Jaket Berdarah, Misteri Kematian Demonstran dan Tjakrabirawa

Jasad-Arief-Rahman-Hakim-sedang-disemayamkan.jpg
(Historia.id/Arsip Nasional Belanda)

RIAU ONLINE - Sebagai salah satu pemimpin demonstran Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Yozar Anwar mengisahkan secara detail peristiwa demonstrasi yang terjadi di Jalan Merdeka Utara, pada Kamis, 24 Februari 1966.

Dalam Angkatan 86: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa, Yozar menuliskan, pagi itu pukul 9 pagi, mahasiswa mulai berbondong-bondong dengan membawa jaket kuning berlumuran darah. Darah siapakah gerangan yang memenuhi jaket kebanggan Universitas Indonesia (UI) itu?

Arief Rahman Hakim, sebut Yozar, adalah pemilik darah yang melumuri jaket kuning itu, seorang demonstran KAMI dari Fakultas Kedokteran UI yang tewas sehari sebelumnya.

Kala itu, Arief tengah berdemonstrasi di sekitar Lapangan Banteng ketika barisan demonstran didesak oleh aparat keamanan yang terdiri dari pasukan Resimen Pelopor (Menpor), Divisi Siliwangi (Batalyon 317 dan Batalyon 323) dan Resimen Tjakrabirawa sebagai lapis terakhir penjagaan Istana Negara.

“Saya ingat di Istana Negara kala itu tengah diadakan rapat Kabinet Dwikora yang langsung dipimpin oleh Presiden Sukarno,” ujar Rushdy Hoesein, sejarawan sekaligus pelaku sejarah gerakan mahasiswa 1966, dikutip dari Historia.id, Sabtu, 31 Maret 2018.

Yozar mencatat begitu massa demonstran memasuki "ring satu" siang itu, aparat keamanan mulai membuat pagar yang sangat rapat. Mereka dilengkapi senjata bersangkur, berusaha menghalau para mahasiswa keluar dari kawasan Istana Negara.

“Namun barisan tetap berdesak-desakan, teriakan tetap bergemuruh di angkasa…” ujar Yozar.

Tiba-tiba di tengah kepanikan dan situasi panas tersebut, dari lapis akhir terakhir terdengar rentetan senjata AK (senjata otomatis buatan Uni Soviet). Lantas mahasiswa yang tidak menduga ditembaki itu, bertiarap semua diikuti para prajurit dari Menpor dan Divisi Siliwangi yang berada pada posisi paling depan, berhadapan dengan para demonstran.

Butiran-butiran proyektil peluru itu kemudian mengenai tubuh beberapa demonstran. Salah seorang diantaranya adalah Arief Rahman Hakim. Tembakan itu berhenti ketika beberapa mahasiswa sudah bergelimangan di jalanan.

Spontan para mahasiswa yang tiarap bangkit dan memburu Arief yang kondisinya terlihat paling parah. Terlihat nanar di mata Arief saat digotong untuk mendapatkan perawatan.

Namun menurut Yozar, dalam kondisi itu Arief masih berteriak lemah “Jaket kuning, maju terusss!!!”

Lantas, Menpor memerintahkan para mahasiwa untuk mundur. Dan secara malas-malasan mahasiswa pun mundur merespon perintah itu. Akibatnya, aparat keamanan langsung merangsek. Sementara massa mulai mundur seraya berteriak-teriak.

“Tjakrabirawa anjing!”

“Tjakrabirawa pembunuh!”


“Tjakrabirawa menembak rakyat dengan peluru yang dibeli rakyat!”

Dan nyawa Arief pun tak tertolong. Sang mahasiswa itu menghembuskan nafas terakhir saat sehari setelah tubuhnya disasar peluru tajam, tepatnya pukul 12.45. Arief kemudian dikenang sebagai simbol perlawanan mahasiswa terhadap rezim Soekarno.

Nyaris setiap aksi demonstrasi jaketnya yang berlumuran darah diarak, menjadikan situasi semakin panas dan membuat kebencian terhadap pemerintah menggumpal. Resimen Tjakrabirawa pun menjadi kambing hitam.

Sedangkan bagi Rushdy, masih segar diingatannya saat orang-orang mengutuk Resimen Tjakrabirawa sebagai pembunuh mahasiswa. Mereka menyebut, Tjakrabirawa harus bertanggungjawab terhadap aksi brutal mereka. Padahal menurut Yozar Anwar, saat bergerak ke arah Istana, mahasiswa ada dalam kondisi tertib dan tidak berniat membuat aksi-aksi anarki.

Namun lain pendapat mahasiswa, lain pula pendapat prajurit Tjakra. Saat Historia.id, mengkonfirmasi peristiwa yang lebih dari setengah abad itu kepada beberapa eks prajurit Tjakra yang kala itu tengah bertugas di Istana Negara, ceritanya tentu berlainan.

Letnan Satu C.H. Sriyono yang masih mengenang betapa kacaunya situasi saat itu. Ketika massa berkerumunan di sekitar Lapangan Banteng dan Merdeka Utara, dia sendiri memang mendengar rentetan tembakan yang menyalak secara mendadak. Namung anggota Detasemen Pengamanan Chusus (DPC) Tjakra itu sangat yakin tembakan itu bukan berasal dari kesatuannya.

"Tidak ada sama sekali perintah untuk menembak para demonstran. Kami ini pasukan yang terdidik untuk berlaku disiplin: jika diperintahkan tembak ya tembak tapi kalau diperintahkan diam saja ya diam…” ujar Sriyono.

Tjakrabirawa membuktikan kedisiplinan saat menghadapi aksi nekad sekelompok mahasiswa yang lolos masuk ke halaman Istana Negara. Mereka yang tadinya akan menurunkan bendera merah putih untuk digantikan jaket kuning berlumuran darah, hanya diperintahkan untuk pergi saja.

“Tapi karena awalnya mereka ngotot ya terpaksa kami menembakan senjata ke atas sebagai peringatan, baru mereka bubar…” kenang anggota Tjakra dari unsur CPM (Corps Polisi Militer) itu.

Maulwi Saelan dalam otobiografinya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, juga memperkuat keterangan Sriyono. Menurut Saelan, kematian Arief Rahman Hakim secara disengaja diarahkan kepada kesatuannya sebagai penyebab.

Dia ingat, bahwa beberapa jam setelah peristiwa itu ratusan mahasiswa dengan memakai truk-truk tentara mengelilingi jalan-jalan sekitar Istana Negara sambil mengibar-ngibarkan jaket kunig berlumuran darah.

“Tjakra pembunuh! Tjakra pembunuh!” teriak para mahasiswa.

Arief tewas ditembak oleh seorang prajurit Tjakra di depan Gedung Pemuda, tepat di seberang markas DKP (Detasemen Kawal Pribadi) Resimen Tjakrabirawa, lantas menjadi isu yang bertiup kencang.

Kapten Hidrosin (anggota DKP yang pasukannya tengah bertugas) langsung mengumpulkan anak buahnya demi mendengar teriakan-teriakan itu. Salah seorang komandan kompi Tjakra itu langsung memeriksa satu persatu senjata para prajuritnya secara teliti.

“Ternyata Hidrosin menemukan kenyataan tidak terdapat satu pun peluru yang keluar dan laras senjata semuanya bersih…” ujar Maulwi yang kala itu berpangkat kolonel.

Lantas, peluru siapa yang menyasar ke tubuh Arief?

Maulwi pun punya versi sendiri. Ceritanya, setahun usai peristiwa itu, tepatnya saat ia dipindahkan dari Resimen Tjakrabirawa ke PUSPOM ABRI, dia justru mendapat cerita dari beberapa anggota Polisi Militer Daerah Militer V Jakarta (POM DAM V) bahwa yang menembak Arief di Lapangan Benteng (bukan di lapangan seberang Markas DKP) adalah seorang prajurit dari POM DAM V yang saat itu tengah ditugaskan di kesatuan Garnizun Ibukota Jakarta.

"Saya sendiri sudah memita kepada Brigjen TNI dr. Rubiono, perwira sandi yang selalu bersama saya, agar segera mengusahakan visum et repertum Arief Rahman Hakim untuk dilaporkan kepada Presiden Soekarno," ungkap Maulwi.

Namun hingga Resimen Tjakrabirawa dibubarkan, visum et repertum itu tak pernah ada. Jadilah pendapat yang menyatakan bahwa pembunuh Arief Rahman Hakim adalah anggota Resimen Tjakrabirawa terus diyakini sebagian besar khalayak hingga saat ini.

"Terlebih setelah Jenderal A.H Nasution memuji-muji Arief sebagai Pahlawan AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat), anggapan itu seolah tak terbantahkan," kata salah satu orang dekat Presiden Soekarno itu.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id