Tak Kunjung Diangkat Jadi PNS, Sejumlah Tenaga Sukarela Ini Menangis

Tenaga-sukarela.jpg
(Fatma Kumala)

LAPORAN: FATMA KUMALA

RIAUONLINE, PEKANBARU - Tak kunjung diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), puluhan tenaga kerja sukarela (TKS) Provinsi Riau mengeluh hingga menangis. Padahal, para TKS tersebut telah berkontribusi selama belasan tahun. Beberapa bahkan tidak digaji hingga bertahun-tahun.

Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang TKS Rohul Andi Mattalata dihadapan anggota DPD RI Intsiawati Ayus dalam acara dialog publik sosialisasi DPD RI "Mewujudkan Konstitusi DPD RI" yang digelar di Hotel Anom, Kamis 26 April 2018.

Ia mengaku sudah bekerja selama 12 tahun. "Selama 12 tahun ini kami banyak merasakan duka dalam menjalani pekerjaan kami," ujar Andi.

Ia mengatakan dirinya dituntut untuk terus tersenyum dalamemberikan pelayanan dan berbuat hal yang terbaik dalam pengabdian. "Sementara kami juga harus berpikir soal membiayai hidup kami, karena kami memang tidak ada digaji," ungkapnya.

Menurutnya, beban kerja TKS juga lebih banyak dibanding PNS.Sementara, status tidak diakui dan juga tidak masuk dalam database yang akan direkrut sebagai PNS. "Bahkan di akhir tahun kami selalu dihantui dengan perasaan takut akan pemecatan," ungkapnya .


Hal senada disampaikan TKS asal Inhu, Fatimah. Dengan wajah sendu ia mengatakan saat pertama kali masuk kerja, mereka disuruh membuat surat pernyataan tidak boleh menuntut gaji. "Padahal kami disuruh masuk dari Senin sampai Minggu," ungkapnya.

Masih mending dari kerabatnya yang berasal dari Rohul, dirinya masih menerima gaji setiap bulannya itu berkisar antara Rp 600 ribu sampai Rp 800 ribu. Artinya itu masih sangat jauh dari UMR.

"Namun meski demikian kami tetap bersyuukur sebagai perawat. Kami bekerja ikhlas. Kami membayangkan bagaimana jika keluarga kami nanti sakit dan tidak ada yang merawatnya, itulah jadi pemikiran kami," katanya.

Menanggapi hal tersebut, Anggota DPD RI Intsiawati Ayus mengatakan dirinya baru saja mengetahui permasalahan ini. "Ini surprise sekali bagi saya. Jika melihat kondisi Riau yang APBD besar, seharusnya mampu memfasilitasi hal ini. Ini perlu kecerdasan dari kepala daerah untuk mmengalokasidan memange keuangan Eoau, ingat kesehatan itu nomor 1," jelasnya.

Disinggung mengapa hal ini bisa terjadi, dengan tegas Ayus menyampaikan tidak semua kepala daerah punya urut prioritas yang sama.

"Prioritas bagi kepala daerah belum tentu urut prioritas bagi masyarakat dan sebaliknya. Jadi ini masalah komunikasi saja. Sebaiknya kepala daerah turun dan dengar, jangan melihat hanya dari etalase saja," ungkapnya.

Ayus juga menilai bahwa apa yang terjadi saat ini adalah karena tidak sinerginya kebijakan pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Siapa dan mana sebenarnya yang menjadi penyebab munculnya masalah-masalah yang disampaikan para perawat itu.

"Jangan-jangan ada Perda kabupaten/kota yang tak sejalan dengan provinsi. Atau kebijakan provinsi yang tak sesuai dengan pusat," ungkapnya.

Lebih lanjut Ia mengimbau agar ada komunikasi yang intensif antara provinsi dan kabupaten kota.

"Serta sinergikan pusat provinsi dan Kabupaten/kota. Harus ada agenda kerja komunikasi untuk sinergitas kebijakan, harus ada agenda itu. Saya belum ada melihat itu," pungkasnya.(2)