SULTAN Syarif Kasim II bergelar Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin (Sultan Asyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin) bersama permaisuri.
(INTERNET)
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Sultan terakhir Kerajaan Siak Sri Indrapura, Sultan Syarif Kasim (SSK) II, tak bisa berkata-kata apapun saat ia mengetahui nyawanya yang terancam diselamatkan oleh sekelompok orang bermata sipit.
Mereka ini merupakan anak buah Nyonyah Hitam dari Suku China, hidup di sekitar Tanjung Pedade, Sungai Siak. Kejadian ini terjadi pada tahun 1926, saat Sultan pulang dari Medan, guna menjumpai Gubernur Belanda untuk Sumatera Timur.
Anak Juru Tulis kemudian menjadi Sekretaris Sultan Syarif Kasim (II), Muhammad Jamil, bernama Orang Kaya Nizami Jamil, kepada RIAUONLINE.CO.ID. menceritakan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1926.
Baca Juga:
Wow, Sultan Siak Serahkan 13 Juta Gulden Untuk Modal Indonesia Merdeka
Sedan Jerman Setia Dampingi Sultan Siak Keliling Sumatera
Ketika itu, tuturnya, Sultan sangat murka melihat arogansi pejabat Hindia Belanda terhadap Kerajaan Siak. Kompeni dengan seenaknya memindahkah bahkan mencopot orang-orang kepercayaan Sultan dari posisinya.
Pencopotan dan pemindahan tersebut sangat tak disukai Sultan. Dimulai tahun 1921, saat Belanda mulai menjadi-jadi dalam menjalankan politik adu dombanya. Setahun kemudian, 1921, Belanda memberhentikan mertua sekaligus mentornya, Tengku Pangeran Embung, dari posisinya sebagai Orang Besar.
Belanda menganggap, Tengku Pangeran Embung terlalu banyak mempengaruhi tata pemerintahan Kerajaan Siak. Sultan murka dengan pemberhentian tersebut. Namun, apa daya, Sultan tak bisa berbuat banyak, seperti mengangkat senjata atau lakukan perlawanan lainnya.
"Ini semua tak terlepas dari politik devide et impere, politik adu domba Belanda di Kerajaan Siak. Mana yang tak mereka sukai, diberhentikan, dipindahkan dan akhirnya berhenti," kata OK Nizami Jamil, dalam bukunya Tahta untuk Negeriku Indonesia.
Tengku Pangeran Embung selama ini dikenal sebagai orang yang menjalankan roda pemerintahan di Kerajaan Siak, selama Sultan Syarif Kasim II menjalani pendidikan di Batavia hingga ia dinobatkan sebagai Sultan.
Tak hanya mertuanya, Sekretaris Sultan, Tengku Jambul, juga ikut kena getahnya, gara-gara dekat dekat dengan Sultan Syarif Kasim II. Ia dipindahkan ke Bagansiapi-api sebagai Districshoof. Tak lama kemudian, Belanda kemudian memberhentikannya dari jabatan tersebut.
Ia lalu minta ke Sultan untuk berangkat ke Mesir untuk mengantarkan anaknya bersekolah di Negeri Piramid tersebut. Namun, ternyata Tengku Embung berangkat sekeluarga melalui Singapura menggunakan kapal laut.
SULTAN Syarif Kasim II bergelar Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin (Sultan Asyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin) bersama permaisuri.
Berselang kepergian Tengku Embung ke Mesir, petinggi kerajaan juga terkena imbasnya. Datuk Lima Puluh dipensiunkan dengan alasan sudah tua oleh Belanda.
Datuk Pesisir Muhammad Zen ditunjuk sebagai Datuk Bandar di Pekanbaru. Tak lama menjabat, Belanda kemudian memecatnya dan menggantikannya dengan Datuk Comel.
Datuk Tanah Datar kemudian diplot mengisi kekosongan Tengku Jambul sebagai Districtshoof di Bagansiapi-api. "Belanda sengaja memindahkan orang-orang kepercayaan Sultan, sebaliknya Sultan tak bisa berbuat banyak atas perlakuan tersebut, karena mereka memiliki persenjataan dan militer," jelasnya.
Puncak kemarahan Sultan terjadi saat Belanda memberhentikan Tengku Boet sebagai Sekretaris Sultan, tahun 1926. Penyebabnya, ketegasan Tengku Boet dalam pemerintahan dan keuangan, membuat sering terjadi pertentangan dengan Controleur Belanda di Siak.
Klik Juga:
Koyan, Pemimpin Perlawanan Suku Sakai Jadi Alasan Letnan Marsose Belanda Bunuh Diri
Patut Bangga Bangsa Melayu, Teluk Belanga Pakaian Kenegaraan Pak Harto
Sultan murka kepada Controleur Belanda O Treffer. Ini diperparah dengan tidak harmonisnya hubungan Kerajaan Siak dengan pejabat Belanda di Siak dan Asisten Residen Belanda di Bengkalis.
"Kemudian Sultan mengajukan protes. Ia berangkat ke Medan guna menjumpai Gubernur Belanda di Sumatera Timur, di Medan. Biasanya Sultan jika ke Medan segala transportasi diurus oleh Asisten Residen Belanda di Bengkalis. Kali ini, tak dilakukan," cerita Nizami Jamil.
Jika hendak ke Medan, tuturnya, Sultan harus terlebih dahulu ke Singapura, transit, demikian juga saat pulang. Saat pulang ke Siak, di Bengkalis, permintaan Sultan untuk menaiki kapal Kerajaan Siak Sri Indrapura, sama sekali tak diindahkan Asisten Residen di Bengkalis.
"Sultan tersinggung, Ia kemudian langsung mengambil kapal China, Gosicau, membawanya kembali ke Siak," kata NIzami Jamil.
Petang hari, tahun 1926, Sultan dan pengiringnya, berangkat pulang ke Siak. Saat memasuki Kuala Sungai Siak, malam harinya, kapal ditumpangi berjalan pelan sekali. Tak ada alat penerang, seperti sekarang ini.
Bintang-bintang tak terlihat. Hanya terlihat alur Sungai Siak. Tak ayal, kondisi seperti ini mengancam perjalanan kapal. AKhirnya terbukti, Kapal China tersebut tersakat dibeting Tanjung Pedade di Sungai Siak.
Buritan kapal sudah dimasuki air sungai. Sultan kemudian memerintahkan Muhammad Djamil bersama dua pembantu melompat ke sekoci dan mengayuhnya guna mencari bala bantuan ke masyarakat sekitar menyelamatkan Sultan ke daratan.
"Akhirnya Sultan ditolong anak buah Nyonyah Hitam (kemungkinan Suku Akit), Suku China. Sultan lalu menginap di rumah Nyonyah Hitam menunggu pagi hari berganti," tuturnya.
Esok harinya, kapal kayu tersebut bisa diselamatkan guna meneruskan perjalanan kembali ke ibukota kerajaan.
"Setelah selamat sampai ke tujuan, Istana Siak, semua yang menolong Sultan memperoleh hadiah. Sultan memberikan hadiah masing-masing berupa uang senilai 50 Gulden Belanda," pungkasnya.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id