun 2018 ini.

Selama ini, formula pembayaran DBH Migas untuk daerah penghasil, pada Triwulan I dan II dibayarkan 20 persen, kemudian 30 persen di Triwulan III dan IV.

"Nah sekarang hanya tiga triwulan, 20, 20 dan 30 persen, berarti 30 persen lagi tidak di transfer. Karena 30 persen itu tidak ditransfer, maka itu menjadi beban di 2018, makanya ditutup dengan Silpa, seharusnya Silpa itu bisa dinikmati di 2018, "ujar Ahmad Hijazi.

Sebenarnya, utang pemerintah pusat ke rakyat Riau tak hanya Rp 1,9 triliun saja dari DBH Migas semata, melainkan juga dari Pajak Air Permukaan Rp 700 miliar hingga kini belum dibayarkan rezim pemerintahan Jokowi.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id