EoF: PT Makmur Andalan Sakti Diduga Ambil Pasokan Sawit di TNTN

Pabrik-sawit.jpg
(ISTIMEWA)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Eyes on the Forest (EoF) menemukan satu laporan, Jumat, 8 Juni 2018, bahwa buah sawit dari kebun yang secara tidak prosedural atau ilegal dikembangkan di dalam kawasan hutan dan termasuk kawasan konservasi yang merupakan habitat satwa liar langka terus mencemari minyak sawit yang memasuki rantai pasok dari 24 pedagang dan merek global. Padahal mereka telah membuat komitmen nol deforestasi.

Kawasan-kawasan yang dilindungi telah hilang menjadi kebun sawit termasuk di sebagian habitat terakhir gajah dan harimau Sumatera yang sangat terancam kepunahan di Indonesia. Investigasi acak bermetode rantai pengawalan (chains-of-custody) oleh EoF sejak 2011 menemukan 22 pabrik kelapa sawit (PKS) yang membeli tandan buah segar (TBS) ilegal yang dipanen di dua kawasan nilai konservasi tinggi di sumatera tengah, tepatnya di lansekap Tesso Nilo dan Bukit Tigapuluh.

EoF menemukan, sebut saja Si 4 Besar: GAR, Musim Mas, RGE dan Wilmar – telah membeli TBS ilegal dari pabrik-pabrik ini, seringkali berulang, padahal mereka sudah mengetahui telah tersangkut hal ini dari laporan-laporan EoF sebelumnya.

Pabrik-pabrik kelapa sawit juga di antaranya banyak menjadi pemasok langsung atau tak langsung dari pedagang dan pengguna sawit penting dunia yang memiliki komimtmen nol deforestasi seperti temuan investigasi EoF, yakni: AAK, ADM, Bunge, Cargill, ColgatePalmolive, Fuji Oil, General Mills, Kellogg’s, Louis Dreyfus, Mars, Mondelēz, Neste, Nestlé, Olam, PepsiCo, Proctor & Gamble, Reckitt Benckiser, Sime Darby dan Unilever. Temuan laporan telah diperlihatkan kepada perusahaan-perusahaan sebelum publikasi.

“EoF memuji transparansi dari semua perusahaan ini guna memulai mempublikasikan data terhadap pabrik pemasok mereka dan kami mengimbau agar perusahaan lainnya bisa mengikuti hal sama,” ujar Leader Monitoring Deforestasi dan Advokasi WWF Indonesia, Nursamsu.

Nursamsu mengaku tak heran jika menemukan banyak perusahaan yang tersangkut masalah ini, sebab pihaknya mengetahui skala ilegalitas di lansekap-lansekap itu serta bagaimana para pemain lokal, termasuk Si 4 Besar, beroperasi.

Untuk itu, dengan adanya keterkaitan nama-nama kondang di industri sawit, EoF berharap akan bisa mengambil tindakan signifikan guna menggunakan kekuatan pembelian mereka dan pengakuan merek sebagai posisi kuat dalam membersihkan pasokan hilir mereka. Serta membalikan jejak deforestasi.

“Kami perlu bantuan mereka menghentikan segera musnahnya hutan tropis yang kaya keanekaragaman hayati,” tambah Nursamsu.

EoF meyakini kajiannya yang teridentifikasi hanya bak ujung gunung es dan laporan merinci gambaran ilegalitas meluas di sektor minyak sawit di Sumatera bagian tengah secara keseluruhan, tidak hanya di dua lansekap yang disorot. Sumatera tengah adalah titik nol bagi deforestasi terburuk di pulau Sumatera, yang sendirian jadi titik panas global untuk deforestasi.



EoF menemukan truk-truk mengangkut tandan buah segar (TBS) ilegal berjalan sejauh 145 kilometer dan menghabiskan 5 hari lebih di jalan. Cukup panjang, jauh mencapai 200 pabrik CPO, jalanan di luar batas kabupaten dan provinsi dari asalnya di Taman Nasional Tesso Nilo.

"Laporan terbaru membuktikan asumsi laporan kami tahun 2016 bahwa tak seorang pun yang aman dari membeli minyak sawit tercampur dengan ilegalitas dan deforestasi," kata Nursamsu.

Selain itu, terangnya, tanpa penyaringan pembelian di tingkat pabrik, penggunaan TBS yang ditanam ilegal mudah terjadi di banyak kawasan prioritas konservasi, yang mencemari lebih banyak lagi rantai pasok perusahaan global. Menurutnya, laporan EoF sudah cukup menyorot pentingnya menelusuri semua pasokan sawit sepenuhnya menuju perkebunan.

Bagaimanapun, kata dia, data yang dikumpulkan dari Si 4 Besar soal ketelusuran TBS mereka, menunjukkan jumlah besar TBS yang diproses jadi minyak sawit di dalam rantai pasok mereka, masih berasal dari sumber tak dikenal.

“Tanpa mengenali sumber sebenarnya, bagaimana mungkin orang merasa 100% aman dan mereka tidak akan membeli produk bercampur TBS ilegal?” kata Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah.

Menurut Woro, kelompok 4 besar sudah memahami meluasnya pelanggaran di Kawasan sejak lama, tetapi mereka masih menaruh prioritas mereka untuk mengamankan pasokan TBS yang cukup untuk mengisi permintaan fasilitas hilir. Dan ini sangat bergantung pada pasokan yang tak tepercaya dari perkebunan pihak ketiga, agen dan pedagang. Dengan mempertimbangkan tanggungjawab besar bahwa mereka harus melindungi pelanggan hilir mereka, mereka jelas gagal berupaya maksimal mengatasi persoalan ini.

Selain itu, kata Woro, kurang kuatnya metodologi penelusuran TBS juga berarti akan mustahil bagi perusahaan manapun melaksanakan komitmen menghentikan deforestasi, karena tak ada cara untuk mencari apakah TBS yang dipanen dari perkebunan telah ditanami setelah deforestasi.

“Apakah industri ingin dikenang karena sebelah tangannya menghancurkan Taman Nasional Tesso Nilo
(TNTN) menjadi kebun sawit dan menyebabkan punahnya harimau Sumatera di Tesso Nilo sembari memiliki kebijakan nol deforestasi?” tanya Direktur Eksekutif WALHI Riau, Riko Kurniawan.

Sementara Diki Kurniawan dari WARSI, anggota jaringan EoF di Sumatera, menegaskan terlepas bertahun-tahun berkomitmen, industri masih terjerat konversi hutan menjadi sawit. “Di tahun ke delapan sejak kebijakan ‘nol deforestasi’ yang pertama, masih ada hal mendesak bagi industri dan masyarakat madani meninjau ulang semua kerja rantai pasok dan pencapaian sejatinya di lapangan. Sehingga mengarahkan upaya masa depan ke tujuan sejati komitmen nol deforestasi, yakni, menghentikan penghancuran di Kawasan seperti Tesso Nilo dan Bukit Tigapuluh. Serta mulailah upaya membalikkan jejak deforestasi ini,” lanjutnya.

Kurangnya tata kelola dan penegakan hukum di masa lalu, kata Woro, telah berandil pada perambahan skala besar terhadap hutan dilindungi menjadi pengembangan kebun sawit. Sejak WALHI menerbitkan laporan yang lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk satuan gugus tugas Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo.

“Kami akan meneruskan investigasi mendukung tujuan tim RETN agar pabrik kelapa sawit (PKS) berhenti membeli TBS dari perkebunan ilegal di ekosistem Tesso Nilo. Kami pun berharap kelompok 4 Besar dan perusahaan lainnya bisa mendukung upaya Menteri LHK dengan bekerja bersama pemasok hulu mereka mencapai 100% ketelusuran TBS sesegera mungkin. Sehingga TBS yang diproduksi atau dipanen secara ilegal dan tak lestari bisa diketahui, dipisahkan dan dikeluarkan,” ujar Woro.

Untuk itu, koalisi EoF meminta industri sawit dan penggunanya mematuhi imbauan Polda Riau maupun kebijakan KLHK agar tidak sembarangan membeli TBS di lansekap Tesso Nilo dimana sekitar 58 PKS sudah diperingatkan oleh kepolisian soal ini pada 17 Februari 2017.

Diki Kurniawan mengatakan, menyusul contoh bagus dari Tesso Nilo, maka pemerintah daerah, aparat keamanan, perusahaan, CSO dan masyarakat baru saja membentuk tim Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo untuk menyelamatkan dan merestorasi lansekap Bukit Tigapuluh.

"Kami mendesak keras perusahaan mendukung upaya oleh tim RETN dan Bukit Tigapuluh melalui kontribusi signifikan guna mengatasi warisan deforestasi mereka dan mulai melindungi dan merestorasi sejumlah kawasan konservasi seperti Tesso Nilo and Bukit Tigapuluh. Tidak bisa diterima jika ada industri yang membahayakan upaya daerah untuk konservas," tutupnya.