Tilap Dana Karhutla, Mantan Kalaksa BPBD Dumai Disidangkan

BPBD-Dikorupi.jpg
(istimewa)

RIAUONLINE, PEKANBARU - Mantan Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Dumai, Noviar Indra Putra Nasution, duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Kamis sore, 9 Agustus 2018. Dia didakwa menyelewengkan dana penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) untuk kepentingan pribadi.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mainan Limbong, mengatakan, Noviar didakwa menyelewengkan dana bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2014. Tindakan itu dilakukannya bersama Suherlina selaku Kepala Seksi (Kasi) Kedaruratan di BPBD Dumai, dan Widawati selaku bendara.

Perbuatan terdakwa berawal ketika Walikota Dumai menetapkan status tanggap darurat terhadap bencana Karhutla di daerahnya pada 4 Maret 2014. Status itu diperpanjang hingga 4 April 2014.

Atas bencana itu, BNPB menyalurkan bantuan untuk penanggulangan bencana Karhutla sebesar Rp731 juta. "Tahap pertama, dicairkan sebesar Rp150 juta," kata JPU, di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Pekanbaru yang diketuai Bambang Myanto, didampingi hakim anggota, Dahlia Panjaitan dan Hendri.

Dana itu diambil Noviar bersama Suherlina ke BRI, dan diserahkan ke Widawati. Begitu juga sisa dana tahap dua yang disalurkan BNPB untuk penanggulangan bencana Karhutla di Dumai.


Sesuai aturan, seharusnya Noviar selaku Pengguna Anggaran menunjuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk kegiatan itu dan membuat rekening pemerintah. "Namun terdakwa bertindak sendiri seolah-olah sebagai PPK," kata JPU dalam dakwaanya.

Dalam pelaksanaan anggaran, para terdakwa tidak melakukan pembelian masker. Selain itu, pengadaan makanan, minuman juga dilakukan sendiri oleh ketiga terdakwa tanpa menujuk pihak ketiga.

"Pelaksanaa kegiatan itu juga tidak pernah dilaporkan ke BNPN. Tindakan para terdakwa menguntungkan diri pribadi. Akibatnya negara dirugikan Rp219 juta," tutur JPU.

Ketiga calon terdakwa dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal (3), jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Atas dakwaan itu, Noviar dan Suherlina berkoordinasi dengan penasehat hukumnya. Mereka sepakat menyatakan tidak mengajukan eksepsi atau keberatan terdakwa atas dakwaan JPU. "Kami tidak melakukan eksepsi," kata Noviar dan Suherlina.

Berbeda dengan Widawati, dari awal persidangan dibuka majelis hakim, penasehat hukum yang mendampinginya tidak datang ke persidangan. Majelis hakim memberikan kesempatan kepadanya untuk berkoordinasi dengan penasehat hukumnya. (*)